Quo Vadis Demokrasi Aceh?

Bicara demokrasi (plus pembangunan), ilustrasi berikut ini menjadi sangat relevan untuk direnungi; dalam suatu negara merdeka, ketukan pintu di pagi buta berarti datangnya tukang susu; dalam satu negara totaliter, ketukan pintu yang sama mungkin berarti datangnya polisi rahasia untuk mengambil sesuatu dari rumah dan keluarganya untuk kemudian dipenjarakan, dibuang, atau dihukum mati dengan tidak tidak adil.

Saya kira, ilustrasi dari William Ebenstein dalam buku Isme-isme yang Mengguncang Dunia bukan sesuatu yang asing bagi kita di Aceh. Kita pernah mengalami masa-masa suram ketika ketukan pintu berarti maut sedang menjemput. Hal ini terjadi saat Aceh dibalut konflik berkepanjangan. Padahal, jauh sebelumnya, dalam kearifan lokal kita, ketukan pintu berarti ada tetangga yang datang menawarkan bantuan atau menyerahkan makanan.

Dua kondisi paradoksal itu menunjukkan bahwa satu kasus bisa saja bermakna ganda, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Begitu pula halnya ketika kita mencoba memahami demokrasi. Kata demokrasi, berasal dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Kekuasaan di tangan rakyat. Tapi, apakah demokrasi sesederhana itu?

Sejak lama, demokrasi memang sering disalahpahami. Demokrasi dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan mayoritas terhadap minoritas. Atas nama demokrasi, kelompok lemah, marginal, dan minoritas sering menjadi tumbal. Tapi, dari semua model yang ada, demokrasi dianggap lebih baik, misalnya, dari teokrasi, oligopoli, atau authoritarian.

Meskipun semua sepakat bahwa demokrasi merupakan model pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi masing-masing pihak berbeda ketika memahami demokrasi. Demokrasi dalam benak orang Amerika, Inggris atau Perancis tentu berbeda dengan demokrasi yang dipahami orang Kuba, Rusia atau China[1], meskipun mereka sama-sama menggunakan kata ‘demokrasi’. Konsep demokrasi yang dikenal dalam Islam juga mungkin berbeda dengan konsep demokrasi yang dipahami dalam konsep Barat.

Pada akhir Perang Dunia ke II, Amerika, Inggris, Perancis dan Uni Soviet (kini Rusia) menduduki Jerman, di mana salah satu tujuannya adalah demokratisasi Jerman. Awalnya tak ada perbedaaan di antara keempat Negara ini. Baru kemudian terbukti, ternyata konsep Rusia sama sekali berbeda dengan pengertian Inggris-Amerika-Perancis mengenai demokrasi.

Dalam konsep Barat, kebebasan dari ketakutan merupakan konsep pokok dari demokrasi. Masyarakat tidak dapat dikatakan bebas kecuali jika para warganya merasa aman terhadap gangguan yang tidak bertanggung jawab. Sekilas, kita tentu saja mengamini konsep demokrasi seperti ini. Tapi, lagi-lagi pertanyaannya, apakah aspek bebas ini dapat dimaknai sama antara satu kelompok dengan kelompok lain? Ilustrasi di atas sangat relevan ketika dikaitkan kondisi seperti ini.

Meski demokrasi mencapai wujud yang konkrit pada akhir abad ke-19, tetapi sebenarnya ia telah mulai berkembang di Eropa Barat pada abad ke-15 dan ke-16. Menurut Miriam Budiardjo wajah demokrasi abad ke-19 dapat dikenali, misalnya, adanya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang, baik di bidang agama maupun di bidang pemikiran dan politik; adanya jaminan secara lebih luas terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)[2].

Tapi, demokrasi juga bukan merupakan sesuatu yang statis. Miriam mencatat, dalam abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II Negara demokratis telah melepaskan pandangan bahwa peranan Negara hanya terbatas pada mengurus kepentingan bersama. Namun sekarang, Negara dianggap turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. Gagasan ini dikenal dengan konsep Welfare State (Negara kesejahteraan) atau Social Servive State.

Artinya, seperti ditulis Fareed Zakaria, demokrasi kini telah berjalan lebih dari sekadar merupakan bentuk pemerintahan, melainkan menjadi suatu jalan hidup (a way of life)[3]. Di bidang ekonomi, kata Fareed, apa yang sebenarnya berbeda dan baru dari kapitalisme bukanlah didorong oleh globalisasi, arus informasi atau teknologi, melainkan lebih karena ia bersifat demokratis. Lalu, apakah dengan semakin demokratis suatu Negara dengan sendirinya Negara itu menjadi sejahtera? Kesimpulan ini bisa saja benar, tapi juga mungkin keliru. Banyak referensi contoh Negara yang mungkin bisa kita rujuk untuk mendapatkan dua kesimpulan itu.

Demokrasi Aceh

Lalu, bagaimana halnya dengan perkembangan demokrasi di Aceh? Apakah serumit seperti halnya konsep demokrasi itu sendiri? Problematika dalam memahami demokrasi seperti sudah diurai di atas saya kira menjadi fokus kajian saudara Asrizal Luthfi melalui bukunya Islam, Demokrasi dan Pembangunan. Asrizal memaparkan sejumlah kondisi bahwa memahami demokrasi sebenarnya tidaklah sederhana. Kejadian-kejadian mutakhir di Aceh menunjukkan bahwa kita sebenarnya sudah bergerak jauh melampaui demokrasi (dalam pengertian): adanya kebebasan berpendapat, pemilihan umum, penghargaan terhadap keberagaman, pemimpin yang dipilih langsung dan pers yang bebas. Demokrasi yang dipraktikkan di Aceh, bahkan menjadi model yang sudah diterapkan di tempat lain di Aceh. Namun, persoalannya kemudian demokrasi Aceh juga menghasilkan dilema seperti dicatat Asrizal, terutama terkait debat Calon Independen beberapa waktu lalu.

Kehadiran Calon Independen pada Pilkada 2006 silam dianggap sebagai buah manis dari MoU Helsinki. Namun, setelah terbentuk partai lokal (pasca 2009), sebagian pihak memandang, kehadiran calon independen tidak lagi relevan. Aspirasi politik masyarakat Aceh sudah tertampung dalam partai lokal, termasuk dalam pengajuan calon kepala daerah. Untung saja debat itu berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi pasal 256 Undang-undang Nomor 11 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) soal calon independen.

Dalam pertimbangan MK berdasarkan sejumlah fakta hukum, calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya. Jika diberlakukan, menurut MK, akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya.

Disebutkan, jika soal Calon Independen dibatasi, warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.

Inilah titik balik demokrasi Aceh yang hampir dibajak oleh kepentingan jangka pendek. Padahal, sebagai daerah yang paling pertama memberlakukan pemilihan kepala daerah langsung dengan adanya calon independen, Aceh telah menempatkan diri sebagai pelopor demokrasi modern. Hal ini pula yang membuat Aceh kembali mendapatkan julukan sebagai laboratorium demokrasi.

Perkembangan tersebut hanya sebagian kecil dari kasus yang menjadi titik bahasan penulis yang berkhidmat di Kelompok Studi Darussalam. Banyak tema-tema menarik lainnya yang bisa dinikmati dalam buku yang mencoba memotret Aceh dari tiga aspek: Islam, Demokrasi dan Pembangunan. Buku ini mengajak kita semua untuk membaca kembali Aceh dari tiga aspek penting tersebut. Jangan-jangan, ketiga aspek itu saling bertabrakan dan menggunting satu sama lain.

Perdamaian dan Kesejahteraan

Di luar itu, beberapa permasalahan yang dikemukakan Asrizal Luthfi menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Di antaranya soal keretakan (keterbelahan) politik pasca-Pilkada 2012 silam, distribusi hasil sumber daya alam secara merata, butir-butir MoU yang belum terakomodasi dalam UU Pemerintahan Aceh, pembelahan Aceh dan program kesejahteraan masyarakat.

Perdamaian Aceh yang kini dinikmati masyarakat akan kehilangan maknanya jika program kesejahteraan belum terwujud secara nyata. Apalagi, jika distribusi kekayaan Aceh hanya dinikmati sebagian kecil kalangan saja. Memang, secara umum kesejahteraan penduduk Aceh meningkat, namun data Badan Pusat Statistik Aceh per 2 Juli 2012 menunjukkan penduduk miskin di Aceh mencapai 909.040 jiwa pada Maret 2012 (19,5 persen), meningkat dibandingkan data Maret 2011 sejumlah 894 ribu jiwa.

Upaya percepatan kesejahteraan menjadi mendesak jika merujuk pada fakta lain, bahwa jumlah penduduk Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai 14,1 persen dari total jumlah golongan usia 15 tahun ke atas. Angka gangguan jiwa di Aceh berada di atas rata-rata nasional, yang hanya 11,6 persen.

Ini hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah Aceh. Bahwa, Aceh baru yang hendak diraih itu tak hanya jauh dari konflik kekerasan, melainkan juga minim jumlah orang miskin dan orang gila! Pasti akal sehat kita tidak dapat menerima, bagaimana mungkin Aceh yang memiliki kekayaan melimpah, dana yang cukup besar, tapi masih ada anggota masyarakat yang miskin dan gila.

Saya kira, di sinilah Asrizal Luthfi mengingatkan kita semua melalui bukunya, bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan perlu segera dibenahi. Untuk itu, Asrizal mengajak kita agar kembali melihat Aceh dari tiga aspek: Islam, Demokrasi dan Pembangunan. Jangan-jangan kita sudah mengabaikan ketiga aspek tersebut dalam misi mewujudkan Aceh Baru yang lebih baik. Selamat membaca!

[1] William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia, Narasi, Yogyakarta, 2006
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Cet ke-27, 2005
[3] Fareed Zakaria, Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain, PT Ina Publikatama, Jakarta, Mei 2004

Sumber gambar: http://votreesprit.files.wordpress.com/2013/02/illusion_of_democracy.jpg

Note: Kata Pengantar untuk buku Asrizal Luthfi Islam, Demokrasi dan Pembangunan

Post a Comment

Previous Post Next Post