Apa Karya dan Hikayat Boh Punyie

Di Pilkada Aceh 2017, Zakaria Saman adalah seorang rising star! Saya yakin semua orang sepakat dengan kesimpulan ini.
Apa Karya, begitu orang sering memanggilnya, hadir di panggung Pilkada bukan untuk membuat politik melulu urusan serius. Bagi mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, politik adalah sebuah pesta kegembiraan. Setegas apapun perbedaan pilihan politik, kita tak boleh melupakan sifat alamiah manusia yang suka tersenyum, dan sesekali tertawa (bahkan terbahak-bahak). Dan Apa Karya tahu betul akan hal ini. Makanya, dia mengusung politik kegembiraan.
Apa Karya
Zakaria Saman
Saya tidak mengenal apalagi dekat dengan Apa Karya, begitu pun beliau. Saya tak yakin beliau mengenal saya, pun pernah mendengar tentang saya. Dunia kami begitu berjarak. Dia mewakili orang yang ‘han trok wa’ (HTW), sementara saya hanya anak ingusan yang mencoba menjadi ‘Aceh’ seperti dia. Dia berhasil, sementara saya gagal. Kenapa? Diakui atau tidak, Dia adalah figur penting di tubuh Gerakan Aceh Merdeka, yang sebelum MoU Helsinki disepakati, adalah sosok yang ikut menentukan Aceh mengarah ke mana: berdiri sendiri atau terus berkubang dalam darah.
Dia, bersama Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya, menginisiasi pelatihan militer bagi ratusan pemuda Aceh yang sudah bersedia “menggadaikan” nyawa mereka untuk mewujudkan cita-cita merdeka, sesuatu yang tidak pernah mampu saya lakukan (dan mereka pun kemudian juga gagal). Memang, saya sempat beberapa kali memberikan ceramah Aceh Merdeka di kala RI dan GAM menyetujui sebuah kesepakatan penghentian permusuhan atau Cessations of Hostilities Agreement (CoHA) pada 2002 silam. Tapi, itu pun saya lakukan di bawah pengamanan dan ketiak pasukan GAM, yang lagi-lagi secara hierarki, ada Apa Karya di atas mereka.
Meski tidak mengenal Apa Karya bukan berarti saya tidak pernah mendengar tentang Dia. Bagi orang yang akrab dengan dunia media, saya tentu saja sering membaca nama dia diulas, minimal dikutip oleh media, setiap kali media menulis tentang Gerakan Aceh Merdeka. Sebagai Menteri Pertahanan, peran Apa Karya tidaklah kecil. Dia disebut-sebut sebagai salah satu orang penting yang menyelundupkan senjata untuk gerilyawan GAM di lapangan, kala bermukim di Thailand. Itu memang menjadi tugas dia selaku Menhan.
Suatu hari di akhir tahun 2005, atau beberapa bulan setelah MoU Helsinki diteken, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) menggelar Sidang Umum SIRA ke III di Dayah Ashabul Yamin, Grong-grong, Pidie. Pada hari pertama rapat, hadir dua orang penting Aceh Merdeka, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe dan Zakaria Saman. Keduanya adalah orang kepercayaan Hasan Tiro di nanggroe. Saya tak ingat lagi warna baju mereka, namun keduanya kompak memakai kemeja. Saya tak yakin apakah saya sempat bersalaman dengan mereka atau tidak. Soalnya, urusan salaman dengan orang penting atau pejabat memang sangat jarang saya lakukan. Sudah bawaan sejak lahir.
Ketika itu, hubungan SIRA dan GAM masih cukup romantis, mantong meu-adoe A, meunan. Belum lahir lakab pengkhianat untuk SIRA. “SIRA nyan aneuk miet geutanyoe,” kata petinggi GAM kala itu. Dalam ingatan saya, lahirnya label ‘pengkhianat’ kepada SIRA dimulai saat proses Pilkada 2006 dan terus menguat di Pemilu 2009. Label pengkhianat kemudian terus mewarnai perjalanan politik di tanoh indatu, dan dilakabkan kepada siapa pun yang mencoba mengambil jalan berbeda dari jamaah. Hubungan yang memburuk itu memang menjadi sebuah keniscayaan ketika perjuangan politik berupa berebut kuasa menjadi panglima. Fenomena ini lazim terjadi di belahan dunia mana pun yang baru lepas dari konflik.
Kedua petinggi GAM ini kemudian diberi kesempatan untuk menyampaikan beberapa kata sebagai bahan pemanasan untuk anggota SIRA yang akan bersidang. Menteri Keuangan menyampaikan beberapa perkembangan politik dan apa yang harus dilakukan setelah damai diteken, serta peran apa yang bisa dimainkan oleh SIRA.
“Kamoe nyoe kalheuh berjuang, sampe lahe MoU Helsinki. Kamoe hana muphom politek, suai politek nyan urusan gata-gata nyang mantong muda dan na jak sikula,” begitu kira-kira kata Apa Karya, saat itu. Entah mengamini wejangan Apa Karya dan Tgk Muhammad Lampoh Awe atau memang sudah mulai muncul keinginan untuk mengambil peran politik, para aktifis SIRA kala itu kemudian mulai bercita-cita mendirikan partai politik. Seingat saya, ada dua debat penting kala itu: mendirikan partai sendiri atau bersama-sama dengan Gerakan Aceh Merdeka (atau yang kemudian bermetamarfosa menjadi Komite Peralihan Aceh). Tak ada kata sepakat kala itu.
MoU Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005 menutup rapat peluang Aceh untuk merdeka atau menuntut referendum. Para pejuang GAM dan aktivis pro kemerdekaan tahu soal ini. Tapi, Apa Karya yang tahu kegelisahan orang Aceh, punya cara sendiri bagaimana menjelaskan hal itu. Di hadapan aktivis SIRA, Apa Karya mengeluarkan jurus mabuk, bagaimana mensiasati peluang Aceh merdeka yang sudah tertutup rapat dalam MoU Helsinki.
“MoU kalheuh ta teken, meumakna geutanyoe Aceh hanjuet le tuntut merdeka. Tapi, MoU nyan saban lagee punyie (penyu). Punyie memang hanjuet pajoh, tapi boh punyie juet pajoh (MoU sudah kita tandatangani, artinya kita orang Aceh tak boleh lagi tuntut merdeka. Tapi, MoU itu umpama penyu. Penyu tak boleh dimakan, tapi telur penyu boleh),” begitu katanya.
Saya tidak tahu, apakah Apa Karya masih ingat dengan hikayat boh punyie yang disampaikannya lebih 10 tahun silam itu. Yang pasti, kini mantan Menteri Pertahanan GAM itu mencoba peruntungannya dalam Pilkada 2017, berpasangan dengan T. Alaidinsyah. Tak ada yang tahu pasti bagaimana nasib orang Keumala, Pidie itu pada 15 Februari 2017 mendatang. Hanya saja, dalam sebuah debat kandidat, sosok yang dulu disapa Meuntroe Karim itu, meminta orang Aceh untuk tidak lagi memilih kuncing dalam karung. []

Sumber: ACEHKITA.COM

Post a Comment

Previous Post Next Post