Filosofi Menara

Ilustrasi filosofi menara

Ada perumpamaan dalam Al Quran, bahwa "kalimat yang baik itu seperti pohon: dahannya menjulang ke langit dan akarnya menghunjam ke bumi." Karenanya, pohon itu pun kokoh meski saban waktu diterpa angin.

Menara juga demikian. Satu sisi dia tegak menjulang ke langit, sementara pondasinya tertanam kokoh di dasar bumi. Pondasi itu pula berfungsi sebagai penyangga dan penahan, sehingga menara tetap kokoh.

Awalnya, menara jelas dibangun sebagai simbol kesombongan, lambang kegagahan. Bahkan, ada menara yang khusus dibangun untuk memamerkan majunya sebuah peradaban, seperti Burj Khalifa (bahasa Arab untuk 'Menara Khalifa') yang sebelumnya bernama Burj Dubai. Menara ini adalah sebuah pencakar langit di Dubai, Uni Emirat Arab, diresmikan pembukaannya pada 4 Januari 2010. Ketinggian pencakar langit ini adalah 828 meter (2.717 kaki) dan menjadi menara paling tinggi di dunia.

Banyak pesan-pesan luhur (filosofi) yang terkandung dari sebuah menara. Tegaknya menara melambangkan kekuatan, percaya diri dan memiliki kelebihan. Tapi, setinggi-tingginya menara, selalu ada sesuatu di atasnya yang tak terlampaui.

Secara filosofis, menara itu kuat, percaya diri dan bangga dengan kelebihan yang dimiliki karena punya dasar yang kokoh. Dasar itulah yang kita sebut sebagai ideologi: tak mudah terombang-ambing mengikuti kemana arah angin.

Di sejumlah tempat, menara kadang-kadang menjadi simbol, sekaligus penanda. Simbol kota Paris yang eksotis-romantis itu, misalnya, ada di Menara Eiffel. Cara mudah menandai kota London itu ya di menara jam Gadang. Simbol kota Roma ada di menara miring Pisa, begitu juga New York ada di menara yang disebut Freedom Tower. Nafas Kuala Lumpur karena ditopang oleh menara kembar (twin tower) yang dikenal dengan Petronas.

Sebagai simbol, menara sering dianggap sakral. Dunia pernah gempar. Amerika kelabakan ketika pesawat yang dibajak teroris menabrak menara kembar WTC (simbol kapitalisme). Begitulah, ternyata menara tak sekedar gedung pencakar langit, tapi juga tanda kejantanan, seperti filosofi monumen nasional (Monas) Jakarta, demikian visi Soekarno saat merintisnya dulu.

Kita di Aceh juga punya menara, meski tak setenar Eifel atau Pisa, yaitu menara juang di Masjid Raya Banda Aceh. Menara ini berdiri kokoh, melambangkan semangat juang syuhada Aceh mempertahankan masjid dari gempuran kaphe Belanda.

Bagi kita di Aceh, hendaknya, iman dan ideologi perjuangan itu tetap kokoh. Dia bukan barang yang mudah digadaikan. Kita boleh kalah dalam pertempuran, tapi jangan sampai kalah perang.

'Kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk!' Seperti semangat yang digelorakan Goenawan Mohammad ketika melawan Pemerintah saat TEMPO dibredel. []

Post a Comment

Previous Post Next Post