Mereka Memilih Berdamai dengan Alam

Ada dua kisah yang ingin saya bagikan melalui tulisan singkat ini. Boleh jadi, ini hanya kisah biasa-biasa saja dan tidak akan mendapat perhatian luar biasa dari selebriti kita yang wara-wiri di televisi. Tidak juga menjadi viral di media sosial yang dibahas berhari-hari atau pun menjadi bahan diskusi di rapat-rapat kabinet. Tidak! Bahkan, kisah ini pun saya yakin tidak ‘menarik’ untuk ditulis sebagai berita di koran pagi.

Namun, kisah ini selalu saya simpan rapi, dan beberapa kali coba saya bagikan kepada teman-teman dalam diskusi terbatas. Bagi saya, apa yang dilakukan oleh orang-orang ini (saya menyebutnya masyarakat adat) memiliki pesan yang sangat jelas: menjaga bumi sebagai tempat yang nyaman untuk ditempati. Ya, mereka adalah orang-orang yang memilih berdamai dengan alam, alih-alih merusaknya.

***
Jembatan di perbatasan Mane-Tangse. Di sungai ini
terdapat banyak populasi ikan keureuling
M. Amin Djalil adalah seorang mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Pidie. Dia bergabung dengan GAM, sebuah gerakan yang berjuang memerdekakan Aceh dari Indonesia, pada tahun 1988. Bang Min, demikian pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu disapa, pernah bergerilya di hutan-hutan Tangse dan Geumpang bersama Pawang Rasjid, seorang tokoh GAM yang sangat disegani di wilayah itu.

Bang Min tidak seperti mantan kombatan GAM yang lain, yang memilih banting setir menjadi kontraktor atau agen proyek. Perokok berat yang di jari manisnya tak pernah lepas dari cincin berwarna hitam itu memang aktif di Partai Aceh. Pernah tergoda menjadi anggota dewan dari Partai Aceh pada Pemilu 2014 lalu, tapi tidak terpilih. “Mungkin bukan tempat saya bekerja di ruangan ber-AC,” kata dia saat saya jumpai di Kampung Mane, beberapa waktu silam. Sebagai orang yang lama berada di hutan, dia merasa senang ketika diserahi tugas menjaga dan mengelola hutan desa. “Saya lama di hutan. Tidak enak badan kalau saya tidak main ke hutan,” kata pria berkulit hitam manis itu.

Banyak rekan-rekannya yang dulu bersama-sama berjuang di hutan memilih bekerja di tambang emas yang ada di Geumpang. Ada sebagian yang membuka lobang,  semacam sumur yang digali secara tradisional dan ada juga secara modern untuk mendapatkan logam mulia. “Banyak yang meminta saya menjaga sumur emas, tapi saya tidak mau,” katanya. “Aktivitas penambangan emas itu sama dengan merusak lingkungan.”

Ya, kesadaran menjaga hutan dan lingkungan di Mane tergolong tinggi. Bayangkan, seorang pria yang ingin menikah tak hanya mampu menyiapkan sejumlah mas kawin, melainkan juga sudah menanam lima ratus batang pohon kopi. Aturan itu bukan dibuat-buat atau sekadar untuk cari sensasi saja. Dalam Qanun Nomor 1 Tahun 2012 tentang Mukim Lutueng yang disahkan pada 11 Juli 2012, kewajiban seorang calon linto baro (mempelai pria) menanam 500 batang kopi bisa ditemui pada pasal 32 (ayat 2). “Setiap pemuda baru layak dinikahkan setelah memiliki minimal 500 batang pohon kopi,” demikian tertulis di qanun.

Awalnya saya tidak yakin ada aturan demikian. Imum Mukim Lutueng, Sulaiman SE, menjelaskan, aturan tentang kewajiban menanam 500 pohon kopi memang disebutkan dalam qanun. Aturan itu, katanya, sudah sejak lama berlaku di dalam masyarakat Mane, dan dipertegas kembali dalam Qanun Mukim. “Jika belum mampu menanam lima ratus batang pohon kopi, seorang pemuda belum saatnya menikah,” kata Sulaiman, SE, ketika saya jumpai di Kampung Turue Cut, Mane.

Tak hanya itu, di dalam Qanun Mukim juga diatur tentang pemanfaatan hasil sungai dan cara melestarikan sumber mata air.  Usaha pertambangan yang membahayakan dan mencemarkan sungai sebagai sumber air dan habitat ikan secara tegas dilarang. Sejumlah usaha penambangan emas di Mane ditutup, karena dipandang merusak lingkungan.

Kawasan Tangse, Mane dan Geumpang selain dikenal sebagai sentra produksi durian, juga terkenal dengan ikan keureuling-nya. Ketika pertambangan emas masih massif serta perburuan ikan secara membabi-buta, kata Sulaiman, populasi ikan keureuling sempat menurun di Mane. Sebelum adanya qanun, masyarakat sering mengambil ikan dengan menggunakan racun, kontak/strum bahkan dengan amunisi. Kini, masyarakat hanya dibolehkan dengan menggunakan alat-alat yang tidak membahayakan seperti jala, dawo atau jaring pancing. Di beberapa lokasi, menjala ikan bahkan dilarang. Menjala ikan dianggap dapat mengurangi populasi ikan di sungai.

“Siapa pun yang mengambil ikan dengan cara meracun, alatnya disita dan harus bayar denda sebesar 5 juta rupiah,” katanya.

Bang Min menuturkan, penerapan aturan itu tidak pandang bulu. Seingatnya, ketika qanun itu berlaku, anggota TNI dari Yonif 113 Kompi Senapan E pernah kedapatan menangkap ikan dengan cara meracun. “Peralatannya kita sita,” katanya. Sesuai aturan, si anggota TNI pun terpaksa membayar sejumlah denda seperti tercantum dalam qanun.

Sejak aturan tersebut diterapkan, populasi ikan keureuling sudah mulai meningkat lagi. Para pemancing tidak lagi harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil tangkapan yang minim. Dulunya, jangankan ikan dalam ukuran besar, benih pun tak bisa didapat. Semua mati karena diracun.

Mukim Mane juga sangat tegas terhadap pembukaan lahan untuk penanaman kelapa sawit. Mereka menolak pembukaan lahan kelapa sawit selain merusak hutan, juga karena dapat mengganggu sumber air. “Lahan sawit boleh dibuka di Mane, tapi dengan syarat, masyarakat juga dibolehkan menanam ganja,” kata Imum Mukim Mane, Sulaiman, SE ketika saya menemuinya akhir 2015 silam. Langkah ini dilakukan pihaknya sebagai bentuk komitmen menjaga lingkungan untuk generasi mendatang. Sebagai informasi, hingga kini tidak ada lahan sawit di Mane.

***
Sebuah jembatan gantung membentang di atas sungai Meurabo.  Hujan deras yang baru saja mengguyur Aceh Barat itu terlihat jelas jelas dari debit air sungai yang meningkat. Sekretaris Mukim Lango, M Idrus, sudah menunggu di sebuah kios di dekat jembatan gantung, menyambut kami dengan hangat. Dia memberitahu saya bahwa jembatan yang berada di kampung Lawet itu, salah satu dari dua jembatan, yang menghubungkan Mukim Manjeng dengan Mukim Lango. Kedua Mukim ini berada di Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat. Satu jembatan lagi berada di Sikundo, kampung terjauh yang ada di Mukim Lango, sebuah mukim tertua di Bumi Teuku Umar itu.

Jembatan di Lawet itu panjangnya hampir 500 meter dengan lebar tak lebih 1,5 meter, dan hanya bisa dilewati dengan sepeda motor saja. Itu pun jika ada sepeda motor dari arah berlawanan, pengendara sepeda motor dari arah sebaliknya harus sabar menunggu di tepi ujung jembatan, begitu juga sebaliknya. Dengan lembar 1,5 meter, badan jembatan hanya muat dilalui satu sepeda motor.

Karena akses yang sangat terbatas itu, saya tak pernah melihat mobil berseliweran di jalan atau terparkir di rumah warga. Masyarakat di sana menggunakan sepeda motor atau sepeda dalam beraktivitas dan bepergian. “Hanya ada dua mobil di kampung ini,” kata Ibnu Umar, Imum Mukim Lango, kepada saya. “Satu jenis L300 dan satu lagi mobil pick-up.” Saya hanya sempat melihat satu unit mobil sedang teronggok di tepi sawah. Mobil itu, kata Ibnu Umar, hanya bisa dikendarai di kawasan kampung itu saja, tak bisa dibawa keluar karena tidak ada akses untuk lalu lintas mobil. “Dulu ketika dibawa masuk ke sini menggunakan rakit saat air sungai sedang dangkal,” katanya.

Meski berada di pedalaman Aceh Barat, masyarakat di Mukim Lango tergolong aktif peduli dan aktif menjaga hutan. Mereka membuat aturan khusus dalam bentuk qanun yang mengatur tentang pengelolaan hutan adat. Salah satunya terlihat dari pembentukan Qanun Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penguasaan dan Pengelolaan Hutan Adat Mukim. Qanun yang disahkan pada 13 November 2014 ini mengatur secara rinci tentang tata kelola dan pemanfaatan hutan adat. Qanun itu dibuat untuk melindungi hutan sebagai kawasan tangkapan air dan kelestarian fungsi lingkungan; melindungi hak warga mukim terhadap kawasan hutan; memberikan kemanfaatan kepada masyarakat mukim setempat; serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

Di dalam qanun juga diatur tentang kewajiban masyarakat untuk melindungi kawasan hutan adat yang berfungsi sebagai hutan lindung. Perlindungan hutan adat, misalnya, dilakukan dengan cara larangan membuka lahan, berburu satwa langka dan satwa yang dilindungi, menebang pohon, usaha tambang, meracun ikan dan membakar hutan.

Masyarakat adat diperbolehkan memungut hasil hutan yang berupa hasil hutan non kayu (rotan, damar, madu, ikan, gaharu dan ramuan obat-obatan); memburu kijang, rusa dan kancil dengan alat tradisional pada waktu-waktu tertentu yang dibenarkan adat; meneliti keadaan hutan, satwa dan tumbuhan. Ibnu Umar menuturkan, rotan hanya boleh dipotong yang berada jauh dari aliran sungai, sementara rotan yang berada di dekat aliran sungai sangat dilarang. “Di dalam qanun, pemotongan rotan harus dilakukan dengan cara tidak memanjat, tidak boleh asal tebang,” katanya sembari memperlihatkan isi qanun kepada saya. Itu pun, yang dibolehkan dipotong harus di atas ukuran sepuluh meter. “Di bawah sepuluh meter dilarang.”

M. Idrus, sekretaris Mukim, menambahkan, qanun juga memuat aturan tentang penebangan pohon di hutan produksi. Warga mukim yang ingin menebang kayu harus memperoleh persetujuan dari Pawang Uteun selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap hutan. Sebelum izin diberikan, katanya, Pawang Uteun akan memeriksa jenis kayu, diameter kayu dan letak tumbuhnya kayu tersebut.
 
Asam kendis, salah satu hasil dari hutan Lango
“Kayu yang diboleh ditebang memiliki diameter minimal 50 centimeter, dengan jarak 50 meter dari bibir sungai,” kata M. Idrus, yang dulunya anggota GAM itu. Penebangan pohon yang berada di dekat aliran sungai, katanya, dilarang keras karena akan mengganggu sumber air.

Tak hanya itu, dalam qanun juga memuat larangan meracun ikan di sungai. Siapa pun yang kedapatan meracun ikan, peralatannya disita dan diharuskan membersihkan halaman masjid selama tiga kali Jumat. “Hukuman ini untuk membuat pelaku malu mengulangi perbuatannya, karena setiap hari Jumat masyarakat melihat mereka membersihkan halaman masjid,” pungkas Idrus. [] 

Post a Comment

Previous Post Next Post