Cerita dari Kampung Canggai Lango

Awal September 2015 lalu, saya dan beberapa teman menyambangi Kampung Canggai, Mukim Lango, Pante Ceureumen, Aceh Barat. Hujan deras baru saja mengguyur salah satu Kampung di Aceh Barat itu, dan seolah menyambut kami yang datang dari jauh.

Sekretaris Mukim Lango, M Idrus, sudah menunggu di sebuah kios di dekat jembatan gantung yang membentang di atas Sungai Meurabo. Jembatan tersebut merupakan salah satu dari dua jalur akses ke Kampung Canggai. Satu jembatan lagi berada di Kampung Sikundo, desa terjauh yang ada di Mukim Lango, sebuah mukim tertua di Bumi Teuku Umar itu.

Cerita dari Kampung Canggai Lango
Jembatan Lango
Karena hujan yang belum ada tanda-tanda berhenti, kami sepakat beristirahat sejenak di kios itu sambil mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa ke Kampung Canggai. Mobil kami terpaksa diparkir di tanah kosong milik warga yang tak jauh dari jembatan. 

Barang bawaan yang tidak begitu penting kami tinggalkan di dalam mobil. Pasalnya, kami hanya menginap dua malam di rumah Sekretaris Mukim. Di Mukim Lango ini tak ada rumah penginapan. Para tamu yang datang ke sana sering menjadikan rumah warga sebagai tempat menginap.

Jembatan yang menghubungkan Mukim Manjeng dengan Mukim Lango itu panjangnya hampir 500 meter dengan lebar tak lebih 1,5 meter, dan hanya bisa dilewati dengan sepeda motor saja. Itu pun jika ada sepeda motor dari arah berlawanan, pengendara sepeda motor dari arah sebaliknya harus sabar menunggu di tepi ujung jembatan. Dengan lebar 1,5 meter, badan jembatan hanya muat dilalui satu sepeda motor saja.

Setelah hujan mereda, satu persatu kami diantar menggunakan sepeda motor ke Kampung Canggai. Karena hanya ada dua sepeda motor, kami yang berjumlah lima orang itu dijemput secara bergantian. Menuju Desa Canggai kami melewati beberapa jalan menanjak yang belum dilapisi aspal, hanya ditaburi kerikil dan sertu. Namun, begitu memasuki Kampung Lawet, jalan sudah mulai teraspal.

Di sepanjang jalan yang kami lalui, saya bisa melihat hamparan sawah yang cukup luas, lalu sebentar kemudian dihadapkan dengan kebun kelapa sawit yang mulai berbuah. Di sisi sungai Meurabo yang arusnya terkenal ganas itu, saya dapat melihat bekas longsor yang tergerus derasnya air sungai. 

“Sungai itu sering kali meluap jika hujan tak henti-henti, seperti sekarang ini,” kata M Idrus yang memboncengi saya.

M Idrus menuturkan, mata pencaharian masyarakat di Mukim Lango umumnya sebagai petani, peternak sapi dan kerbau. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka sering mencari udang dan ikan di sungai. Mereka menangkap ikan dengan cara menebar jala, ada yang menggunakan reuleu (serok) atau dengan cara memancing. Ikan yang paling diminati masyarakat di sini adalah limbek (seungko, bahasa Aceh), dan belut.

Pentingnya keberadaan ikan di sungai, dalam Qanun Mukim Lango Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penguasaan dan Pengelola Hutan Adat Mukim, diatur tentang larangan meracun ikan di sungai. Siapa pun yang kedapatan meracun ikan, peralatannya disita dan diharuskan membersihkan halaman masjid selama tiga kali Jumat. 

“Hukuman ini untuk membuat pelaku malu mengulangi perbuatannya, karena setiap hari Jumat masyarakat melihat mereka membersihkan halaman masjid,” kata seorang Petua Kampung di sana.

***
Sebelum jaringan listrik masuk ke Kampung Canggai, masyarakat memanfaatkan damar untuk keperluan penerangan dan kebutuhan memasak, selain kayu bakar tentu saja. Listrik baru masuk ke sana sekitar tahun 2007 atau dua tahun setelah tsunami. “Orang-orang di sini pergi ke rimba mencari getah dama (damar, red),” kata Hasbi bin Teungku Bilue Sop yang dipanggil Ayah oleh orang Kampung Canggai itu.
 
Hasbi sama sekali tidak ingat kapan tahun lahirnya. Yang Dia tahu, dirinya lahir saat Indonesia baru saja merdeka. Meski sudah berusia senja, penglihatannya masih cukup baik, hanya pendengaran saja yang sudah berkurang. Dia tak banyak bicara dan hanya menjawab saat ditanya saja.

Masyarakat, kata Hasbi, biasa mencari getah damar secara berkelompok, atau sendiri-sendiri. Umumnya, hanya kepala keluarga atau anak tertua yang berangkat ke hutan. Jumlah getah damar yang dibawa biasanya cukup untuk keperluan seminggu hingga dua minggu. Damar yang dibawa pulang dari hutan itu kemudian direbus agar mencair. Cairan itu lalu dimasukkan dalam sebuah wadah dan dicetak berbentuk batangan.

“Setelah jadi batangan, lalu dipotong sesuai kebutuhan. Satu potongan cukup untuk satu Jumat,” jelasnya. Satu jumat yang dimaksud itu sama dengan seminggu dalam hitungan kita sehari-hari.

Namun, selama dua hari di Canggai, saya tak bisa menemukan sisa-sisa penggunaan damar. Masyarakat mengaku selepas tsunami tak lagi menggunakan damar sebagai alat penerang atau keperluan dapur. Pasalnya, setelah tsunami, masyarakat di kawasan itu mendapatkan bantuan panel surya dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Masing-masing rumah tangga memperoleh satu panel surya.

Hasil perbincangan saya dengan beberapa anggota masyarakat menyebutkan listrik masuk ke Canggai berbarengan dengan pembangunan jalan. Tak ada yang ingat pasti, kapan persisnya jaringan listrik mulai dibangun di sana. “Yang jelas listrik dan jalan dibangun bersamaan. Kalau tidak salah sekitar tahun 2007, setelah tsunami,” kata beberapa warga di sana serempak.

Selama di Canggai, saya lihat ada delapan unit rumah yang bentuk dan catnya persis sama. Sekretaris Mukim Lango, M Idrus, menuturkan, rumah tersebut merupakan bantuan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA), sebuah lembaga yang dibentuk setelah perdamaian untuk membantu korban konflik. Anggaran per unitnya mencapai 40 juta rupiah. Pembangunan rumah tersebut tidak menggunakan batu-bata, melainkan dengan cor semen langsung.

“Tak ada akses jalan untuk mengangkut batu bata ke Canggei,” kata M Idrus. Masyarakat pun membangun rumah dengan memanfaatkan pasir yang melimpah dari sungai. Pun begitu, saya sempat hanya melihat satu-satunya rumah yang dibangun dengan menggunakan batu bata. Rumah itu baru dibangun dan belum selesai. Menurut beberapa warga, batu batu itu diangkut menggunakan rakit kayu.

Dua hari di Canggai, saya tak pernah melihat mobil berseliweran di jalan atau terparkir di rumah warga. Masyarakat di sana sering menggunakan sepeda motor atau sepeda dalam beraktivitas dan bepergian. “Hanya ada dua mobil di kampung ini,” kata Ibnu Umar, Imum Mukim Lango, ketika saya mewancarainya. “Satu jenis L300 dan satu lagi mobil pick-up,” tambahnya.

Satu unit mobil sempat saya lihat sedang teronggok di tepi sawah. Beberapa orang terlihat sedang memperbaikinya. Mobil itu, kata Ibnu Umar, hanya bisa dikendarai di kawasan kampung itu saja, tak bisa dibawa keluar karena tidak ada akses untuk lalu lintas mobil. “Dulu ketika dibawa masuk ke sini menggunakan rakit saat air sungai sedang dangkal,” katanya.

***
Meski akses ke Mukim Lango, terutama ke Kampung Canggai sangat sulit, masyarakat di sana sangat peduli pada pengembangan ekonomis berbasis masyarakat gampong, seperti pengelolaan hutan adat. Salah satunya, terlihat dari pembentukan Qanun Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat Mukim. Qanun yang disahkan pada 13 November 2014 ini mengatur secara rinci tentang tata kelola dan pemanfaatan hutan adat. 

Tujuan Qanun itu untuk melindungi hutan sebagai kawasan tangkapan air dan kelestarian fungsi lingkungan; melindungi hak warga mukim terhadap kawasan hutan; memberikan kemanfaatan kepada masyarakat mukim setempat; serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

Keberadaan hutan adat sangat penting bagi masyarakat. Di dalam qanun diatur tentang kewajiban masyarakat untuk melindungi kawasan hutan adat yang berfungsi sebagai hutan lindung itu. Perlindungan hutan adat, misalnya, dengan cara larangan membuka lahan, berburu satwa langka dan satwa yang dilindungi, menebang pohon, usaha tambang, meracun ikan dan membakar hutan.

Masyarakat adat diperbolehkan memungut hasil hutan dalam kawasan fungsi lindung berupa hasil hutan non kayu (rotan, damar, madu, ikan, gaharu dan ramuan obat-obatan); memburu kijang, rusa dan kancil dengan alat tradisional pada waktu-waktu tertentu yang dibenarkan adat; meneliti keadaan hutan, satwa dan tumbuhan.

Dalam hal memotong rotan, yang diperbolehkan hanya yang jauh dari aliran sungai. Sementara rotan yang terdapat di dekat aliran sungai dilarang. “Di dalam qanun pemotongan rotan harus dilakukan dengan cara tidak memanjat, tidak boleh asal tebang,” kata Imum Mukim Lango, Ibnu Umar, sembari memperlihatkan aturan qanun. Rotan yang dibolehkan dipotong haruslah di atas ukuran sepuluh meter. “Di bawah sepuluh meter dilarang,” katanya.

Penebangan pohon di hutan produksi diatur secara ketat. Warga mukim yang ingin menebang kayu harus memperoleh persetujuan dari Pawang Uteun selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap hutan. Sebelum izin diberikan, Pawang Uteun akan memeriksa jenis kayu, diameter kayu dan letak tumbuhnya kayu tersebut.

“Kayu yang diboleh ditebang memiliki diameter minimal 50 centimeter, dengan jarak 50 meter dari bibir sungai,” kata Ibnu Umar. Penebangan pohon yang berada di dekat aliran sungai, lanjutnya, mutlak dilarang, karena akan menggangu sumber air.

Pada Rabu, 9 September 2015, saya dan teman-teman kami meninggalkan Kampung Canggai, Lango dengan berjalan kaki. M Idrus mengantar kami sampai di jembatan gantung. “Saat demam batu giok melanda Aceh, banyak mobil mewah dari luar Aceh Barat diparkir di ujung jembatan,” kata M. Idrus menunjuk ke arah kios tempat kami pernah berteduh. “Mereka memburu giok sampai ke kampung kami.”


Pemerintah perlu memikirkan program untuk membuka akses perekonomian ke Kampung Canggai dan kampung lain yang ada di Mukim Lango. Salah satunya dengan membangun jembatan rangka baja, yang sangat didambakan masyarakat di sana. Kampung yang sempat menggeliat saat demam giok, akan bergairah kembali. Kali ini bukan karena giok, tapi dari hasil hutan yang selama ini dijaga sangat baik oleh masyarakat di sana. []

Post a Comment

Previous Post Next Post