Bersyukur karena Ada Deadline

Belakangan ini, penyakit ‘senang utak-atik template blog’ kambuh lagi. Praktis, saya lupa pada tujuan awal ngeblog yaitu bagaimana produktivitas menulis saya makin meningkat. Saya akui, tanpa tekanan kerja, memang menyulitkan kita menyelesaikan tulisan. Kondisinya sangat berbeda ketika kita punya tanggung jawab halaman yang mesti diisi atau ada deadline yang dikejar.

Saya ingat sebuah obrolan ringan antara editor bahasa TEMPO, Amarzan Lubis dengan Goenawan Mohammad, penulis catatan pinggir yang akrab disapa GM. Pernah baca kan Catatan Pinggir? Isinya berat, dan butuh waktu lama untuk memahami pikiran GM, apalagi dia menyertakan banyak sekali kutipan. Jika kita tak pernah membaca buku yang dikutip itu, pasti kita akan meraba-raba. Tapi, tiap minggu Catatan Pinggir itu hadir di halaman belakang TEMPO. Judul catatan pinggir itu selalu berubah, tapi penulisnya tak pernah berubah!

Suatu hari, Amarzan bertanya sama GM, ‘Apa yang menyebabkan GM mampu menulis Catatan Pinggir tiap minggu?’ Tanpa pikir panjang, pendiri Komunitas Salihara ini menjadi menjawab, singkat: deadline! Memang benar, deadline adalah cambuk yang sangat efektif memacu semangat jurnalis menulis.

Karena tak ada deadline yang perlu saya patuhi, maka kegiatan menulis saya angin-anginan. Toh itu blog milik sendiri, tak ada yang akan memarahi saya jika tak ada posting baru. Namun, saya menyadari, pembaca blog ini pasti bosan tiap kali berkunjung tak ada posting baru. Mereka pasti bertanya-tanya, “apa kesibukan si empunya blog sampai tak sempat menulis posting baru?”

Nah, saya ingin berbagi sedikit pengalaman bagaimana proses awal saya menulis. Apalagi, saya selalu ditanya oleh teman-teman yang baru memulai menulis, ‘bagaimana tips agar menjadi seorang penulis? Ini gampang-gampang susah kita jawab. Sebab, saya yakin masing-masing orang memiliki kiat dan trik yang berbeda-beda ketika memulai menulis. Ada baiknya kita mengurai dan mengindentifikasi dulu satu-per-satu motivasi kita menjadi penulis. Saya kira ini penting karena sangat berpengaruh pada konsistensi kita selanjutnya.

Banyak penulis yang memang berangkat dari bakat bawaan. Tapi, bakat saja kan tidak pernah cukup. Ia perlu diasah dan dilatih. Ada yang menjadi penulis karena pengaruh bacaan sehingga tergerak hati untuk menulis; ada yang ingin menyuarakan kebebasan; ada yang ingin membagi dengan orang lain apa yang ada di pikiran atau yang sedang dipikirkan; ada yang ingin terkenal/tenar; ada yang ingin mendapatkan keuntungan finansial; ada yang...silahkan tambah sendiri.

Saya sendiri tak tahu mulai kapan pertama kali saya menulis. Yang saya ingat, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya cukup rajin mencoret-coret buku catatan. Saya menulis hal-hal ringan yang terlintas di kepala. Saya juga mulai menulis cerita pendek di buku double folio (sayang buku bersejarah ini raib entah di mana). Awalnya, kadang-kadang saya menyalin tulisan dari buku pelajaran dan merangkumnya dengan bahasa sendiri yang sangat kacau-balau. Kadang saya cari satu judul dan mulai membahas judul itu; ada yang satu halaman, dua halaman dan sebagainya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana saya tergerak menjadi penulis? Keinginan ini pertama muncul karena saya mulai aktif membaca Koran. Rubrik yang paling saya sukai yang berisi berita-berita internasional dan halaman opini. Dua rubrik ini terkait erat dengan minat saya pada pelajaran sejarah dan pengetahuan umum.

Dari membaca Koran itu, mulai muncul keinginan saya bagaimana nama saya bisa juga muncul di halaman Koran. "Pasti hebat kalau nama kita masuk koran." Begitu pikir saya dulu. Saat itu saya menganggap seorang wartawan itu sangat luar biasa, pintar dan bisa pergi ke mana pun. Ini sedikit banyak memotivasi saya agar suatu saat bisa seperti mereka. Beberapa pandangan ini di kemudian hari terpaksa saya evaluasi lagi. Hehehe.

Begitulah saya terus menulis apa saja. Saya juga makin suka membaca buku, terutama buku biografi orang-orang besar. Sedikit banyak pengalaman mereka itu mempengaruhi saya. Saya selalu terobsesi bagaimana suatu saat bisa menjadi seperti orang-orang hebat ini.

Intensitas saya menulis (serius) mulai memuncak ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Saya mulai belajar menulis surat pembaca. Ini rubrik yang paling realistis untuk anak sekolah seperti saya. Rubrik opini tentulah untuk dosen-dosen di perguruan tinggi, begitu pikir saya dulu. Kelas dua saya sudah mulai menempelkan nama saya di rubrik Komentar Pembaca Serambi Indonesia. Saya ingat komentar pertama saya “DOM Menyiksa Kita Semua” muncul di rubrik Komentar Pembaca tersebut, lengkap dengan nama sekolah. Saat itu DOM (Daerah Operasi Militer) belum dicabut. Saya sama sekali tak takut karena memang sudah reformasi. Yang pasti, saya senang bukan main.

Setelah itu, beberapa komentar saya dimuat dirubrik tersebut. Tiap saya kirim pasti dimuat, banyak juga yang menjadi pendek karena proses editing oleh pengasuh rubrik. Minat saya makin bertambah. Ketika mulai duduk di bangku kelas III MAN, saya mulai peruntungan dengan mengirim cerita pendek ke Harian Waspada Medan. Koran yang dibangun Muhammad Said dan Ani Idrus ini sangat populer di Aceh sepanjang 1998-2000. Koran ini termasuk paling berani menulis tentang Aceh dan mengutip komentar orang GAM, isi yang paling disukai publik Aceh waktu itu. Saya ingat, cerpen pertama saya di Waspada berjudul ‘Potret Tua’. Selain cerpen, saya juga menulis puisi dan sering dimuat di rubrik Abrakadabra. Senang bukan main, meski sampai sekarang saya tak pernah menikmati honor tulisan saya itu. Hehehe.

Nah, begitulah proses awal saya merintis minat menjadi penulis. Proses menulis saya waktu itu sangat didukung oleh kebaikan orang tua yang membeli sebuah mesin tik (mereknya kalau tidak salah Olympic). Selain itu, minat membaca saya juga meningkat. Tiap minggu saya menamatkan tiga buku yang saya pinjam dari pustaka wilayah, yang kebetulan dekat dengan sekolah. Bagaimana dengan pengalaman anda?

Oh ya, berikut ada beberapa tips, mengenai deskripsi dan dialog. Dua unsur ini akan selalu kita perlukan dalam menulis cerpen, novel atau menulis narasi. Bahan ini saya peroleh dari mengikuti kursus narasi Pantau:

DESKRIPSI DAN DIALOG 
Deskripsi menimbulkan realitas kesadaran bagi pembaca, membuat pembaca bertindak sebagai partisan dalam suatu cerita melalui inderawinya.

DESKRIPSI
Deskripsi bermula dari benak penulis tapi harus berakhir di benak pembaca. 

Dimulai dari visualisasi apa yang Anda ingin dialami pembaca dan diakhiri saat Anda menerjemahkan apa yang Anda lihat dalam benak ke dalam bentuk kata-kata.

Deskripsi yang sedikit membuat pembaca kabur dan bingung. Deskripsi yang berlebihan membuat pembaca terkubur dalam detail dan bayangan. 

DESKRIPSI
• Hindari menjelaskan karakteristik tokoh-tokohnya dan pakaian mereka. Biarkan pembaca membayangkan sendiri. 
• Tempat kejadian dan bagaimana kejadian itu berlangsung lebih penting bagi indera pembaca untuk benar-benar berada di dalam cerita.
• Hindari penggunaan tamsil, metafora, dan ungkapan yang klise. Contoh: gadis itu secantik rembulan, dia melawan laksana harimau, dll.
Dialog membuat tokoh-tokohnya hidup melalui ucapan-ucapannya.

DIALOG
• Memberi suara pada tokoh-tokohnya.
• Menunjukkan karakter; dengan menggambarkan bagaimana tokoh bertingkah laku dan mengatakan sesuatu.
• Menjadi sarana untuk merepresentasikan perubahan topik pengisahan

DIALOG
• Dialog bisa menjadi alat penjelas bagi topik yang tengah diterangkan.
• Dialog merupakan elemen penting bagi tampilan estetis, sekaligus menguatkan nilai dramatis.
• Dialog yang baik menyenangkan untuk dibaca, dan dialog yang buruk membosankan.

HOW
• The good narrative writer is first a good reporter.
• Learns to look and learns to listen.
• Show how something happens.
• Detail that helps the reader see and feel the story is relevant detail.
• Flashbacks (provide background and context). Help add drama and tension to the story.

Mudah-mudahan posting sederhana ini menginspirasi kita semua. Mari menulis, karena dengan menulis membuat kita abadi!

Post a Comment

Previous Post Next Post