Martunis versus Komisi I

Dua hal menarik disimak sekaitan Aceh saat ini: Pertama, tentang bocah ajaib Martunis yang menegaskan kepada kita atau siapa saja, bahwa persoalan Aceh—khususnya pascatsunami—telah menembusi batas-batas teritorial, sekat-sekat sempit dan beku serta kemapanan cara berpikir kita. Sebuah baju mampu berbicara banyak hal: prestise, simbol, dan juga mempengaruhi nasib seseorang. Sosok Martunis juga menerangkan kepada kita bahwa Aceh tak mungkin ditutup dari dunia luar—internasionalisasi Aceh tak mungkin terbendung!

Kedua, Kebalikan Martunis, ada sekelompok orang, dengan berbagai atribut dan kemudian berhimpun di Senayan (baca: Komisi I DPR RI) menghentak kita semua. Bola panas yang ditendang dari Senayan itu menyentak dada kita, dada para korban konflik dan tsunami, dan juga wakil-wakil RI yang dikirim berunding ke Helsinki. Senayan meminta kepada Pemerintahan Yudhoyono untuk menghentikan serangkaian dialog dengan GAM, serta merekomendasikan supaya pemerintah kembali bersikap tegas terhadap GAM.

Perkembangan di Gedung Dewan itu, tak langsung membuat saya khawatir, karena sikap seperti itu sudah biasa ditunjukkan para wakil rakyat itu. Saya langsung teringat sepotong kalimat yang sempat terlontar dari seseorang yang dikirim berunding ke Helsinki, seperti dikutip Aboeprijadi Santoso: “ngomong sama GAM di sini lebih enak, lebih gampang, ketimbang menjelaskan di Cilangkap atau Senayan.” (acehkita, 26/04)

Martunis dan Keterbukaan Aceh
Siapa yang tak kenal nama Martunis sekarang, dia tak karib dengan Aceh! Martunis menjadi sosok fenomenal. Dia bisa menjelaskan lebih banyak hal kepada kita daripada apa yang bisa kita sampaikan. Dia seperti mewakili Aceh tempo doeloe yang inclusif, terbuka dan menganut nilai-nilai universalisme.

Martunis, seorang bocah Aceh 9 tahun, selamat dari amukan tsunami, dan bertahan hidup di tengah puing-puing bekas tsunami selama 19 hari hanya dengan minum air atau makanan yang lewat dari laut. Dia ditemukan hanya memakai pakaian sepak bola timnas Portugal. Pakaian ini kemudian yang membuatnya menjadi sosok terkenal, dan bisa melanglang buana ke Portugal, menyaksikan pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Potretnya, dimuat secara besar-besaran di media massa, baik dalam maupun luar negari.

Apa yang dapat dilihat dari sosok kecil ini? Menurut saya ada beberapa hal yang bisa dipelajari darinya. Pertama, Martunis menjelaskan kepada kita bahwa dia mewakili sosok Aceh yang kuat mental dan daya juangnya. Hal ini mengingatkan kita pada karakter masyarakat Aceh tempo doeloe yang kuat dan mampu bertahan meski terus menerus digempur Belanda, Jepang, dan Indonesia sekarang.

Kedua, Martunis mencoba mengingatkan kita bahwa Aceh adalah bagian dari masyarakat internasional. Kita tak dapat hidup sendiri, melainkan butuh interaksi dengan orang lain yang kadang-kadang berbeda secara budaya, ras, agama, bangsa dan negara dengan kita. Tapi perbedaan ini tak menghalangi ikatan kemanusiaan kita. Hal ini ditunjukkan misalnya lewat kecintaannya kepada timnas Portugal (dengan memakai kostum tim tersebut).

Ketiga, secara tidak langsung Martunis membalik logika yang digunakan Pemerintah Indonesia, khususnya Komisi I, yang mencoba menutup Aceh dari dunia luar dalam bentuk menolak internasionalisasi Aceh. Dan Martunis menolak semua itu. Bagi Martunis, kondisi Aceh seperti ini, mau tak mau butuh kehadiran orang lain, butuh negara lain. Aceh butuh masyarakat internasional, bukan hanya sekedar membantu korban tsunami, tapi juga membantu memulihkan dan menyelesaikan konflik Aceh yang sudah berlangsung puluhan tahun. Artinya, internasionalisasi Aceh dengan sendirinya tak dapat dielakkan.

Dan keempat, sosok Martunis menjelaskan kepada kita meski musibah datang silih berganti, tak membuat kita pesimis bahwa kita tak dapat hidup bahagia. Pastilah setiap musibah ada hikmahnya. Karena itu, rakyat Aceh mesti optimis menatap masa depannya. Tak mungkin Tuhan menakdirkan kita untuk terus hidup sengsara dalam balutan konflik serta terus hidup terhina sebagai bangsa “terjajah”. Meski sepertinya, kenyataan kita menunjukkan bahwa dari dulu sampai sekarang kehidupan rakyat Aceh tak jauh dari perjuangan dan peperangan (dalam balutan konflik dan konfrontasi).

Komisi I dan Wujud Indonesia
Perundingan Helsinki yang sudah memasuki tahap keempat, dalam pemikiran anggota Komisi I DPR RI yang menggawangi bidang Keamanan, luar negeri (juga sikap DPR RI khususnya Fraksi PDI-P dan PKB) dianggap sebagai sikap mengalah pemerintah terhadap tuntutan GAM. Menurut mereka, pemerintah harus menghentikan perundingan tersebut karena menguntungkan GAM, dan mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap GAM.

Saya termasuk orang yang bingung dengan pemikiran-pemikiran ‘cerdas’ anggota Komisi I DPR RI ini. Karena wacana-wacana yang digulirkan tersebut bisa mengganggu upaya penyelesaian konflik Aceh, serta membuka celah terhadap munculnya kebijakan keras terhadap Aceh, seperti ditunjukkan selama ini (dalam bentuk Darurat Militer).

Padahal, inilah momentum bagi semua pihak untuk memikirkan solusi penyelesaian konflik Aceh, bukan malah mencoba menggagalkannya dan membawa Aceh seperti dua tahun lalu: menutup Aceh, menutup pintu dialog, dan melegalkan pembunuhan atas manusia Aceh.

Bingung saya yang kedua, selama ini Pemerintah Indonesia sudah bertindak tegas terhadap GAM (Aceh) dalam bentuk Darurat Militer dan Darurat Sipil. Setahu saya, inilah tindakan paling tegas terhadap Aceh (karena memiliki payung hukum) yang pernah dilakukan Indonesia selain kebijakan DOM dan operasi-operasi kecil lainnya. Pertanyaan saya: adakah kebijakan yang lebih tegas lagi, misalnya dalam bentuk darurat perang, terhadap Aceh? Dan apakah mampu menjadi solusi penyelesaian Aceh?

Sekadar mengingatkan, kebijakan militer sampai kapan pun tak akan pernah menjadi solusi penyelesaian konflik Aceh. Penyelesaian versi militer hanya membuat upaya damai menjadi sia-sia serta membuka celah masalah lain yang lebih besar sebagai ekses dari kebijakan perang.

Pengalaman perang Aceh dengan Belanda, pengalaman DOM, seharusnya membuat Pemerintah Indonesia dapat berpikir cerdas, bukan hanya karena pengalaman itu terbukti gagal menaklukkan Aceh tetapi juga mengentalkan perlawanan Aceh dan membuat GAM semakin menguat dan didukung oleh rakyat Aceh.

Malah kebijakan yang dipilih pemerintah dalam bentuk Darurat Militer, juga terbukti gagal menghancurkan GAM, serta gagal menjadi solusi bagi Aceh. Apa yang pernah didengungkan pemerintah sebagai penyelesaian yang komprehensif melalui Darurat Militer tak pernah terwujud. Melainkan timbulnya korban pelanggaran HAM, angka kemiskinan, kehancuran mental dan juga institusi sipil di Aceh.

Jika kita mau jujur, Tuhan juga sangat marah atas kebijakan yang diambil pemerintah terhadap Aceh. Terbukti, sampai Tuhan menyindir pemerintah Indonesia (dalam bentuk tsunami), bahwa Dia lebih mampu dan berkuasa menghancurkan Aceh daripada sekadar apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia.

Lewat sindiran ini seharusnya kita sadar, bahwa tindakan tegas atau kekuatan militer tak akan menghasilkan apa-apa kecuali kehancuran. Perang tak akan memenangkan siapa-siapa kecuali mengalahkan perdamaian!

Bingung saya yang ketiga, sepertinya kalangan DPR RI (atau Komisi I) hendak menyembunyikan kenyataan, dan menutup kelemahannya sendiri, bahwa Aceh sudah tak mungkin ditutup lagi dari dunia luar. Semua orang, bangsa dan dunia sudah tahu apa yang sedang terjadi di Aceh (termasuk masalah konflik puluhan tahun). Bagaimana kalangan DPR dan Komisi I hendak menyembunyikan perundingan sebelumnya, baik sebelum tsunami maupun pertemuan Helsinki dari dunia luar?

Bagaimana sih cara berfikir teman-teman di DPR itu? Bukankah ini kondisinya seperti nasib imam shalat yang mencoba menyembunyikan suara kentutnya dari makmum di belakangnya? Padahal itu tak bisa disembunyikan, karena akan membatalkan shalat semua orang.

Martunis versus Komisi I
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa sepertinya sosok Martunis sedang beradu “suhu” dan kekuatan dengan Komisi I, tentang siapa yang akan menang dalam pertarungan wacana politik di Aceh?

Apakah Martunis akan menang sebagai sosok Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai universalismenya, ataukah Komisi I yang masih berkutat pada pikiran picik yang hendak mengisolasi Aceh dari dunia luar?

Setidaknya pertarungan wacana yang dibawa Martunis dan Komisi I akan sangat menentukan perjalanan penyelesaian Aceh ke depan. Jika Martunis menang, kita masih bisa berharap angin perdamaian dapat berhembus di Aceh. Tapi jika wacana Martunis sampai kalah, maka tak ada jalan lain selain mengucapkan selamat tinggal perdamaian! Sambutlah perang dengan diam, sampai manusia Aceh punah dari muka bumi! Dengan begitu mungkin pemerintah Indonesia dapat tidur nyenyak, karena tak ada yang merongrong kewibawaaannya sebagai negara berdaulat. [A]

*) Penulis adalah seorang warga Aceh
sumber www.acehkita.com 8 Juni 2005

untuk membaca komentar atas tulisan ini, silahkan klik di sini

Post a Comment

Previous Post Next Post