Pertanyaan pentingnya, apakah pertemuan ini akan berhasil merumuskan sesuatu yang berharga bagi percepatan perdamaian di Aceh? Ataukah pertemuan ini hanyalah seremonial belaka untuk memperlihatkan kepada publik internasional bahwa baik pemerintah RI maupun GAM serius mencari titik temu penyelesaian konflik Aceh?
Pertanyaan tersebut bisa mewakili suara masyarakat Aceh, sekaligus kekhawatiran mereka pada nasib berbagai perundingan di masa lalu, yang selalu berakhir dengan kegagalan. Wacana ini perlu diungkapkan lebih dini, agar masing-masing pihak paham pada alur pikiran yang kini berkembang di Aceh, bahwa masyarakat sangat mendambakan lahirnya perdamaian permanen untuk menghibur mereka setelah ditimpa bencana dahsyat gempa dan tsunami, akhir tahun lalu.
Bukan Basi-basi Politik
Tulisan ini sama sekali bukan bentuk pesimisme terhadap perundingan yang akan digelar, bukan pula cibiran terhadap kedua pertemuan yang sudah digelar sebelumnya bahwa pertemuan Helsinki I dan II hanya sebagai forum untuk menunda perdamaian yang sudah mulai 'dinikmati' pasca-gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 lalu. Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai bahan evaluasi agar perundingan yang akan digelar nanti benar-benar menyentuh aspek fundamental rakyat Aceh: perdamaian secara menyeluruh. Kita berharap agar Helsinki III ini tidak mengalami nasib seperti pertemuan Helsinki I dan II: tanpa solusi!
Harus diakui, pertemuan I dan II sebagai langkah maju yang ditempuh kedua belah pihak dalam mencari solusi untuk konflik Aceh. Masing-masing pihak, baik RI maupun GAM memandang, penderitaan rakyat Aceh sudah pada tingkat klimaks. Jika tidak ada keinginan untuk menghentikan pertikaian oleh kedua belah pihak, maka penderitaan ini akan berlipat-ganda.
Kita berharap keinginan untuk menciptakan perdamaian itu tidak semata-mata karena adanya bencana tersebut. Jika pun, tidak ada bencana di Aceh, percepatan perdamaian di Aceh mutlak harus dipikirkan dan diupayakan. Tentunya dengan cara-cara damai.
Belum ada hasil yang dicapai dari pertemuan Helsinki I dan II membuat masyarakat bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya perundingan itu dilakukan? Tidak sedikit yang mencibir bahwa pertemuan itu hanya untuk menunda perdamaian yang sudah terbangun pascatsunami. Masyarakat, misalnya, melihat pascatsunami semua pihak ikut berduka dan memfokuskan diri membantu korban. Sejenak, suasana konflik sempat dilupakan. Apalagi, pihak TNI/Polri dan GAM sudah menghentikan permusuhannya dalam bentuk tidak melakukan aktivitas bersenjata. Namun, suasana seperti ini cepat berubah pasca-pertemuan Helsinki I dan II, di mana permusuhan itu menjadi nyata kembali, dan masyarakat pun ikut merasakannya.
Masing-masing pihak harus menyadari bahwa pertemuan yang digelar tersebut tidak terlepas dari pantauan masyarakat. Rakyat Aceh menyimak dan memantau apa yang dibicarakan dalam perundingan. Jika tidak ada hasil yang dicapai, masyarakat pasti berkomentar dan menganggap kedua belah pihak sudah mempermainkan penderitaan mereka. Makanya, apapun yang hendak diputuskan harus benar-benar memperhatikan keinginan dan masa depan masyarakat. Karena hakikat perundingan itu sebenarnya karena kita tidak ingin masyarakat Aceh terus menderita. Sudah saatnya masing-masing pihak memikirkan masa depan masyarakat Aceh yang lebih baik.
Belajar dari Kegagalan
Jika kita membuka kembali riwayat perundingan RI dan GAM, hasil yang diputuskan di meja perundingan sering bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Keputusan yang diambil tidak selalu menggembirakan, dan memberikan kepastian kepada masyarakat sebagai pihak yang paling menderita dalam konflik. Perundingan-perundingan terus digelar, tapi tak pernah secara tepat merumuskan apa yang sebenarnya dirundingkan. Semuanya serba kabur. Persoalannya selalu berkutat pada dua mainstream penyelesaian: Otonomi Khusus (tawaran RI) dan Merdeka (tuntutan GAM). Sehingga sulit dicapai kata sepakat.
Seperti diketahui, sejak Mei 2000 perundingan sudah mulai digelar dalam bentuk “Joint of Understanding for Humanitarian Pause for Aceh” (JoU/Jeda Kemanusiaan). Inti dari JoU ini agar terbuka akses aman bagi mengalirnya bantuan kemanusiaan untuk rakyat Aceh. Hasil ini cukup positif sebagai sebuah langkah penting membangun kepercayaan (confidence building measures) bagi pembicaraan selanjutnya untuk mewujudkan perdamaian.
Tapi yang harus dicatat, solusi tersebut tak cukup berhasil menuntun masyarakat menuju kedamaian. Apalagi, akses bantuan bagi korban juga sangat terbatas, dan faktor keamanan menjadi salah satu penyebab lambatnya bantuan tersebut. Tercatat, komitmen perdamaian ini hanya efektif pada awal-awalnya saja. Setelah itu birahi perang lebih ditonjolkan.
Pasca 2000, sejumlah perundingan dan pertemuan, baik resmi maupun tak resmi, digelar, tetapi tak lebih sebagai seremonial belaka untuk menunjukkan kedua belah pihak serius menyelesaikan konflik Aceh. Nyatanya masyarakat tak pernah tahu hasil konkrit dari pembicaraan-pembicaraan itu. Yang ada hanya suasana Aceh makin hari makin mencekam. Suasana tak menentu. Kadang-kadang seperti tak ada konflik, namun tiba-tiba terjadi perang, dan bom meledak di mana-mana. Kondisinya mirip seperti pernah direkam sebelum Jepang mendarat di Aceh, “tidak aman, namun tidak juga rusuh.”
Pada akhir 2002, lewat serangkaian upaya dan tekanan dari berbagai pihak, dicapailah sebuah keputusan penting antara RI dan GAM untuk menghentikan permusuhan di Aceh dalam bentuk Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan—CoHA). Terbangun suatu komitmen antara kedua belah pihak untuk menempuh cara-cara damai dalam mewujudkan cita-cita politik masing-masing sembari memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pasca CoHA, angka kekerasan menurun drastis. Bahkan, RI dan GAM terlihat sangat mesra. Tetapi, CoHA justru melupakan faktor masyarakat dan rakyat sipil lainnya sebagai pihak yang paling menderita karena konflik. Kesepakatan itu lebih mirip kesepakatan antara RI dan GAM untuk tidak saling menyerang atau melakukan pelanggaran atas masing-masing pihak.
Memang, dalam CoHA berhasil dirumuskan sebuah poin yang memberikan kebebasan kepada masyarakat sipil (civil society) untuk mengekspresikan aspirasinya secara demokratis (pasal 2 ayat f). Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Sering muncul pelanggaran dari aparat terhadap masyarakat yang menggunakan hak ini. Selain itu, terjadi tumpang tindih dalam soal hukum, seperti apakah masyarakat sipil yang hendak menyampaikan aspirasinya harus merujuk kepada UU Nomor 9/1999 tentang kebebasan menyampaikan pendapat, atau seharusnya regulasi yang digunakan adalah CoHA? Sering muncul perdebatan di sini, antara pihak polisi dan masyarakat sipil.
Banyak juga masyarakat yang menjadi korban, tapi seperti tak ada yang peduli. Pihak TNI/Polri—karena terikat pada perjanjian—dalam melakukan penangkapan mengunakan faktor kriminal. Jika ada masyarakat yang kena tembak diklaim sebagai pelaku kriminal, bukan GAM. Sepertinya menembak masyarakat dibolehkan saja, asal bukan GAM. Hal-hal seperti ini yang sering terjadi selama penerapan CoHA.
Terlepas dari itu, CoHA berhasil mengembalikan suasana perdamaian di Aceh, meski hanya beberapa bulan saja. Selebihnya perang wacana di media, saling tuding sebagai pihak yang melanggar kesepakatan sampai berakhir pada penerapan status Darurat Militer di Aceh, yang dianggap sebagai jalan penyelesaian oleh pemerintah RI.
Penyelesaian Perspektif Masyarakat
Berpijak dari pengalaman sebelumnya—di mana faktor masyarakat sipil tidak begitu diperhitungkan dalam dialog—dalam pertemuan nanti hendaknya faktor masyarakat tidak boleh diabaikan. Memang, prinsip-prinsip dasar kedua belah pihak harus tetap dipegang karena itu ciri khas masing-masing pihak dalam membangun bargaining. Yang perlu diingat, titik temu keduanya justru terletak pada keinginan untuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh menikmati perdamaian. Jika prinsip ini yang mempertemukan ide keduanya, penyelesaian Aceh bisa ditempuh melalui perspektif korban.
Saya kira, pihak GAM sudah menunjukkan itikad ke arah itu, dengan menyerahkan masalah otonomi kepada rakyat Aceh. Menurut mereka, masalah otonomi tergantung sikap rakyat Aceh. Apakah mereka akan menerima atau menolaknya, harus diuji lewat sebagai forum seperti All Inclusive Dialogue (AID) yang pernah dirumuskan dalam CoHA, atau seperti musyawarah masyarakat yang sifatnya independen, bebas dari berbagai anasir politik dan ideologi yang ada. Di situlah kemudian teruji, apakah rakyat Aceh menerima otonomi atau menolaknya.
Iktikad seperti itu, seharusnya juga perlu dan harus ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia, bukan sebaliknya mendikte agenda perundingan dan menekan pihak GAM untuk menerima otonomi khusus seperti selama ini terjadi. Karena, hal itu tidak memberikan peluang sedikitpun untuk terbukanya kran perdamaian. Sebab, logika perang dan keinginan menghancurkan lawan lebih mendominasi pembicaraan, ketimbang keinginan membangun komitmen untuk perdamaian.
Jika hal itu sampai terjadi, perundingan RI dan GAM yang digelar dalam waktu dekat ini tidak akan memiliki makna apa-apa, sebab tidak mengikutsertakan aspirasi masyarakat sebagai agenda perundingan. Untuk itu, apapun yang disepakati haruslah berpijak pada perspektif korban (rakyat Aceh). Sementara, menyangkut konflik bersenjata, keduanya harus merumuskan mekanisme gencatan senjata. Mekanisme itu harus bisa mengikat kedua belah pihak, dalam arti masing-masing pihak mampu mengontrol pasukan di lapangan. Dua hal ini penting untuk dicatat.
Dalam penyelesaian politik, mau tidak mau aspirasi rakyat Aceh harus diadopsi oleh kedua belah pihak dalam perundingan nanti seperti keinginan hidup dalam damai, hak menentukan nasib sendiri dan lain-lain. Keduanya tidak boleh melupakan aspek masyarakat sebagai objek yang selalu menjadi korban. Sementara masyarakat Aceh—diakui atau tidak—punya sikap politik sendiri terhadap konflik Aceh. Katakanlah, ada yang mendukung NKRI dan banyak pula yang ingin merdeka. Prinsip seperti ini harus dirundingkan. Di sini nantinya akan ditemukan batas kompromi antar kedua belah pihak.
Sementara menyangkut penghentian permusuhan, harus benar-benar dirumuskan model gencatan senjatanya. Tidak boleh ada pihak yang keberatan setelah perjanjian ditandatangani. Semua harus patuh. Untuk itu, dibutuhkan mediator yang akan memantau jalannya hasil kesepakatan. Keduanya harus ikhlas menerima pasukan penjaga perdamaian untuk memastikan kedua belah pihak tidak melanggar butir-butir kesepakatan. Hal ini penting, karena tanpa mediator/pasukan penjaga perdamaian, sulit untuk berharap keduanya tidak akan melanggar hasil kesepakatan. Pengalaman CoHA sudah memberikan pelajaran berharga kepada kita.
Saya kira jika keduanya sepakat dengan hal ini, perundingan nanti tidak akan menjadi sebuah basa-basi politik belaka. Tapi, langsung menyentuh ke pokok persoalannya. Asalkan faktor korban (rakyat Aceh) ikut dijadikan topik pembahasan dalam perundingan. Jika tidak, maka kedua belah pihak yang berunding di Helsinki hanya datang untuk menunda perdamaian yang mulai menyembul pascabencana gempa dan tsunami!
Taufik Al Mubarak, Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS) Banda Aceh.
--- sudah dimuat di www.acehkita.com (9 April 2005)
Tags:
Artikel