Tiap pulang kampung, saya hampir tak pernah absen memancing ikan di Jembatan Trueng Campli-Pasi Lhok. Jembatan tersebut menghubungkan Kemukiman Trueng Campli, Glumpang Baro dengan Gampong Pasi Lhok, Kembang Tanjong.
Tapi belakangan, aktivitas memancing saya kurangi. Selain sibuk bermain-main dengan anak lelaki Saya, juga kondisi mata pancing saya sedang bermasalah. Sudah dua kali Saya ganti, tapi kembali rusak. (Sudah harus beli yang baru). Kalaupun Saya memaksa memancing, hasilnya cukup mengecewakan: tak ada ikan yang mau menyambar umpan Saya. Joran bagus ternyata berpengaruh juga pada gairah memancing dan jumlah ikan yang kita dapatkan. Bisa jadi ini hanya kesimpulan Saya saja.
Memancing di Jembatan Trueng Campli-Pasi Lhok itu terkenal hingga ke kampung tetangga bahkan hingga ke Beureuneuen, Sigli dan Pidie Jaya. Bagi warga Trueng Campli dan Pasi Lhok, jembatan itu jadi sarana penghubung dua kampung yang terpisah oleh Krueng (sungai). Keberadaan jembatan tersebut mempersingkat jarak tempuh bagi warga, dari Pasi Lhok ke Trueng Campli atau sebaliknya.
Dulunya kami biasa menyebut jembatan itu dengan Tutue Ayon (Jembatan bergoyang). Pasalnya, lantai jembatan terbuat dari papan kayu, sementara di sisinya menggunakan penyangga dari waja. Kondisinya persis seperti tergantung oleh kawat beton, sehingga tiap mobil lewat, jembatan itu bergoyang, persis seperti kondisi rumah Aceh yang dilanda gempa.
Sebelum tsunami, kondisi jembatan itu sudah sangat memprihatinkan. Lantainya bolong-bolong. Banyak papan kayu sudah copot. Kawat penyangga sudah berkarat dan sebagian lagi terputus. Mobil sudah tak bisa lewat lagi. Sepeda motor hanya bisa lewat siang hari, itu pun pengendaranya harus super hati-hati. Hanya yang bermental pembalap saja yang berani melewatinya.
Rusaknya jembatan tersebut membuat lalu lintas dari wilayah Pasi ke Trueng Campli atau sebaliknya tak lagi lancar dan ramai. Hal itu cukup berpengaruh pada pasar Cot Glumpang (Keude Lasa). Pasalnya, penjual ikan dari Pasi Lhok banyak yang beralih berjualan ke Kembang Tanjong. Selain konflik, salah satu penyebabnya lumpuhnya aktivitas di Keude Lueng alias Keude Lasa juga karena tersumbatnya arus lalu-lintas dari Pasi ke Trueng Campli.
Sebenarnya, saat saya masih kecil, sekitar 6-8 tahun, Jembatan Trueng Campli itu belum dibangun. Bagi warga dua kampung yang ingin menyeberang sungai mereka harus menggunakan perahu atau boat. Dulu sang pemilik boat memasang tali yang ditarik lurus memotong badan sungai. Tali itu digunakan sebagai alat pegangan dari pengemudi perahu agar tetap lurus memotong sungai yang terkenal berarus deras tersebut. Untuk sekali penyeberangan, hanya muat 5-6 penumpang. Harga sekali menyeberang sekitar Rp1000 (tergolong mahal untuk saat itu). Aktivitas penyeberangan dengan boat baru terhenti saat jembatan gantung itu selesai dibangun. Tsunami 2004 melumat jembatan itu hancur untuk selamanya.
Tsunami tak hanya semata-mata sebagai musibah, melainkan juga berkah. Pasca-tsunami, jembatan yang hancur itu dibangun baru, menggunakan kerangka baja. Lantainya dilapisi beton. Kuat sekali. Meski arus lalu-lintas kembali lancar, tetapi sama sekali tidak berpengaruh pada aktivitas pasar Keude Cot Glumpang, ibukota Kecamatan Glumpang Baro. Pasar tak lagi bergeliat seperti dulu. Tak ada lagi hari pekan yang biasanya jatuh tiap hari Selasa.
Tapi, suasana di jembatan itu selalu ramai. Tiap hari dipenuhi pemancing, ada yang khusus datang dari Sigli, Beureueneun, Adan, Lueng Putu atau Glumpang Minyeuk. Ikan Seumilang di jembatan Trueng Campli itu menggoda siapa pun untuk memancing di situ. Para pemancing tak pernah pulang dengan tangan hampa. Jika tak dapat Seumilang, mereka masih bisa membawa ikan Kerapu, kakap, mirah mata dan ikan-ikan lainnya yang populasinya cukup banyak di sungai berarus besar itu.
Saya sendiri pernah 4 kali membawa pulang ikan Seumilang. Menurut cerita para pemancing yang lebih berpengalaman di situ, memancing ikan Seumilang itu tak bisa di sembarang tempat. Ikan yang terkenal dengan dagingnya yang lembut dan nikmat itu termasuk ikan eksklusif. Dia biasanya punya lokasi khusus yang sering disebut sebagai 'lapak' lalu-lintas ikan. Ikan itu mencari posisi yang sedikit semak dan ada palungnya.
Tapi, kalau memang lagi rezeki, mancing di mana pun umpan kita tetap disambar ikan Seumilang. Ada rasa senang tiap kali mengangkat Seumilang. Pemancing lain pasti akan melihatnya dengan iri. Mereka pun bakal pindah lokasi mendekat tempat kita memancing tadi. Namun, namanya saja ikan di dalam air, tak ada siapapun yang tahu umpan siapa yang disambar. Jadi, bersabarlah kalau memancing di Jembatang Trueng Campli. Karena, dijamin tak akan pulang dengan tangan hampa! []
Jembatan Trueng Campli-Pasie Lhok |
Dulunya kami biasa menyebut jembatan itu dengan Tutue Ayon (Jembatan bergoyang). Pasalnya, lantai jembatan terbuat dari papan kayu, sementara di sisinya menggunakan penyangga dari waja. Kondisinya persis seperti tergantung oleh kawat beton, sehingga tiap mobil lewat, jembatan itu bergoyang, persis seperti kondisi rumah Aceh yang dilanda gempa.
Sebelum tsunami, kondisi jembatan itu sudah sangat memprihatinkan. Lantainya bolong-bolong. Banyak papan kayu sudah copot. Kawat penyangga sudah berkarat dan sebagian lagi terputus. Mobil sudah tak bisa lewat lagi. Sepeda motor hanya bisa lewat siang hari, itu pun pengendaranya harus super hati-hati. Hanya yang bermental pembalap saja yang berani melewatinya.
Rusaknya jembatan tersebut membuat lalu lintas dari wilayah Pasi ke Trueng Campli atau sebaliknya tak lagi lancar dan ramai. Hal itu cukup berpengaruh pada pasar Cot Glumpang (Keude Lasa). Pasalnya, penjual ikan dari Pasi Lhok banyak yang beralih berjualan ke Kembang Tanjong. Selain konflik, salah satu penyebabnya lumpuhnya aktivitas di Keude Lueng alias Keude Lasa juga karena tersumbatnya arus lalu-lintas dari Pasi ke Trueng Campli.
Sebenarnya, saat saya masih kecil, sekitar 6-8 tahun, Jembatan Trueng Campli itu belum dibangun. Bagi warga dua kampung yang ingin menyeberang sungai mereka harus menggunakan perahu atau boat. Dulu sang pemilik boat memasang tali yang ditarik lurus memotong badan sungai. Tali itu digunakan sebagai alat pegangan dari pengemudi perahu agar tetap lurus memotong sungai yang terkenal berarus deras tersebut. Untuk sekali penyeberangan, hanya muat 5-6 penumpang. Harga sekali menyeberang sekitar Rp1000 (tergolong mahal untuk saat itu). Aktivitas penyeberangan dengan boat baru terhenti saat jembatan gantung itu selesai dibangun. Tsunami 2004 melumat jembatan itu hancur untuk selamanya.
Tsunami tak hanya semata-mata sebagai musibah, melainkan juga berkah. Pasca-tsunami, jembatan yang hancur itu dibangun baru, menggunakan kerangka baja. Lantainya dilapisi beton. Kuat sekali. Meski arus lalu-lintas kembali lancar, tetapi sama sekali tidak berpengaruh pada aktivitas pasar Keude Cot Glumpang, ibukota Kecamatan Glumpang Baro. Pasar tak lagi bergeliat seperti dulu. Tak ada lagi hari pekan yang biasanya jatuh tiap hari Selasa.
Tapi, suasana di jembatan itu selalu ramai. Tiap hari dipenuhi pemancing, ada yang khusus datang dari Sigli, Beureueneun, Adan, Lueng Putu atau Glumpang Minyeuk. Ikan Seumilang di jembatan Trueng Campli itu menggoda siapa pun untuk memancing di situ. Para pemancing tak pernah pulang dengan tangan hampa. Jika tak dapat Seumilang, mereka masih bisa membawa ikan Kerapu, kakap, mirah mata dan ikan-ikan lainnya yang populasinya cukup banyak di sungai berarus besar itu.
ikan seumilang |
Tapi, kalau memang lagi rezeki, mancing di mana pun umpan kita tetap disambar ikan Seumilang. Ada rasa senang tiap kali mengangkat Seumilang. Pemancing lain pasti akan melihatnya dengan iri. Mereka pun bakal pindah lokasi mendekat tempat kita memancing tadi. Namun, namanya saja ikan di dalam air, tak ada siapapun yang tahu umpan siapa yang disambar. Jadi, bersabarlah kalau memancing di Jembatang Trueng Campli. Karena, dijamin tak akan pulang dengan tangan hampa! []
Tags:
Traveling