Penyelesaian Konflik Aceh Pascapemilu

Pemilu 2004 baru saja usai, tapi wajah politik Indonesia tidak banyak berubah. Partai-partai baru seperti Partai Demokrat dan PKS mendapatkan perolehan suara yang cukup lumayan, namun mandat yang diberikan rakyat itu kurang cukup kuat untuk mengimbangi partai lama yang pro status quo. Dalam pada itu, beragam permasalahan sisa masa lalu masih membutuhkan perhatian untuk diselesaikan. Konflik Aceh, misalnya, sebagai problem nasional mau tidak mau harus diselesaikan. Sejauh mana peluang penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintahan mendatang?

Pertanyaan tentang Aceh ini penting diajukan, mengingat selama hampir setahun ini, sejak diumumkan status darurat militer telah terjadi kemacetan solusi, sementara peluang untuk berdamai sudah sangat tertutup. Artinya, selama rezim Megawati, sulit berharap penyelesaian konflik Aceh dilakukan dengan jalan damai. Pemerintah Megawati tidak mungkin menelan ludahnya sendiri dengan membuka ruang dialog dengan GAM setelah menyatakan perang. Ia tidak punya exit strategy.

Diskusi publik bertajuk ”Komitmen Partai Politik terhadap perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM” yang diselenggarakan Komnas HAM di Jakarta 1-3 Maret lalu menyiratkan ada sedikit peluang terjadinya perdamaian di Aceh. Tetapi argumentasi partai berbasis nasionalis tentang ”perlunya” tindakan keras terhadap separatisme di Aceh mementahkan harapan itu. Ini artinya bakal ada pengulangan tindakan militeristik dalam menuntaskan persoalan Aceh jika partai mereka berkuasa.

Saya menangkap tiga pandangan yang mengemuka dalam diskusi itu. Pertama, persoalan di Aceh adalah persoalan separatisme dan pemberontakan. Maka tindakan keras (kekuatan militer) sangat tepat untuk meredam pemberontakan. Konsep NKRI sudah final dan tindakan yang hendak memisahkan diri harus dilawan dengan segenap kekuatan. Jika perlu dihukum mati. Sikap ini umumnya diwakili oleh partai nasionalis seperti PNI Marhaenisme, PDI-P, Partai Demokrat, Golkar dan juga partai PPP yang nota bene menang di Aceh. Bahkan pembicara dari PPP menyatakan akan menghukum mati pelaku separatis Aceh jika partainya menang.

Kedua, perlunya memberikan otonomi yang luas untuk Aceh. Pandangan ini melihat bahwa persoalan Aceh adalah persoalan ketidakadilan, sehingga perlu memberikan keleluasaan untuk Aceh agar dapat mengelola sumber daya alam sendiri. Eksploitasi sumber daya alam Aceh secara tidak adil dan serakah harus diubah dan diganti dengan sistem yang lebih mencerminkan keadilan bagi rakyat Aceh. Sikap ini tercermin dari pandangan partai yang sedikit lebih liberal dan membuka ruang pada federasi seperti PAN, atau yang mendukung otonomi seperti PNBK, PKS, PPD, PDK dan lain-lain.

Ketiga, perlunya memahami Aceh secara utuh. Dengan adanya pemahaman yang utuh ini, akan membuka mata dalam melihat keinginan rakyat Aceh yang sebenarnya seperti apa. Bahkan lebih ekstrim lagi, partai ini menganggap peluang self determination perlu diberikan kepada Aceh untuk melihat aspirasi rakyat Aceh. Pandangan ini disampaikan oleh PKB, yang sedikit lebih demokrat. Dalam wacana demokrasi, peluang untuk mendengarkan suara rakyat lebih diutamakan dan tidak dibenarkan upaya menghalangi keinginan untuk menentukan nasib sendiri.

Soal jajak pendapat sebenarnya juga disampaikan Gayus Lumbuun (Wasekjen Advokasi DPP PDI-P), bahwa partainya juga setuju dengan Jajak Pendapat, tetapi harus bersifat nasional. Jajak pendapat tidak hanya untuk rakyat Aceh, melainkan juga publik nasional perlu ditanyakan apa setuju Aceh memerdekakan diri atau tidak.

Ketiga pandangan ini menarik untuk diperbincangkan, mengingat partai-partai ini memiliki peluang untuk berkuasa. Hasil sementara Pemilu menunjukkan bahwa Golkar, PDI-P, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN mempunyai jumlah suara yang cukup signifikan. Kita ingin melihat, apakah masalah Aceh mendapat tempat dan menjadi prioritas untuk diselesaikan secara adil? Penggalian ini perlu dilakukan, sehingga kita mengetahui konsep riil partai politik terhadap persoalan bangsa seperti Aceh dan Papua. Apakah konflik hanya dijadikan isu partai untuk menarik simpati rakyat di kedua daerah ini atau memang benar-benar berangkat dari apresiasi yang tinggi untuk menyelesaikan
intra-state conflict tersebut?

”Ending” Aceh
Konsep penyelesaian Aceh dari partai-partai ini perlu disampaikan kepada publik, agar kita memiliki pemahaman tentang format penyelesaian yang ditawarkan oleh partai. Kita ingin melihat partai mana yang memilih penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, atau konsep yang lebih mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di Aceh. Ini penting diketahui, karena penyelesaian Aceh membutuhkan pengayaan yang mendalam terhadap beragam
aspirasi yang berkembang di sana.

Khusus untuk Aceh, pandangan itu menarik bila disandingkan dengan prospeknya ke depan. Ending permasalahan Aceh bisa disederhanakan menjadi: pertama, Aceh terintegrasi secara utuh dalam bingkai NKRI jika seandainya pemerintah mampu meredam perlawanan GAM dan memutuskan penyebaran ideologisasi gerakan ini kepada masyarakat. GAM berhasil dihancurkan untuk selamanya. Kedua, Aceh akan menjadi negara baru terpisah secara teritorial dari Indonesia. GAM berhasil memobilisasi perlawanan rakyat terhadap pemerintah untuk merdeka. Ketiga, Aceh akan selalu berada dalam pusara konflik. Ini akan terjadi kalau kedua belah pihak, RI dan GAM, tidak mampu memberikan formula penyelesaian yang lebih bisa diterima oleh rakyat.

Namun, tidak adanya keinginan kedua belah pihak untuk sama-sama mendengar suara rakyat Aceh yang sebenarnya sudah sangat lelah terus-menerus berada dalam lingkaran perang.

Dilihat dari penanganan Aceh selama ini yang salah kaprah, kita takutnya ending ketiga yang paling masuk akal. Lebih ”rasional”. Ini bukan karena ending ini terbaik melainkan setelah fakta yang terhidang di depan kita. Peluang untuk perdamaian masih ditutup rapat, bahkan tidak ada opsi sama sekali untuk ini. Berdamai seolah-olah sebuah kekalahan politik yang menyakitkan. Dan pemerintah tidak mungkin lagi berdamai dengan GAM. Sebaliknya GAM, tidak mungkin percaya lagi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi diperkuat dengan kenyataan bahwa pemerintah hanya mau berunding ketika posisinya secara politik melemah; tetapi ketika legitimasi pemerintah menguat berbagai perundingan digagalkan secara sepihak seperti penarikan diri dari CoHA dan pemberlakuan darurat militer pada Mei tahun lalu.

Bagaimana ke depan? Kembali lagi sejauh mana partai politik mampu memahami secara utuh permasalahan Aceh. Bukan sekadar paham bahwa konflik Aceh karena faktor ketidakadilan. Bagi kita pemahaman itu penting sebelum pemerintah yang akan datang mengeluarkan sebuah kebijakan untuk Aceh. Perubahan paradigma penyelesaian Aceh sangat tergantung pada bagaimana pemerintah hasil Pemilu 2004 ini. Apakah yang nanti berkuasa partai yang membiarkan perilaku represif berjalan, partai yang memberikan otonomi dengan ikhlas bukan sebagai retorika politik, atau partai yang memberikan kebebasan dan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. []

Penulis adalah aktivis Aceh Support Groups (ASG), peserta Diskusi Publik Komnas HAM.

---- Tulisan ini sudah pernah dimuat di SINAR HARAPAN 14 April 2004

Post a Comment

Previous Post Next Post