Ketika Apa Genseh Mencari Menantu

Lebaran tempo hari, si Maun dan si Suman kembali bersua si Dollah, teman bermain masa kecilnya. Mereka pun bernolgia masa-masa remaja, ketika mulai merasakan jatuh cinta. Si Dollah yang tak ikut merantau, lebih banyak diam dan hanya menyimak saja cerita dua kawannya itu. Pun begitu, Dollah juga terbilang sukses di kampung.

Suatu hari, mereka bertiga diundang dalam sebuah jamuan makan siang di rumah Apa Genseh, orang terpandang di kampung. Apa Genseh sudah mendengar rumor, kalau tiga pemuda itu jatuh hati sama anak perempuannya, Putri Canden. Sudah jadi rahasia umum, Putri Canden itu dikenal sebagai boh lam on, yang kecantikannya menyihir banyak pemuda kampung.

Apa Genseh ingin manfaatkan acara makan siang itu untuk menilai, siapa di antara mereka yang memang layak dipertimbangkan menjadi pendamping hidup Putri Canden. Awalnya, dia memang ingin mencari calon suami untuk anaknya itu dari kota, yang mapan secara ekonomi dan punya status sosial tinggi. Namun, waktu itu belum begitu familiar mencari calon menantu seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau dokter. Di kampung yang berada di pesisir itu sangat jarang pemudanya kuliah ke Banda Aceh. “Jangankan mencari calon menantu PNS, yang kuliah saja belum tentu ada,” begitu pikir Apa Genseh.

Istri Apa Genseh, Rabumah, sengaja menyembelih empat ekor bebek kampung sebagai menu utama menjamu pemuda itu. Ada juga bandeng bakar dan udang windu (udueng itam) goreng dalam ukuran besar. Kebetulan, jamuan makan itu digelar berbarengan dengan kenduri syukuran untuk anak lelaki bungsunya yang baru lulus dari sebuah dayah di Samalanga. Boleh dibilang, perjamuan itu sebagai kenduri kecil-kecilan. Tak banyak tamu yang diundang, hanya orang-orang dekat saja.

Pagi-pagi sekali, si Maun, si Suman dan si Dollah sudah antri di sumur meunasah. Pemuda di kampung pinggiran pantai itu memang terbiasa mandi di sumur meunasah. Selain memiliki dinding beton yang terlindungi dari luar, airnya juga jernih. Hampir semua perempuan di kampung itu menggunakan sumur meunasah untuk mencuci pakaian atau mandi. Di hari Minggu, kalau tidak datang pagi-pagi, sampai sore tidak akan kebagian tempat untuk mencuci. Pasalnya, areal sumur itu hanya cukup untuk tiga orang. Salah satu cara untuk menandai ada orang di dalam sumur, cukup melihat gantungan handuk di pintu.

Selesai mandi, mereka cepat-cepat pulang. Mereka berdandan ala kadar. Tapi, ketiganya tampak berpakaian rapi sekali. Si Maun menggunakan kemeja lengan panjang, dengan celana kain katun dengan warna seragam. Si Suman, seperti biasa, memakai kaos berkerah dengan celana jeans biru tua. Dia pun keliatan gagah dan lebih muda. Sementara si Dollah, bukan orang yang begitu memperhatikan penampilan. Orangnya cukup simpel, tidak ribet. Dia hanya pakai celana jeans dengan kemeja kotak-kotak putih-biru lengan pendek. Kalau diperhatikan sekilas, dia cuma berdandan asal-asal saja.

Di rumah, Apa Genseh dan istri yang menyambut tamu. Satu persatu para tamu undangan disalami dan dipersilahkan masuk ke rumah. Si Maun, si Suman dan si Dollah tidak berangkat bareng. Mereka pergi sendiri-sendiri. Si Suman yang pertama hadir. Di kampung, si Suman memang terkenal sangat disiplin jika pergi kenduri.

“Assalamu’alaikum...” dia memberi salam, sambil menyodorkan tangan menyalami Apa Genseh, yang mempersilahkannya masuk. Si Maun yang datang kemudian, juga memberi salam. Dia pun masuk ke dalam.

Selanjutnya, si Dollah. Kebetulan dia datang belakangan dengan beberapa tokoh gampong. Dia tak ikut memberi salam, dan juga tak menyalami Apa Genseh. Dollah memilih berbaur dengan beberapa pemuda yang berdiri di bawah pohon jambu. Rupanya, dia tak rela membuang rokok yang baru disulutnya di kios depan Meunasah. “Rugi kalau dibuang, masih tinggal seribu lagi,” katanya, kepada kawan-kawannya di sana.

Ilustrasi Tauris Mustafa
Setelah tak ada lagi tamu yang datang, Apa Genseh dan istri ikut masuk ke dalam. Mereka mempersilahkan para tamu di ruang tamu untuk mencicipi masakan. Apa Genseh memang tak menyiapkan menu ala France di mana para tamu mengambil sendiri makanannya, tapi dengan cara menghidangkan langsung. Sementara untuk beberapa tamu penting, disiapkan meja makan khusus di ruang makan keluarga, di mana si Maun, si Suman dan si Dollah turut di dalamnya. Di atas meja, pelbagai menu masakan sudah terhidang rapi.

Sebagai tuan rumah, Apa Genseh awalnya memilih tidak ikut makan bareng mereka, karena ingin memantau saja. Tapi Keuchik meminta agar Apa Genseh ikut bergabung. Jadilah, Apa Genseh duduk di kursi dekat meja, menghadap para tamu. Si Maun, si Suman dan si Dollah kini dalam jangkauan mata Apa Genseh. Mereka tampak malu-malu. Maklum, orang yang duduk di hadapannya tak lain adalah calon mertuan mereka.

Si Maun mengambil piring kari bebek. Dia sangat hati-hati ketika mengangkat piring lauk itu, biar tak bunyi kring-krang-kring. Dia mengambil secukupnya. Selanjutnya, dia mengambil satu belahan telur asin kesukaannya plus kerupuk mulieng. Maun sama sekali tak menyentuh udang goreng. Dia tak mau calon mertuanya melihatnya loba. Dia pun mengunyah nasi dengan hati-hati, seperti tak bersemangat.

Si Suman lain lagi. Setelah mengambil kari bebek, masih dia tambah dengan bandeng masak putih. Dua ekor udang goreng ukuran besar segera berpindah ke piringnya. Dia juga mengambil satu belahan telur rebus yang di atasnya diberi sambal merah. Kini, di atas piringnya, menyerupai puncak gunung Seulawah. Dia sendiri tak yakin mampu menghabiskan semuanya.

Si Dollah yang merasa kalau Apa Genseh tak mungkin memilihnya jadi menantu. Orangnya khas pemuda kampung, dan pakaiannya pun tidak rapi. Dia ingat, saat datang tak memberi salam atau menyalami Apa Genseh seperti tamu lainnya. Dia memang tak terbiasa begitu. Makanya, sama sekali tak terlintas di benaknya akan dipilih jadi menantu.

Dollah mengambil piring nasi di hadapannya, lalu menukar dengan nasi tambah. Orang-orang di samping pada menoleh. Ini tak biasa dalam kenduri di kampung. “Ah, peduli amat, dari tadi sudah lapar,” gumannya dalam hati. Satu piring kari bebek berpindah ke atas piring nasinya. Piring udang goreng dia tarik mendekat, begitu pula piring mie hun, piring telur asin dan bandeng masak merah. Tak lama lagi, lauk itu akan berpindah atau masuk mulutnya. “Tak masalah nggak dipilih jadi calon suami si Canden, yang penting kenyang.”

Dia pun makan dengan lahab, tak peduli kalau di hadapannya ada Apa Genseh. Dollah makan seperti orang yang sudah seminggu tak mendapat makanan. Dia pun jadi yang paling cepat selesai makan, dan hampir semua piring yang diambilnya tadi kosong, kecuali piring ikan bandeng yang masih tersisa sepotong lagi. Acara makan-makan itu pun selesai.

Para tamu undangan termasuk tiga sekawan itu pulang. Pekerja di rumah Apa Genseh mulai beres-beres. Piring-piring kotor dibawa ke dapur. Makanan yang terisa diambil dan disatukan dalam piring lain, sehingga nantinya bisa dibawa pulang oleh pekerja atau tukang masak.

Apa Genseh dan istri memilih bersantai di balai samping rumah. Di sinilah mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan bersantai. Lebih-lebih Apa Genseh, dia sering kali terlihat membaca koran dan menyeruput kopi pagi di situ. Mereka mulai menilai satu persatu calon menantu yang diundang makan tadi.

“Maun orangnya sopan, tapi agak malu-malu anaknya,” Rabumah membuka pembicaraan.

“Ya, anaknya dingin. Tak cocok dengan si Canden. Sama-sama dingin,” Apa Genseh menimpali.

“Si Maun juga kelihatan bukan pekerja keras, anak kita pasti tak akan bahagia,” jawab Rabumah lagi.

“Cara makan saja dia kelihatan tidak semangat, dalam bekerja begitu juga. Bakalan lapar anak kita,” kata Apa.

“Kalau si Suman bagaimana, Abi?” tanya Rabumah.

“Suman tipe orang bernafsu besar, tapi tenaga kurang. Dari cara dia menumpuk lauk makan keliatan dia pemalas, dan tidak memikirkan orang lain,” kata Apa Genseh.

“Ya. Kalau dia jadi suami si Canden, putri kita kayak memelihara kerbau sakit di rumah,” timpal Rabumah. “Si Dollah, menurut Abi bagaimana?” lanjutnya.

“Si Dollah lain. Dia memang kelihatan kampungan, kasar dan tidak peduli orang. Dari cara dia makan, tampak tipe pekerja keras. Anak ini tak tahan lapar,” kata Apa Genseh.

“Benar Abi, dari cara makan dia lahab benar. Cari rezeki juga begitu. Anak kita pasti tidak akan dibuat lapar,” sambung Rabumah. Keduanya pun sepakat menjodohkan Putri Canden dengan si Dollah. []

Post a Comment

Previous Post Next Post