Perdebatan Poligami dalam Film Ayat-Ayat Cinta

Fenomenal. Itulah kata yang tepat menggambarkan demam film-filam Ayat-Ayat Cinta (AAC) di Indonesia. AAC kini telah tembus 3 juta penonton sejak pertama diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia pada 21 Februari silam. Kesuksesan ini sudah dimulai sejak pertama kali novel AAC dilempar ke pasal, di mana sudah terjual 400 ribu eksemplar. Banyak yang menyebut, kesuksesan AAC merupakan puncak karya fiksi Islami.

Film AAC juga mengalahkan Ada Apa dengan Cinta (AADC) dalam kecepatan mengumpulkan jumlah penonton. AADC ditonton 4 juta penonton dalam tempo 4 bulan, sementara AAC hanya butuh waktu kurang dari satu bulan untuk ditonton lebih dari 2 juta orang. Luar biasa.

Namun, tak ada yang sempurna di dunia ini. Meskipun, menghipnotis jutaan orang untuk rela berdesak-desakan, Film AAC yang diangkat dari Novel karya Habiburrahman El Shirazy juga mengundang polemik dan cemoohan dari sebagian kalangan sastrawan di tanah air. Perdebatan itu lebih ditujukan terhadap sistem poligami yang dianut oleh Fahri, pemeran utama film tersebut, di mana terlalu menyederhanakan masalah.

Ayu Utami, novelis yang terkenal dengan karyanya SAMAN ini menilai AAC sebagai karya yang pengecut. Ayu menyebut AAC sebagai novel Hollywood yang membuat senang pembacanya dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happye ending, ”katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang orang tidak ingin dengar,” kiasnya.

Ayu bercerita bahwa AAC dari segi struktur cerita seperti cerita Hollywood tahun 1950-an. Bedanya, sebut Ayu, kalau dalam film Hollywood Kristen, ini Islam. Ending-nya mirip: Agama yang menang. Di Hollywood, misalnya Winnetou masuk kristen, sementara di AAC yang perempuan (Maria, seorang Kristen Koptik) masuk Islam.

Tak hanya itu, Ayu menyorot tentang sosok Fahri, pemeran utama AAC yang digambarkan sangat jagoan dan sangat sempurna sebagai laki-laki, meski di film itu digambarkan sebagai laki-laki miskin yang bisa kuliah di Mesir.

”Empat perempuan jatuh cinta semua. Hero banget, hebat dia bisa menaklukkan banyak perempuan,” ujarnya seperti dikutip detikcom, Senin (23/3).

Menurut Ayu, novel AAC itu sangat laki-laki, karena memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk dicintai banyak perempuan. ”Yang perempuan isteri pertama menyuruh dia kawin lagi. Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan kedua yang mati,” sambungnya.

Laris manisnya AAC, sebut Ayu, tak terlepas dari kondisi masyarakat yang mengigingkan kisah-kisah yang hitam putih dan penuh dengan optimisme. ”Mungkin karena kita habis reformasi, lalu ada chaos, jadi kita ingin kisah menghibur seperti itu,” tandasnya.

Komentar paling tegas disampaikan terkait dengan poligami. Bagi Ayu, poligami merupakan sistem di masa lalu, tidak cocok diadopsi untuk masa depan. Sementara dalam AAC, ujarnya, kasus poligami disikapi dengan pengecut. Ayu menilai kecenderungan semua wanita tidak mau dipoligami. Bila pun ada, sambungnya, perempuan yang mau dipoligami itu biasanya mereka sebagai isteri kedua, ketiga atau keempat.

Ayu memberi contoh bagaimana, bagaimana poligami berpengaruh terhadap karir seorang Aa Gym (Abdullah Gymnastiar). Aa Gym kehilangan pendukung begitu dia melakukan poligami. Hal itu menurutnya, sebagai bukti bahwa poligami tidak disukai perempuan.

”Novel itu kompromistis sekali. Ia tidak berani ekstrim, dia mengangkat wacana atau ideologi poligami, tapi akhirnya buru-buru dimatikan. Dia hanya kembali ke titik yang happy ending, inilah resep cerita pop,” ceritanya.

Ayu tidak menampik, bahwa AAC memang kuat, khususnya pada judul. Judul novel ini, sebutnya, mengingatkan orang pada ayat-ayat setan yang ditulis Salman Rusdhie. Tak hanya itu, penulisnya juga punya ketrampilan menulis, sehingga mampu menyenangkan orang untuk percaya kepada agama. Mental masyarakat, sebutnya, senang bila ada orang lain masuk dalam agamanya.

Komentar berbeda atas AAC disampaikan oleh Ahmadun Yosi Herfanda yang menyebut AAC sebagai puncak karya fiksi Islami. Ahmadun merupakan seorang sastrawan, sekaligus redaktur sastra Harian Republika yang menjadi guru Habiburrahman. Ahmadun memberika pelatihan menulis kepada Kang Abik, begitu pengarah AAC disapa, dalam diklat penulisan di Al Azhar, Mesir.

Menurutnya, AAC yang sudah diangkat menjadi film sangat kreatif dalam mengekploitasi romantisme yang membuat penonton sampai menangis-nangis. Tak hanya itu, Fahri juga sangat kurang berkarakter dalam versi filmnya, tidak begitu teladan, seperti dalam novel. ”Malah ada tambahan soal poligami sebagai pengembangan naskah. Tentu saya kecewa juga. Tapi di sisi lain saya memahami logika hiburan,” ungkapnya.

Terlepas dari itu semua, film tersebut tetap kuat meski tidak sekuat novelnya. Menurutnya, tetap ada manfaatnya, khususnya aspek pencerahan di mana sikap keislaman Fahri yang membela perempuan dan tetap membawa Islam yang damai dan ramah.

Kesuksesan AAC juga menyita perhatian Wakil Presiden Yusuf Kalla, dan mendorongnya untuk menonton film yang digarap oleh Hanung Bramanto tersebut. ”Anak-anak muda ini luar biasa, rata-rata mereka usia 35 tahun bahkan sutradara (Hanung Bramanto, red) baru 32 tahun,” kata Kalla sebelum masuk ke Studio 2 XXI Plaza Senayan untuk menonton AAC, Sabtu (22/3).

Meskipun sudah dipuja selangit, film AAC menyisakan masalah dan polemik, khususnya tentang poligami. Banyak yang melihat bahwa poligami mengekploitasi seks secara sah, dan dibenarkan. Padahal, seperti disebut oleh Ayu Utama, banyak perempuan tidak menyukai poligami. Namun, berkat film tersebut, poligami digambarkan sebagai cinta yang penuh dengan warna-warni dan keindahan. Jadi, poligami digambarkan sangat sederhana tanpa dipenuhi masalah-masalah yang muncul kemudian hari.

NB: sudah dimuat di halaman fokus Harian Aceh, Rabu 26 Maret 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post