Ranup dan Ureueng Aceh

Masih ingat humor yang beredar di masyarakat Aceh saat dibalut konflik? Salah satu cerita banyak beredar dari mulut ke mulut yaitu cerita soal ‘sirih’*). Cerita ini tentang seorang serdadu yang bertamu ke sebuah rumah untuk meminta ‘sirih’ (atau ranup**--dalam bahasa Aceh).

Suatu hari, saat berpatroli di gampong, seorang serdadu mampir ke sebuah rumah warga. Kebetulan rumah itu hanya didiami seorang ibu lanjut usia. Si ibu ini takut bukan main. Karena biasanya, jika serdadu mampir pasti ada masalah atau ada saja orang yang ditangkap. Terjadilah dialog keduanya.

+ Serdadu: Ada sirih, bu?
- Ibu: Hana si rih, ka dijak u blang (Si ibu ini punya anak bernama Idris, sering dipanggil ‘Si Rih’

+ Serdadu: Apa?
- Ibu: Apa*** pih ka u blang cit.

Si serdadu, selain bingung juga kesal. Obrolan dia dan si ibu seperti tak nyambung. Sambil, si Serdadu mengomel, “Ngomong apa si ibu ini, nggak nyambung.” Si ibu kebetulan mendengar ucapan "Ngomong" yang dipikirnya 'umong'****), dia pun menyahut.

Ibu: Hana le, puet naleih sagai!

Serdadu itu pun berlalu sambil bicara tak jelas. Dalam hatinya, dia mengira si ibu itu kurang waras. Memang sih, saat Aceh dibalut konflik, orang waras pun menjadi tak waras. Namun, yang terjadi adalah faktor komunikasi yang tak nyambung. Banyak orang-orang tua di kampung di Aceh memang tak mahir bicara bahasa Indonesia, sementara para serdadu yang dikirim ke desa itu rata-rata bicara bahasa Indonesia.

Di Aceh, sebenarnya tak sulit mendapatkan sirih (ranup). Karena banyak ibu-ibu suka konsumsi ranub/sirih. Cuma karena kendala komunikasi, si ibu itu tak tahu kalau serdadu meminta sirih. Si ibu ini mikirnya, serdadu menanyakan anaknya, Idris (yang sering dipanggil Sirih).

Nah, yang menarik sebenarnya bukan soal dialog serdadu dengan si ibu, tapi filosofi ranup (sirih). Dalam acara-acara resmi penyambutan tamu, orang Aceh sering menyuguhkan tari ranup lampuan yang diselilingi dengan pemberian ranub kepada tamu yang datang. Pemberian ini sebagai bentuk penghormatan dan penerimaan sebagai saudara.

Setidaknya ada dua makna filosofi di balik pemberian ranup (sirih)*****) kepada tamu (terutama tamu dari luar Aceh). Pertama, sirih itu rasanya pedas. Ini semacam peringatan halus kepada sang tamu agar berhati-hati dalam berbicara. Sebab, kata-kata si empunya rumah atau kata-kata orang Aceh bisa lebih pedas dari rasa sirih.

Kedua, sirih yang dikunyah itu akan keluar warna merah. Perhatikan saja orang yang doyan makan sirih, mulut dan bibirnya pasti berwarna kemerah-merahan. Jadi, para tamu hendaknya berbicara secara jelas, tidak bertele-tele dan tidak ambigu. Dia harus bicara sejelas warna merah di bibir dan mulut mereka.

Kepada siapa saja yang datang ke Aceh, dia mesti harus jelaskan apa maksud dan tujuannya. Tak boleh ada agenda tersembunyi, harus bermaksud baik agar diterima dengan baik pula. Dia tak boleh mengumbar permusuhan atau ingin membinasakan orang Aceh.

Dulu, banyak orang yang datang ke Aceh untuk mengumbar permusuhan, sehingga mengundang resistensi dari rakyat Aceh. Kalau tujuan sang tamu baik-baik, maka dia akan diterima dengan baik pula. []

Note:

*) Sirih: Di Aceh, orang yang bernama Idris sering dipanggil si rih.
**) Ranup: sirih
***) Apa: adik dari ibu atau disebut juga paman
****) Umong (blang): Sawah
*****) Filosofi ini saya perolah dari seorang pembaca blog ini

---- hana si rih ka dijak u blang (Tidak ada si Idris, sudah pergi ke sawah)
---- Apa pih ka dijak u blang (Paman juga sudah pergi ke sawah)
---- Hana le, puet naleih sagai (Tidak banyak, 1 hektar saja). Naleih itu ukuran sawah.

Post a Comment

Previous Post Next Post