Lebaran dan Sisa-sisa Militansi Aceh

Sudah 10 tahun usia perdamaian Aceh. Tak ada lagi perang terbuka antara TNI/Polri versus GAM. Namun, riak-riak konflik masih terjadi dalam skala yang lebih kecil. Demikianlah, sisa-sisa militansi Aceh terus terawat, bahkan ketika lebaran tiba.

Suasana lebaran di Aceh sebenarnya tak jauh berbeda dengan di tempat lain di Nusantara: perantau mudik ke kampung halaman, konvoi takbiran malam lebaran, dan orang-orang menyalakan kembang api sebagai simbol kemenangan. Salah satu pembeda lebaran di Aceh tahun ini hanyalah kunjungan Presiden Joko Widodo. Jika dikaitkan dengan kehadirannya ke Papua pada perayaan Natal tahun lalu, kunjungan ke Aceh ini juga lebih bermakna simbolis: merawat persatuan Indonesia, dari Aceh sampai Papua.

Toet karbet | acehkita.com
Pun begitu, tradisi lebaran/hari raya (Bahasa Aceh=Uroe Raya) di Aceh tergolong unik jika dibanding di tempat lain. Dalam hal makanan, misalnya, penganan yang tidak boleh tidak ada untuk hidangan lebaran adalah timphan, kue khas Aceh yang terbut dari adonan tepung ketan yang isinya selai atau kelapa parut dicampur gula. Empunya rumah akan merasa malu jika tidak menyediakan penganan khas Aceh ini tiap hari raya. Di tempat lain, makanan yang tidak boleh alpa mungkin belah-ketupat.

Penulis Belanda, Snouck Hurgronje, yang meneliti secara serius adat dan budaya Aceh, menulis, pada malam hari raya lelaki Aceh pantang bersetubuh dengan sang istri. Ada keyakinan di masyarakat Aceh, siapa pun yang bersetubuh dengan istri di malam lebaran dan membuahkan kehamilan, maka anak yang lahir akan memiliki jumlah jari tangan atau kaki lebih dari lima. [Baca Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta (1985)]

Karenanya, malam lebaran, lelaki Aceh lebih memilih berada di luar rumah, berkumpul di meunasah (surau) dan masjid untuk mengumandangkan takbir, yang belakangan peran itu lebih banyak diambil alih anak-anak. Lelaki tua Aceh lebih asik poh cakra (kongkow) di pos jaga atau warung kopi. Berdiam diri di rumah di malam lebaran akan mengundang cemoohan atau ejekan dari warga lain.

Sewaktu saya masih kecil, tiap menyambut lebaran, tua-muda mempersiapkan meriam bambu (beude trieng) yang diletakkan berjejer di pematang sawah atau bantaran sungai menghadap ke kampung tetangga. Malamnya, meriam bambu yang sudah diisi dengan bensin disulut dengan api untuk menghasilkan suara dentuman. Masyarakat kampung tetangga demikian juga, tidak mau kalah. Mereka seperti berlomba-lomba besarnya suara dentuman dari meriam bambu. Belakangan, tradisi membakar meriam bambu sudah mulai digantikan dengan mercon, kembang api, dan toet meriam karbet (membakar meriam karbit).

Tradisi ini bisa dirunut ke belakang, ke masa kesultanan Aceh. Pengumuman berpuasa di masa kerajaan Aceh itu dimulai dengan menembakkan meriam dari Dalam (sebutan untuk Istana Sultan Aceh). Demi menarik perhatian, meriam itu ditembakkan tujuh kali. Begitu pula saat menyambut hari raya, meriam ditembakkan dari Dalam kala matahari terbenam pada hari terakhir puasa. Ini sebagai tanda bahwa bulan perayaan sudah tiba. Tembakan meriam itu terus berlanjut, dimulai pukul 4 pagi hingga sore harinya.

Di Aceh, hari raya dikenal juga dengan istilah uroe seumumah (hari penyembahan). Istilah ini merujuk pada kebiasaan dalam masyarakat Aceh tiap hari raya tiba: istri sembah-salam kepada suami, anak-anak kepada orang tua, pasangan suami-istri ke rumah mertua, santri kepada gurunya, dan sebagainya.

Di masa kesultanan Aceh, pada hari kedua atau ketiga lebaran, para uleebalang (hulubalang) yang tinggal di dekat Dalam dan beberapa ulama terkemuka akan menghadap raja sebelum tengah hari. Di kesempatan tersebut, mereka menerima hadiah beberapa potong pakaian. Snouck menulis, kunjungan tersebut berbeda dari pertemuan-pertemuan sosial orang Aceh, karena tak melibatkan kepandaian berpidato seperti biasanya. Sementara Teuku Kadi Malikul Ade yang sering memimpin upacara di istana dan mempunyai hubungan lebih akrab dengan keluarga raja, biasanya datang pada hari pertama lebaran. Seperti anggota keluarga Sultan dan para pembantu rumah tangganya, dia mendapat bagian dari hewan yang disembelih oleh raja. [Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, hal 272]

Kebiasan berkunjung ke orang yang memiliki pangkat lebih tinggi sampai hari ini masih terjaga. Tiap lebaran, gubernur dan bupati/walikota menggelar open house di rumah atau di pendapa, dan siapa pun boleh datang bertamu untuk mengucapkan selamat hari raya kepada gubernur atau bupati/walikota. Biasanya, yang berkunjung lebih banyak para bawahan atau orang-orang yang berhasrat memperoleh keuntungan ekonomis dari sang pejabat.

Meriam karbit
Bagi yang pernah tinggal Aceh pada masa konflik, segera bisa merasakan perbedaan perayaan lebaran. Di masa konflik, masyarakat lebih memilih mengumandangkan takbir di meunasah-meunasah (surau) atau masjid. Di beberapa tempat, gema takbir itu hanya terbatas hingga pukul 10 malam. Tak ada pesta kembang api dan mercon. Tak ada bakar meriam karbit atau meriam bambu. Permainan seperti ini dilarang. Lagi pula masyarakat takut keluar malam. Bukan apa-apa, bunyi dentuman dari drum-drum minyak yang sudah diisi dengan karbit yang dibakar itu menyerupai ledakan granat atau suara tembakan GLM. Aparat keamanan akan menyisir kampung asal bunyi ledakan itu, karena menduga sedang terjadi kontak senjata.

Saat itu penjualan marcon dan kembang api dilarang. Toko-toko yang menjual marcon dan senjata mainan digeledah dan dirazia. Marcon dan senjata disita. Tak jarang pemiliknya harus berurusan dengan pihak berwajib. Hal ini bisa dimaklumi, anggota GAM yang punya keahlian merakit bom sering menggunakan mercon sebagai bahan membuat bom rakitan.

Kini, setelah 10 tahun perdamaian tercipta, jika sempat ke Aceh pas malam lebaran, jangan terkejut dan takut. Jika Anda mendengar bunyi ledakan keras yang bersahut-sahutan, dari satu kampung ke kampung lain, Anda tak perlu kuatir. Itu sama sekali bukan bunyi granat atau ledakan bom rakitan yang dipasang anggota GAM untuk menghadang iring-iringan TNI/Polri. Tak usah takut sedang terjadi kontak senjata. Bukan, sama sekali bukan. Sebab, sejak 15 Agustus 2005 silam, GAM dan RI sudah sepakat berdamai sekaligus berhenti berperang.

Suara dentuman keras itu berasal dari bunyi karbit yang dibakar di dalam drum-drum minyak, biasanya diletakkan menghadap ke kampung tetangga atau ke areal persawahan. Masyarakat tua-muda antusias merayakan malam lebaran dengan meriam karbit, sebagiannya dengan petasan dan kembang api. Uang untuk pembuatan meriam karbit itu biasanya dari hasil meuripee (turun tangan) pemuda dan dermawan, atau sumbangan dari perantau yang mudik ke kampung.

Di Pidie, saban tahun pesta meriam karbit digelar di Gampong Ulee Ceue, Ulee Tutong, Dayah Tutong Meunasah Tanoh (semuanya di Kecamatan Pidie). Selain itu, masyarakat di bantaran sungai Krueng Baro, seperti Garot, Indrajaya, dan Gampong Aree, Delima juga punya tradisi serupa. Di sini, drum-drum minyak berisi karbit tersebut berikut meriam bambu diletakkan berjejer di tepi sungai. Begitu gema takbir seusai salat Magrib berhenti, drum-drum itu disulut dengan api, melahirkan bunyi ledakan hebat. Lalu, masyarakat dari desa sebelah membalas dengan suara yang tak kalah besarnya. Mereka seperti berlomba-lomba menunjukkan ledakan mana yang lebih keras. Permainan ini bisa berlangsung semalam suntuk dan baru berhenti pas adzan subuh.

Anak-anak dan senjata mainan
Sepanjang ingatan saya, terutama ketika kekuatan GAM menghipnotis Aceh awal 1999 hingga akhir 2001, momen uroe raya kerap dimanfaatkan oleh anak-anak Aceh berlatih perang-perangan. Untuk peralatan perang, mereka beli senjata mainan, bermacam-macam model, umumnya mengikuti senjata yang digunakan pelaku konflik Aceh. Senjata mainan jenis AK-47 (senjata yang banyak digunakan tentara GAM) laku keras di pasaran dan jadi senjata favorit anak-anak, selebihnya jenis M-16 dan SS-1 (senjata yang banyak digunakan TNI dan Polri).

Sejak hari pertama lebaran, kita segera disuguhkan permainan perang-perangan ala anak-anak ini. Satu kelompok berlagak anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lengkap dengan nama sandi/panggilan masing-masing, sementara satu kelompok lagi bertindak sebagai anggota TNI dan Polri. Kedua kelompok ini terlibat ‘perang’, mulai di jalan raya hingga ke perkampungan penduduk. Mereka berlarian dan bersembunyi persis pasukan TNI/Polri atau GAM.

Celakanya lagi, sebagian dari mereka tak sekadar bermain perang-perangan layaknya perang antara TNI/Polri dan GAM, melainkan juga meniru perangai mereka. Ada yang mencoba menyetop mobil atau sepeda motor di jalan dan meminta pungli (pungutan liar) persis seperti dilakukan anggota TNI/Polri di pos-pos penjagaan, ada pula yang melakukan penghadangan dan penyerangan mobil di jalan, seperti yang kerap dilakukan anggota GAM terhadap patroli TNI/Polri.

Fenomena tersebut sempat berkurang saat Aceh berstatus Darurat Militer dan Darurat Sipil, 19 Mei 2003 hingga tsunami 26 Desember 2004. Penjualan senjata mainan dan mercon untuk anak-anak dilarang. Siapa pun yang menyimpan senjata mainan di rumah harus siap ditanya macam-macam oleh aparat keamanan ketika penggeledahan digelar. Lagi pula, saat Darurat Militer berlangsung, lebaran di Aceh tak begitu meriah dan semarak.

Baru setelah perdamaian tercipta 15 Agustus 2005, lebaran di Aceh kembali menggeliat. Anak-anak, terutama di Aceh pesisir, kembali bermain perang-perangan, bahkan hingga hari ini. Bedanya, jika sepanjang 1999-2001 mereka meniru GAM dan TNI, kini beralih berlagak Din Minimi (mantan anggota GAM yang angkat senjata memprotes ketidakadilan pemerintah Aceh) atau Din Robot (mantan anggota GAM yang ingin bergabung ISIS jika kesejahteraan kombatan tak dipenuhi).

Mereka memang masih bermain perang-perangan, tapi tak lagi perang antara GAM versus TNI/Polri, tapi perang antara Din Minimi dengan TNI atau Din Minimi dengan KPA. Sesekali mereka juga menembak muda-mudi yang berboncengan di atas sepeda motor di jalan raya. Gaya mereka persis menyerupai militer dengan kaca-mata hitam.

Saya pikir, inilah kondisi yang pernah ditakuti anggota Komnas Anak, Achmat Marzuki, “anak-anak terutama di pedalaman Aceh, secara mental tampak sekali jiwanya penuh ketakutan. Kalau mereka bermain, mainannya pun perang-perangan.” [Kompas, 19 Juli 2003]

Dan lebaran ini, saya masih melihat anak-anak berkaca-mata hitam menenteng senjata mainan, dengan wajah yang dibuat sangar. Ini sekali lagi menunjukkan, masih ada sisa-sisa militansi dalam diri anak Aceh. Jika salah dikelola, mereka dapat disulap jadi pejuang di masa-masa mendatang. []
Note: tulisan ini awalnya ditulis atas permintaan Pindai.org, tapi rupanya tak jadi tayang karena tak sesuai dengan tema mereka bulan Juli yaitu tentang kitab-kitab keagamaan. Mereka minta naskah baru untuk Agustus. Akhirnya, tulisan ini jadi Jumpueng

Post a Comment

Previous Post Next Post