Banda Aceh, Genitnya Sebuah Kota

KALAU boleh jujur, sebenarnya, saya jatuh cinta pada kota Banda Aceh ini sejak pandangan pertama. Pengakuan ini jelas mengejutkan. Saya menginjak kaki pertama kali di kota ini pada 1995, sewaktu Jalan Panglima Nyak Makam yang sekarang ramai bukan main itu masih satu jalur, berlubang, gelap, penuh semak-belukar dan jarang sekali ada yang mau lewat.

Saat itu, Jalan Teuku Iskandar yang lebih sering dilalui pengendara, karena jadi jalur labi-labi (sudako) jurusan Ulee Kareng dan Blang Bintang. Keberadaan terminal Beurawe (sekarang Hermes Mall) yang ramai, menambah semarak jalan ini. Sementara Jalan Panglima Nyak Makam hanya ramai saat ada pertandingan bola di Stadion Lampineung. Selebihnya ya hanya dilewati penjual bakso keliling.

Kota yang dulunya bernama Bandar Aceh ini punya sejarah yang cukup panjang. Tak melulu soal perebutan kekuasaan di lingkaran Kesultanan Aceh, tapi juga sejarah kehancuran dan kebangkitan. Portugis beberapa kali menyerang Bandar Aceh ini, tapi kota ini tetap tegak berdiri. Demikian juga Belanda dan Jepang. Belanda pernah mencoba meruntuhkan moral para pejuang Aceh dengan membakar masjid raya, namun segera sadar bahwa langkah tersebut keliru. Mereka lalu membangun kembali masjid yang dibakar itu. Begitulah daya tahan sebuah kota yang dipercaya lahir pada 22 April 1205, dan kini berusia 810 tahun.

Daya tahan yang luar biasa memaksa Belanda mengganti nama kota ini dengan Kutaraja, ketika istana kerajaan Aceh berhasil diduduki setelah para pejuang Aceh memilih bergerilya di pinggiran kota. Upaya mengganti nama ini bisa jadi untuk menghilangkan jejak sejarah dan semangat yang dipancarkannya. Belanda berharap dapat meredam perlawanan pejuang Aceh. Tapi, faktanya, pemikiran itu keliru, karena itulah awal perjuangan panjang rakyat Aceh (battle of Acehnese) yang memusingkan serdadu Belanda. Daya juang para pejuang Aceh ini sangat disadari oleh Belanda dengan memilih tidak lagi mengganggu Aceh, terutama ketika Jepang keluar dari Aceh tahun 1945.

Ketika euphoria perjuangan referendum tahun 1999 menghipnotis Aceh, kota ini pernah didatangi oleh ratusan ribu masyarakat Aceh yang datang dari seluruh pelosok kampung. Kota yang dalam ingatan anak-anak kampung sebagai tempat kaki tangan Indonesia di Aceh itu ikut larut dalam euphoria itu dan bahkan bahu-membahu membantu mereka dari daerah. Kita bisa saja menganggap bahwa Banda Aceh sengaja mencari posisi aman dari amuk-murka masyarakat Aceh yang begitu membenci simbol-simbol Indonesia. Sekali lagi menunjukkan, kota ini mampu bertahan.

Banjir besar tahun 2001 dan Tsunami 2004 memang sempat membuat kota ini lumpuh dan hancur. Tapi, sejarah panjang kota ini menjadikannya tetap kuat dan tegar, dan segera mampu bangkit kembali. Sekali pun pemukiman sepanjang garis pantai hancur, kota ini tak pernah kehilangan pesonanya, yang sejak dulu sudah menghipnotis Portugis, Belanda dan Jepang. Relawan (baik nasional maupun internasional) tumpah ruah ke kota yang oleh Sultan Iskandar Muda pernah diklaim sebagai Taman Dunia itu. Secara perlahan-lahan, Banda Aceh bangkit dan lebih perkasa dari sebelumnya.

Stasiun kereta api di barat laut keraton, Kutaraja, tahun 1880 | Tropen Museum 
BAGI orang kampung seperti saya, Banda Aceh adalah kota penyelamat. Ya, sejak perjuangan Aceh Merdeka meletus-meleleh di sebagian besar daerah Aceh, Banda Aceh tampil menyelamatkan mereka. Kok bisa? Anak-anak muda yang tak lagi nyaman hidup di kampung memilih merantau ke Banda Aceh. Awalnya, mereka memang ingin mengubah nasib dengan mencari pekerjaan di kota. Tapi alasan mereka sebenarnya adalah hidup Banda Aceh lebih aman dibanding harus tetap tinggal di kampung.

Anak-anak SMA yang baru tamat pasti dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan kuliah ke Banda Aceh, sekali pun mereka punya kesulitan ekonomi. Orang tua lebih rela mengorbankan sepetak tanah atau satu-dua ekor sapi/kerbau ketimbang harus mengorbankan anaknya jadi bulan-bulanan TNI/Polri. Bagi mereka, apalah arti seekor lembu ketimbang nyawa anaknya. Ada juga orang tua yang tak mau anaknya menjadi GAM. Menjadi GAM dalam hemat mereka adalah sama dengan bunuh diri. Pokoknya bermacam-macam alasan mereka meminta anaknya merantau (tentunya tak hanya ke Banda Aceh) saja.

Setelah tahun 1989 hingga sebelum 1998, pemuda Aceh di kampung-kampung yang masuk dalam wilayah Daerah Operasi Militer (DOM), memilih masuk dayah (lembaga pendidikan agama tradisional). Tinggal di dayah sedikit lebih aman daripada di kampung. Ancaman kematian tak hanya diterima oleh mereka-mereka yang menjadi GAM atau punya keluarga yang jadi anggota GAM. Banyak pemuda yang mengalami tindak kekerasan: karena salah jawab, tertidur di pos jaga saat serdadu tiba, menatap sinis serdadu dan banyak alasan-alasan tidak masuk akal lainnya. Memilih berada di kampung berarti siap menerima hantaman popor senjata, sepatu lars atau bahkan sasaran culik dan tembak.

Sebenarnya, ancaman kekerasan itu tak hanya menimpa kaum muda lelaki saja. Para wanita juga kerap menerima kekerasan, tapi lebih banyak dalam bentuk pelecehan seksual. Para orang tua yang memiliki anak gadis (lebih-lebih punya paras di atas rata-rata) cemas bukan main. Mereka jadi serba salah. Menolak anaknya diapelin, bisa beralamat celaka. Membiarkan anaknya diapelin juga bisa berakibat celaka: hamil di luar nikah. Ini pula alasan, kenapa banyak orang tua lebih memilih mengantar anaknya ke dayah setelah selesai SMA/MA daripada membiarkan mereka tetap berada di kampung.

Sementara para orang tua yang pemikirannya agak modern, lebih memilih meminta anaknya melanjutkan kuliah ke Banda Aceh. Mereka akan merasa aman kalau anaknya kuliah daripada tinggal di kampung. Banda Aceh dianggap tempat yang lebih aman bagi anak-anak dari Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur (tiga daerah merah saat DOM). Atas alasan itu, kita pantas berterima kasih kepada Banda Aceh yang tetap aman untuk ditinggali, sekali pun banyak keputusan pahit lahir dari kota ini.

SEJAK pemberlakuan Syariat Islam resmi dideklarasikan pada 2001 silam, Banda Aceh berada di garda terdepan sebagai daerah yang paling siap secara struktur dan infrastruktur. Kabupaten Bireuen boleh saja menjadi yang pertama menggelar hukum cambuk bagi pelanggar syariat, tapi Banda Aceh lah daerah yang paling siap melaksanakan syariat islam. Lihat saja bagaimana nama-nama toko disulap dengan aksara Arab, razia jilbab, razia salon, mencambuk pelanggar qanun khalwat, khamar dan maisir (judi).

Penguasa di Banda Aceh sama sekali tidak merasa terusik dianggap lebih peduli pada hal-hal simbolik. Bagi mereka, hal-hal simbolik itulah syiar Islam yang sebenarnya. Orang yang mengurusi Banda Aceh sepertinya tersengat dengan aksi para taliban/aktivis sepanjang tahun 1999 yang dipandang sangat efektif mengubah perilaku warga menjadi lebih bersyariat: cukur rambut untuk wanita yang tidak berjilbab, menggunting celana perempuan yang super-ketat, dan mengarak pelaku mesum di jalan-jalan untuk membuat mereka malu. Sementara kaum perempuan mengusir dengan sapu kaum lelaki yang tidak pergi salat jumat. Sekali pun mengundang polemik, aksi-aksi tersebut ternyata ampuh memaksa warga di Banda Aceh (juga di daerah-daerah lain di Aceh) menjadi lebih bersyariat.

Sekali pun memilih cara berbeda, apa yang dilakukan oleh penguasa di Banda Aceh hari ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para aktivis tahun 1999 silam. Semangatnya tetap sama, bagaimana syiar Islam kembali menggeliat di bumi Serambi Mekkah. Siapa pun sepakat, Aceh dan Syariat Islam menyatu, tak bisa dipisahkan. Karena Aceh adalah tanoh para aulia. Hanya saja, syariat islam yang ditegakkan harus benar-benar kaffah, total dan tidak sebatas simbolik. Benar-benar syariat yang substansial, menyentuh semua lini kehidupan, bukan hanya mengambil kulitnya saja.

Ini penting untuk menghindari perilaku munafik di kalangan para pejabat dan penguasa. Jangan sampai terjadi, mulut mereka berbusa-busa bicara syariat Islam, tapi tindakan dan perilaku mereka sama sekali tak mencerminkan ajaran Islam. Mereka tak hanya tampil alim saat berada di Aceh saja, tetapi di luar Aceh juga demikian. Lalu, soal hukum, tak hanya menyasar para pengguna celana ketat dan tak berjilbab, tetapi giliran pejabat yang tertangkap berbuat mesum, hukum menjadi tumpul.

Kita semua setuju dengan visi penguasa di Banda Aceh untuk menjadikan kota ini sebagai bandar wisata islami, kota madani atau menjadi bandar surga. Syaratnya cuma satu: tak boleh setengah-setengah. Sebab, kalau setengah-setengah atau hanya sekadar simbolik, kita takutkan kejadian yang menimpa mantan Walikota Banda Aceh, Drs Sayed Hussain al-Haj, yang didakwa melakukan korupsi dalam proyek PDAM Tirta Daroy dan merugikan negara sebesar Rp600 juta, akan terulang kembali. Akan aneh, jika di kota madani ada pejabat yang terlibat kasus korupsi, bukan?

DALAM beberapa minggu terakhir, banyak warga di kota madani yang resah dan gelisah. Selain listrik yang sering padam, mereka kini mengeluh soal aliran air PDAM yang sering macet. Seperti biasa, sumpah-serapah mereka begitu mudah dijumpai di sosial media: di Facebook, Path, Instagram atau Twitter. Mereka mengutarakan kekecewaannya terhadap pengelola kota yang tak becus mengurus soal air.

Pengelola situs www.acehkita.com, Fakhrurradzie MG, menulis di akun twitter miliknya, @efmg bahwa, “Air adalah bagian terkecil dari penegakan syariat Islam secara kaffah. Ini hajat hidup orang banyak. Ia salah satu alat bersuci (thaharah).”

Menurut jebolan Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry ini, Islam itu bukan hanya sebatas penegakan hukum Allah semata (cambuk dkk), tapi juga pd kesejahteraan sosial. “Saya yakin dari segi agama Ibu Illiza lebih paham dari saya. Tapi menurut awam saya, Islam juga mengurusi soal air, pendidikan, ekonomi...”

Intinya, kalau dipelototi satu persatu akun sosial media warga Banda Aceh, kita akan dapati banyak protes serupa dari mereka. Mereka menginginkan kota madani yang benar-benar madani, termasuk pelayanan publik yang jauh lebih baik. Karena, jika aliran air di kota madani macet, mereka tidak bisa mandi dan wudhu. Mereka pun harus berpikir seratus kali untuk ‘cok sunat’ malam Jumat, karena tak ada air untuk mandi junub (mandi wajib). Secara ulok-ulok, ada yang mengatakan, untuk kasus ini tak bisa mengandalkan ‘e-junub’, ikut-ikutan serba elektronik yang sedang digagas di kota madani: e-kinerja dan e-gov.

Di luar kekurangan dalam hal pelayanan publik, warga kota Banda Aceh sebenarnya bangga punya Walikota yang punya visi jauh ke depan. Dalam sebuah obrolan ringan di warung kopi, misalnya, ada yang bertanya, apa beda antara Hasan di Tiro dan Illiza Sa’aduddin Djamal, Walikota Banda Aceh sekarang? Ada yang menjawab, Hasan di Tiro mengadopsi kemegahan masa lalu Aceh untuk membangun gambaran masa depan Aceh yang ingin dibentuk, sementara Bunda Eli (sapaan akrab Illiza), tak semata-mata memikirkan kemaslahatan warga Banda Aceh di dunia ini saja. Visinya jauh melampaui dunia ini. Dia turut memikirkan kehidupan warganya hingga di akhirat kelak. Benar-benar Walikota jempolan.

Di atas segalanya, kita harus berterima kasih kepada Bunda Eli yang sangat peduli pada moral warganya. Mudah-mudahan suatu saat saya diajak Bunda Eli, untuk melihat, tak hanya Kampung Keberagaman di Peunayong yang membuat kita bangga menjadi bagian dari kota ini, tetapi juga menikmati sudut-sudut gelap kota yang warganya masih aktif bertransaksi dengan pengguna mobil yang menginginkan malam-malamnya tetap hangat.

Sungguh, kita takjub dengan kota yang kadang-kadang bisa genit juga. Boleh jadi, karena itulah, saya jatuh cinta pada kota ini, sejak pertama kali menjejakkan kaki.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post