Bom kembali meledak di Tentena, Poso (28/05/05) lalu, menewaskan puluhan orang dan mencederai puluhan lainnya. Siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap insiden mematikan tersebut?
Kita bisa menuding siapa pun sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tapi sebenarnya, kita tak cukup hanya menunjuk para pelaku teror, karena negara kita memiliki aparat intelijen yang sangat profesional. Kepada merekalah kita seharusnya meminta pertanggungjawaban atas ketidak-amanan selama ini.
Andai kita punya aparat intelijen—katakanlah yang profesional—mungkin sebelum bom diledakkan, pelakunya bisa ditangkap, atau modus operandi bisa dideteksi sehingga tidak sampai menimbulkan korban yang begitu banyak. Tetapi, karena aparat intelijen begitu lemah (tak berdaya di hadapan para teroris), tidak mampu melakukan deteksi dini, maka intelijen seperti dipermainkan oleh para teroris itu. Mereka yang menentukan, di mana dan kapan bom diledakkan, tanpa mampu dicegah, dan aparat keamanan tidak berkutik.
Tepat rasanya muncul usulan agar pemerintah melakukan audit terhadap kinerja aparat keamanan, khususnya kalangan intelijen: BIN, intelijen TNI maupun intelijen Polri. Apalagi, Presiden SBY dalam kunjungannya ke Hanoi, Vietnam sudah menegaskan akan melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan. "Pendek kata, kinerja dari aparat yang di lapangan akan dievaluasi, apakah itu intelejen, kepolisian, maupun TNI yang di daerah," (Antaranews, 29/05/05). Pernyataan Presiden ini kita pandang tepat untuk menghindari meluasnya aksi teror di tempat-tempat lain di Indonesia.
Namun, yang patut disesalkan, mulai muncul wacana untuk menghidupkan kembali Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) sebagai institusi yang bisa mencegah meluasnya aksi terorisme dalam bentuk peledakan bom di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Padahal yang perlu dilakukan sekarang bukanlah membentuk atau menambah institusi baru melainkan memberdayakan institusi yang ada agar bekerja secara maksimal.
Teroris dan Intelijen
Diakui atau tidak, teroris lebih maju selangkah di banding dengan aparat intelijen. Pengendali permainan sebenarnya bukan aparat intelijen melainkan para teroris. Bukan intelijen yang memantau dan mengawasi kerja para teroris, melainkan para terorislah yang memantau intelijen. Para teroris selalu dapat melihat dan menangkap peluang saat-saat di mana aparat intelijen lengah. Saat itulah mereka menebar teror. Sementara aparat intelijen dibuat tak berkutik.
Peta yang dimiliki oleh institusi intelijen kita tentang aktivitas para teroris juga begitu kabur. Sering kali salah melakukan analisis atas informasi yang ada. Jika pun ada pejabat keamanan mengeluarkan pernyataan tentang aktivitas para teroris, sering tidak dikuatkan dengan fakta-fakta. Melainkan hanya sebatas pernyataan untuk konsumsi media, agar tidak dinilai sebagai lembaga mandul dan tidak bekerja.
Selain itu, rakyat sering dibuat bingung dengan berbagai pernyataan, misalnya mengapa Dr Azhari yang dituding bertanggung jawab atas sejumlah pengeboman di tanah air sulit ditangkap, sementara operasi untuk menangkap Dr Azhari sering kali disampaikan ke publik? Apakah Dr Azhari begitu hebat, licin dan pandai memperdayai aparat keamanan? Atau jangan-jangan Azhari hanyalah kambing hitam untuk menutupi kelemahan kinerja aparat intelijen! Atau jangan-jangan ini merupakan permainan intelijen?
Kesimpulan begini sah-sah saja. Sebagaimana diketahui, setidaknya ada beberapa kategori operasi intelijen seperti berlaku di Amerika (sebagaimana Intruksi Presiden No 35 tanggal 2 Maret 1995), yaitu operasi intelijen yang disiapkan untuk membantu/mendukung operasi militer (support to military operation), operasi intelijen sebagai dukungan terhadap kebijakan, dukungan terhadap penegakan hukum, dan kontra-intelijen (counter-intellegence). Sistem operasi intelijen di Indonesia juga tak jauh beda seperti yang diterapkan di Amerika tersebut, yaitu operasi tempur, operasi teritorial dan operasi intelijen (termasuk operasi kontra-intelijen). Mungkin bedanya, jika di Amerika ada yang dikenal sebagai derajat situasi, dari tingkat 0 sampai derajat 4: di mana derajat 0 berarti situasi yang perlu kewaspadaan, sementara 4 subjek yang tidak memiliki kepentingan terhadap Amerika.
Operasi kontra-intelijen, yang sering dibuat oleh aparat keamanan sering sulit dipahami oleh logika sehat. Dalam acara “famous to famous” Metro TV yang menghadirkan mantan Kepada BIN A.M Hendropriyono, terungkap misalnya bahwa jika aparat intelijen ingin membongkar sindikat pengedaran uang palsu, maka BIN perlu membuat uang palsu, agar mudah mendeteksi pelaku. Tapi anehnya kemudian, yang terjadi bukan penangkapan terhadap pelaku, melainkan aktivitas BIN ini mengundang kontroversi karena menimbulkan penyalahgunaan dalam praktiknya.
Di sini kita bukan hendak menyimpulkan atau membuat kesimpulan bahwa bom yang meledak di Tentena sebagai ekses dari operasi kontra-intelijen. Tetapi sebenarnya, kita bisa mengingat-ingat, bahwa pejabat Polri pernah mengungkapkan kelompok Azhari yang paling diburu sedang melebarkan sayapnya di kawasan Timur Indonesia. Publik tidak begitu peduli, apakah memang benar Dr Azhari ke sana atau ada maksud lain di balik ucapan itu.
Yang pasti, kita membaca bahwa pasca terjadi penyerangan terhadap Pos Brimob, menewaskan lima orang, terjadi insiden meledak bom di Pasar Tentena. Sepertinya peristiwa itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan memiliki kaitan satu sama lain, meski kita belum mampu membongkarnya.
Misalkan seorang pejabat militer (Polri) mengeluarkan sebuah pernyataan tentang prediksi suatu kejadian, dan dikutip oleh media, lalu prediksi itu keliru, bukankah sangat memalukan? Ada analisis yang tidak tepat. Bukankah jalan satu-satunya agar publik tidak ragu adalah dengan menciptakan insiden untuk membenarkan analisis yang terlanjur jadi konsumsi publik? Saya hanya mereka-reka atas wacana yang berkembang. Logikanya, jika dikatakan teroris sudah merapat ke sana, berarti mestinya di sana akan ada bom yang meledak!
Apa yang kita saksikan kemudian tentang insiden Tentena adalah kelemahan kinerja dan ke-tak-akuratan analisis situasi terhadap aktivitas terorisme.
Keberhasilan kerja intelijen sebenarnya adalah membangun jaringan dan merekrut informan sebanyak mungkin, di mana pihak yang direkrut tidak mengetahui kalau dia sudah masuk dalam jaringan intelijen. Misalnya dalam kasus terorisme, bagaimana kerja intelijen mampu melakukan penetrasi ke dalam kerja teroris, sehingga apa yang akan direncanakan dapat segera diketahui, dan pelakunya segera ditangkap.
Saya sering mendengar, jika kalangan militan Islam didukung oleh militer. Di sini kita bisa menangkap bahwa selama ini militer membangun network dengan kalangan Islam, hanya sekedar menggunakan mereka sebagai alat untuk melakukan bargaining dengan pemerintah, dalam bentuk misalnya aksi-aksi terorisme. Jangan-jangan para teroris itu juga merupakan permainan intelijen, yang tidak mampu dikontrol, karena mereka juga punya misi lain.
Yang sudah pasti antara para teroris dan intelijen saling bersaing. Sama-sama membuat hidup kita tidak aman. Yang satu lewat aksi terornya dan yang satu lagi lewat analisis yang kadang-kadang berlebihan. Kita juga kadang-kadang ‘ngeri’ mendengar kata intelijen. Di mana pernah institusi intelijen begitu berkuasa, bisa membuat sesuatu tidak berdaya, menggugat dan mengusir orang, malah mencelakai orang.
Audit Kinerja Intelijen
Sampai sekarang belum ada yang begitu serius mempersoalkan kelemahan institusi intelijen. Institusi intelijen seperti begitu agung, suci dan tak terjamah, meski berulangkali kita dibuat miris oleh kejadian teror bom. Di mana teror bom terjadi karena aparat intelijen kita—meminjam istilah Hendardi—tidak becus. Dan sepertinya pelaku teror bom meledek institusi intelijen kita, karena tak mampu berbuat apa-apa.
Masalah audit kinerja intelijen ini pernah disampaikan oleh Asmara Nababan dari Lembaga Kajian Demokrasi (Demos), dua tahun silam ketika wacana revisi UU No 15/2003 tentang tindak pidana terorisme sedang dibahas oleh pemerintah. Menurut Asmara, yang harus dilakukan bukanlah merevisi Undang-undang terlebih dahulu melainkan memeriksa dan mengevaluasi kinerja Pejabat BIN sebagai koordinator intelijen. Apalagi, kejadian teror di Indonesia yang terjadi berulangkali tidak disebabkan rendahnya kurangnya wewenang BIN melainkan lemahnya koordinasi dan rendahnya kapasitas intelijen dan polisi. (Kompas, 15/08/03)
Namun, subtansi persoalan yang muncul belakangan bukan agenda audit atas kinerja intelijen baik BIN, intelijen TNI maupun polri sebagaimana terlansir lewat pernyataan SBY beberapa waktu lalu, melainkan diarahkan pada wacana menghidupkan badan intelijen daerah dalam bentuk Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda).
Selama ini, sepertinya antara intelijen TNI, Polri dan BIN tidak memiliki garis koordinasi yang seragam, atau terjadi tumpang tindih wewenang. Ada kewenangan yang saling bertentangan satu sama lain, khususnya yang beroperasi di daerah. Dimaklumi sampai muncul wacana untuk menghidupkan Bakorda.
Jangan terburu-buru memikirkan pembentukan Bakorda, melainkan rumuskan dulu wewenang masing-masing kinerja institusi intelijen seperti antara intelijen TNI dengan Polisi, Intelijen Polisi dengan Jaksa, dan intelijen TNI/Polri dengan BIN. Saya lebih melihat masalahnya di sini. Selain itu peningkatan kapasitas aparat intelijen. Terkesan selama ini, teroris lebih cerdik, lihai dan cakap di banding aparat intelijen, sehingga seringkali dikadalin.
Jika dikatakan bahwa penghidupan Bakorinda untuk mencegah meledaknya bom di daerah-daerah, juga tak menjadi jaminan. Di Jakarta saja, yang memiliki institusi BIN Pusat, pengamanan yang super ketat, dan ibu kota negara, bom masih saja bisa diledakkan. Semua itu karena aparat intelijen tak secerdas teroris. Intelijen hanya memantau aktivitas aktivis yang dinilai sebagai pihak yang menyudutkan aparat keamanan, sementara kelompok yang benar-benar teroris luput dari kontrol.
Jika pun dihidupkan Bakorinda, ditakutkan akan menjadi alat refresi baru bagi rakyat. Rakyat sampai sekarang masih alergi mendengar kata intelijen. Dalam pikiran rakyat, intelijen berkonotasi negatif, sehingga menciptakan ketakutan (momok) terhadap rakyat. Apalagi jika wewenangnya diperluas, bisa jadi semua aktifitas masyarakat, akan diawasi meski tak terkait dengan perilaku terorisme.
Saya pernah mendengar, bahwa kinerja intelijen itu sangat unik. Kemampuan intelijen kadang-kadang juga digunakan sebagai alat untuk menekan pemerintah, dalam bentuk menciptakan kerusuhan, atau peledakan bom. Hal ini dilakukan jika misalnya aparat militer kekurangan anggaran, dan ingin menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan militer atau meminta kenaikan anggaran untuk militer. Lewat cara ini militer membangun bargaining dengan pemerintah. []
Kita bisa menuding siapa pun sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tapi sebenarnya, kita tak cukup hanya menunjuk para pelaku teror, karena negara kita memiliki aparat intelijen yang sangat profesional. Kepada merekalah kita seharusnya meminta pertanggungjawaban atas ketidak-amanan selama ini.
Andai kita punya aparat intelijen—katakanlah yang profesional—mungkin sebelum bom diledakkan, pelakunya bisa ditangkap, atau modus operandi bisa dideteksi sehingga tidak sampai menimbulkan korban yang begitu banyak. Tetapi, karena aparat intelijen begitu lemah (tak berdaya di hadapan para teroris), tidak mampu melakukan deteksi dini, maka intelijen seperti dipermainkan oleh para teroris itu. Mereka yang menentukan, di mana dan kapan bom diledakkan, tanpa mampu dicegah, dan aparat keamanan tidak berkutik.
Tepat rasanya muncul usulan agar pemerintah melakukan audit terhadap kinerja aparat keamanan, khususnya kalangan intelijen: BIN, intelijen TNI maupun intelijen Polri. Apalagi, Presiden SBY dalam kunjungannya ke Hanoi, Vietnam sudah menegaskan akan melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat keamanan. "Pendek kata, kinerja dari aparat yang di lapangan akan dievaluasi, apakah itu intelejen, kepolisian, maupun TNI yang di daerah," (Antaranews, 29/05/05). Pernyataan Presiden ini kita pandang tepat untuk menghindari meluasnya aksi teror di tempat-tempat lain di Indonesia.
Namun, yang patut disesalkan, mulai muncul wacana untuk menghidupkan kembali Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) sebagai institusi yang bisa mencegah meluasnya aksi terorisme dalam bentuk peledakan bom di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Padahal yang perlu dilakukan sekarang bukanlah membentuk atau menambah institusi baru melainkan memberdayakan institusi yang ada agar bekerja secara maksimal.
Teroris dan Intelijen
Diakui atau tidak, teroris lebih maju selangkah di banding dengan aparat intelijen. Pengendali permainan sebenarnya bukan aparat intelijen melainkan para teroris. Bukan intelijen yang memantau dan mengawasi kerja para teroris, melainkan para terorislah yang memantau intelijen. Para teroris selalu dapat melihat dan menangkap peluang saat-saat di mana aparat intelijen lengah. Saat itulah mereka menebar teror. Sementara aparat intelijen dibuat tak berkutik.
Peta yang dimiliki oleh institusi intelijen kita tentang aktivitas para teroris juga begitu kabur. Sering kali salah melakukan analisis atas informasi yang ada. Jika pun ada pejabat keamanan mengeluarkan pernyataan tentang aktivitas para teroris, sering tidak dikuatkan dengan fakta-fakta. Melainkan hanya sebatas pernyataan untuk konsumsi media, agar tidak dinilai sebagai lembaga mandul dan tidak bekerja.
Selain itu, rakyat sering dibuat bingung dengan berbagai pernyataan, misalnya mengapa Dr Azhari yang dituding bertanggung jawab atas sejumlah pengeboman di tanah air sulit ditangkap, sementara operasi untuk menangkap Dr Azhari sering kali disampaikan ke publik? Apakah Dr Azhari begitu hebat, licin dan pandai memperdayai aparat keamanan? Atau jangan-jangan Azhari hanyalah kambing hitam untuk menutupi kelemahan kinerja aparat intelijen! Atau jangan-jangan ini merupakan permainan intelijen?
Kesimpulan begini sah-sah saja. Sebagaimana diketahui, setidaknya ada beberapa kategori operasi intelijen seperti berlaku di Amerika (sebagaimana Intruksi Presiden No 35 tanggal 2 Maret 1995), yaitu operasi intelijen yang disiapkan untuk membantu/mendukung operasi militer (support to military operation), operasi intelijen sebagai dukungan terhadap kebijakan, dukungan terhadap penegakan hukum, dan kontra-intelijen (counter-intellegence). Sistem operasi intelijen di Indonesia juga tak jauh beda seperti yang diterapkan di Amerika tersebut, yaitu operasi tempur, operasi teritorial dan operasi intelijen (termasuk operasi kontra-intelijen). Mungkin bedanya, jika di Amerika ada yang dikenal sebagai derajat situasi, dari tingkat 0 sampai derajat 4: di mana derajat 0 berarti situasi yang perlu kewaspadaan, sementara 4 subjek yang tidak memiliki kepentingan terhadap Amerika.
Operasi kontra-intelijen, yang sering dibuat oleh aparat keamanan sering sulit dipahami oleh logika sehat. Dalam acara “famous to famous” Metro TV yang menghadirkan mantan Kepada BIN A.M Hendropriyono, terungkap misalnya bahwa jika aparat intelijen ingin membongkar sindikat pengedaran uang palsu, maka BIN perlu membuat uang palsu, agar mudah mendeteksi pelaku. Tapi anehnya kemudian, yang terjadi bukan penangkapan terhadap pelaku, melainkan aktivitas BIN ini mengundang kontroversi karena menimbulkan penyalahgunaan dalam praktiknya.
Di sini kita bukan hendak menyimpulkan atau membuat kesimpulan bahwa bom yang meledak di Tentena sebagai ekses dari operasi kontra-intelijen. Tetapi sebenarnya, kita bisa mengingat-ingat, bahwa pejabat Polri pernah mengungkapkan kelompok Azhari yang paling diburu sedang melebarkan sayapnya di kawasan Timur Indonesia. Publik tidak begitu peduli, apakah memang benar Dr Azhari ke sana atau ada maksud lain di balik ucapan itu.
Yang pasti, kita membaca bahwa pasca terjadi penyerangan terhadap Pos Brimob, menewaskan lima orang, terjadi insiden meledak bom di Pasar Tentena. Sepertinya peristiwa itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan memiliki kaitan satu sama lain, meski kita belum mampu membongkarnya.
Misalkan seorang pejabat militer (Polri) mengeluarkan sebuah pernyataan tentang prediksi suatu kejadian, dan dikutip oleh media, lalu prediksi itu keliru, bukankah sangat memalukan? Ada analisis yang tidak tepat. Bukankah jalan satu-satunya agar publik tidak ragu adalah dengan menciptakan insiden untuk membenarkan analisis yang terlanjur jadi konsumsi publik? Saya hanya mereka-reka atas wacana yang berkembang. Logikanya, jika dikatakan teroris sudah merapat ke sana, berarti mestinya di sana akan ada bom yang meledak!
Apa yang kita saksikan kemudian tentang insiden Tentena adalah kelemahan kinerja dan ke-tak-akuratan analisis situasi terhadap aktivitas terorisme.
Keberhasilan kerja intelijen sebenarnya adalah membangun jaringan dan merekrut informan sebanyak mungkin, di mana pihak yang direkrut tidak mengetahui kalau dia sudah masuk dalam jaringan intelijen. Misalnya dalam kasus terorisme, bagaimana kerja intelijen mampu melakukan penetrasi ke dalam kerja teroris, sehingga apa yang akan direncanakan dapat segera diketahui, dan pelakunya segera ditangkap.
Saya sering mendengar, jika kalangan militan Islam didukung oleh militer. Di sini kita bisa menangkap bahwa selama ini militer membangun network dengan kalangan Islam, hanya sekedar menggunakan mereka sebagai alat untuk melakukan bargaining dengan pemerintah, dalam bentuk misalnya aksi-aksi terorisme. Jangan-jangan para teroris itu juga merupakan permainan intelijen, yang tidak mampu dikontrol, karena mereka juga punya misi lain.
Yang sudah pasti antara para teroris dan intelijen saling bersaing. Sama-sama membuat hidup kita tidak aman. Yang satu lewat aksi terornya dan yang satu lagi lewat analisis yang kadang-kadang berlebihan. Kita juga kadang-kadang ‘ngeri’ mendengar kata intelijen. Di mana pernah institusi intelijen begitu berkuasa, bisa membuat sesuatu tidak berdaya, menggugat dan mengusir orang, malah mencelakai orang.
Audit Kinerja Intelijen
Sampai sekarang belum ada yang begitu serius mempersoalkan kelemahan institusi intelijen. Institusi intelijen seperti begitu agung, suci dan tak terjamah, meski berulangkali kita dibuat miris oleh kejadian teror bom. Di mana teror bom terjadi karena aparat intelijen kita—meminjam istilah Hendardi—tidak becus. Dan sepertinya pelaku teror bom meledek institusi intelijen kita, karena tak mampu berbuat apa-apa.
Masalah audit kinerja intelijen ini pernah disampaikan oleh Asmara Nababan dari Lembaga Kajian Demokrasi (Demos), dua tahun silam ketika wacana revisi UU No 15/2003 tentang tindak pidana terorisme sedang dibahas oleh pemerintah. Menurut Asmara, yang harus dilakukan bukanlah merevisi Undang-undang terlebih dahulu melainkan memeriksa dan mengevaluasi kinerja Pejabat BIN sebagai koordinator intelijen. Apalagi, kejadian teror di Indonesia yang terjadi berulangkali tidak disebabkan rendahnya kurangnya wewenang BIN melainkan lemahnya koordinasi dan rendahnya kapasitas intelijen dan polisi. (Kompas, 15/08/03)
Namun, subtansi persoalan yang muncul belakangan bukan agenda audit atas kinerja intelijen baik BIN, intelijen TNI maupun polri sebagaimana terlansir lewat pernyataan SBY beberapa waktu lalu, melainkan diarahkan pada wacana menghidupkan badan intelijen daerah dalam bentuk Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda).
Selama ini, sepertinya antara intelijen TNI, Polri dan BIN tidak memiliki garis koordinasi yang seragam, atau terjadi tumpang tindih wewenang. Ada kewenangan yang saling bertentangan satu sama lain, khususnya yang beroperasi di daerah. Dimaklumi sampai muncul wacana untuk menghidupkan Bakorda.
Jangan terburu-buru memikirkan pembentukan Bakorda, melainkan rumuskan dulu wewenang masing-masing kinerja institusi intelijen seperti antara intelijen TNI dengan Polisi, Intelijen Polisi dengan Jaksa, dan intelijen TNI/Polri dengan BIN. Saya lebih melihat masalahnya di sini. Selain itu peningkatan kapasitas aparat intelijen. Terkesan selama ini, teroris lebih cerdik, lihai dan cakap di banding aparat intelijen, sehingga seringkali dikadalin.
Jika dikatakan bahwa penghidupan Bakorinda untuk mencegah meledaknya bom di daerah-daerah, juga tak menjadi jaminan. Di Jakarta saja, yang memiliki institusi BIN Pusat, pengamanan yang super ketat, dan ibu kota negara, bom masih saja bisa diledakkan. Semua itu karena aparat intelijen tak secerdas teroris. Intelijen hanya memantau aktivitas aktivis yang dinilai sebagai pihak yang menyudutkan aparat keamanan, sementara kelompok yang benar-benar teroris luput dari kontrol.
Jika pun dihidupkan Bakorinda, ditakutkan akan menjadi alat refresi baru bagi rakyat. Rakyat sampai sekarang masih alergi mendengar kata intelijen. Dalam pikiran rakyat, intelijen berkonotasi negatif, sehingga menciptakan ketakutan (momok) terhadap rakyat. Apalagi jika wewenangnya diperluas, bisa jadi semua aktifitas masyarakat, akan diawasi meski tak terkait dengan perilaku terorisme.
Saya pernah mendengar, bahwa kinerja intelijen itu sangat unik. Kemampuan intelijen kadang-kadang juga digunakan sebagai alat untuk menekan pemerintah, dalam bentuk menciptakan kerusuhan, atau peledakan bom. Hal ini dilakukan jika misalnya aparat militer kekurangan anggaran, dan ingin menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan militer atau meminta kenaikan anggaran untuk militer. Lewat cara ini militer membangun bargaining dengan pemerintah. []
Tags:
Artikel