Perang biasanya bisa dihentikan untuk beberapa waktu lamanya, tapi sewaktu-waktu dapat bergejolak lagi, dengan format yang berbeda dan aktor yang berbeda pula. Perang akan memproduksi aktor perang berikutnya dengan watak dan metode yang baru. Masyarakat yang hidup dalam arena perang berpotensi membuat perang di lain kesempatan. Anak-anak yang beranjak dewasa dan melihat parade perang akan cepat belajar dan ketika dewasa mereka ingin terlibat dalam perang. Khusus untuk anak-anak yang bapaknya menjadi korban cukup berpotensi menjadi generasi militan dan membuka medan perang baru yang lebih hebat dan lama.
Inilah alasan yang mendasari kenapa manusia untuk tidak memilih jalur perang dalam menyelesaikan sebuah sengketa dan perselihan. Hanya orang-orang yang berpikiran ke belakang yang menyukai perang. Mereka hanya tahu: kita harus menang dan berkuasa. Rumus zero sum game yang sering berlaku.
Bagi mereka ini, ekses dan imbas dari perang sama sekali tidak diperhitungkan. Padahal inilah yang harus menjadi perhatian kita. Bahwa perang sesuatu yang tidak memberi manfaat kecuali kehancuran. Tidak pernah kita menggapai perdamaian abadi ketika perang dipaksakan. Kecuali perdamaian sesaat yang sewaktu-waktu meletup dan bergejolak secara lebih hebat. Kita pun harus membayar mahal untuk pilihan ini: runtuh dan terkuburnya nilai-nilai kemanusiaan!
Walaupun perang dirancang dengan strategi modern, tetap memberikan efek samping terhadap anak-anak. Anak-anak akan menanggung derita dan duka dari perang. Mereka yang paling menderita karena perang. Dapat dimaklumi kenapa orang bijak tidak menginginkan solusi penyelesaian masalah lewat perang. Harga yang harus dibayar sangatlah mahal, bahkan lebih mahal dari biaya perang itu sendiri.
Saya terkesan dengan sebuah ungkapan orang bijak, bahwa perang tak lebih sebagai sarana pembunuhan manusia. "Jika kita tidak mengakhiri perang maka peranglah yang akan mengakhiri kita". Ungkapan itu cukuplah populer di kalangan penganut ideologi humanis. Ada sesuatu yang akan hilang ketika perang dipaksakan yaitu nurani kemanusiaan. Manusia akan menjadi makhluk yang sadis, buas dan haus darah tanpa mempertimbangkan lagi ukuran layak dan tidak layak, serta kehilangan pegangan nilai. Satu sama lain menjadi tidak akur dan terbentuk sebuah cita-cita untuk saling menghilangkan dan melenyapkan.
Ungkapan singkat di atas memiliki makna yang cukup dalam. Pesan-pesan itu hendaknya menjadi inspirasi bagi kita untuk terus mendesak pihak-pihak yang sedang bertikai di Aceh supaya menghentikan perang. Karena tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan dari perang selain kehancuran. Jadi, buat apa terus menerus mempertahankan perang apalagi untuk sesuatu yang tidak pasti, NKRI. Bukankah ungkapan NKRI hanya dipakai oleh militer untuk memaksakan kehendaknya di Aceh sehingga peluang mereka untuk terjun kembali ke panggung politik pada pemilu 2004 tak mendapat halangan yang berarti dari pihak sipil? Belum lagi, militer sering memelihara wilayah konflik untuk kepentingan karir dan uang!
Kehadiran militer di Aceh bukan bagian penyelamatan rakyat sipil dari ancaman GAM sebagaimana sering digembor-gemborkan oleh militer. Militer hanya ingin pengakuan eksistensi. Militer hanya ingin berkuasa. Darurat Militer di Aceh adalah uji coba bahwa kekuatan militer layak diperhitungkan dalam kancah politik nasional setelah kehilangan marwahnya seiring dengan menguatnya kekuatan reformasi yang mendorong pencabutan dwifungi ABRI.
Kita sangat yakin, keberhasilan militer memaksakan kehendaknya seperti DM di Aceh akan terus diikuti oleh keberhasilan lain, apalagi ketika kontrol sipil kian melemah. Dominasi militer dalam segala pengambilan kebijakan negara adalah sesuatu yang berbahaya. Jangan sampai muncul kondisi bahwa fatwa militer adalah sebuah kebenaran dan sipil harus patuh dengannya. Makanya diperlukan seorang sipil yang kuat dan mampu mengimbangi kekuatan militer. Katakanlah seperti mantan Presiden Gus Dur, cuma tidak bergerak sendiri, harus kolektif. Itu pun jika kita ingin menghilangkan peran dominan militer dalam panggung politik.
Harga mahal untuk perang
Jika biaya untuk perang Aceh adalah Rp1, 3 triliun, maka hal itu belum sebanding dengan kehancuran yang terjadi di Aceh. Pasalnya, ada harga lain yang harus kita bayar dari perang biadab ini: anak-anak kehilangan masa depan! Itu sudah pasti. Manusia kehilangan nurani kemanusiaan. Sikap saling curiga hinggap di hati semua orang, sehingga lakon kehidupan yang semula semarak menjadi mati. Orang takut untuk bicara, saling menyapa. Tali silaturahmi yang begitu diagungkan menjadi mati dan terputus. Masyarakat menjadi tertutup, sehingga yang terjadi adalah kematian peradaban.
Perang juga bukan semata-mata soal statistik. Bukan hanya angka-angka korban pihak TNI, GAM yang harus di hitung. Kematian para pihak yang terlibat dalam perang sudah lazim. Para kombatan pasti menjadi korban. Dalam kamus militer umum berlaku rumus "jika tidak menembak, kita yang tertembak!" Tapi bukan itu masalahnya. Justru yang menjadi perhatian kita adalah rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa menjadi korban. Itu saja. Dalam perang di mana pun sulit untuk menghindari korban sipil, begitu kata militer. Kita pun tidak bisa menggugat, karena seolah-olah titah militer adalah fatwa!
Namun, ada hal yang menyakitkan yaitu ketidakjujuran pihak TNI. Misalnya, setiap ada rakyat sipil jadi korban langsung diklaim itu anggota GAM. Petinggi TNI sama sekali tidak merasa bersalah atas jatuhnya korban tersebut, karena mereka hanya menembak GAM. Padahal, dalam perang di Aceh, banyak masyarakat sipil yang tak terkait dengan GAM menjadi korban. Mereka yang tertembak dan terbunuh itu bukan GAM, melainkan rakyat sipil yang diklaim GAM. Kita terenyuh saat membaca koran, misalnya, terkait terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. TNI langsung mengklaim 10 GAM tewas dan menyita 1 pistol rakitan serta puluhan amunisi. Tidak logis, bukan? Masak dengan korban 10 orang, TNI hanya menyita 1 pistol rakitan dan amunisi. Di medan tempur tidak mungkin semua senjata itu dilarikan oleh anggota GAM yang lain. Kita memahami bagaimana psikologi medan tempur. Dalam keadaan panik apalagi kawan yang tewas tidak mungkin sempat terpikir melarikan senjata kawan. Mustahil!
Kondisi ini membuat saya teringat pada sebuah ungkapan bijak, bahwa korban pertama dari perang bukanlah manusia melainkan kebenaran. Nah...inilah problemnya. Di tengah kondisi seperti DM di Aceh, akses informasi resmi hanya dari pihak militer. Hanya militer yang bisa mendeskripsikan dan mendefinisikan keadaan di lapangan. Apakah itu jumlah korban yang jatuh, penguasaan medan lawan, kondisi masyarakat dan keamanan. Kondusif atau tidak kondusif semuanya ditentukan oleh militer. Dan kita pun sulit untuk menerima itu sebagai kebenaran, tapi apa boleh buat, informasi lain tidak kita dapatkan.
Pun begitu, yang paling disesali sebenarnya bukan itu, melainkan pemaksaan perang untuk alasan apapun telah berimplikasi negatif terhadap kehidupan anak-anak dan perempuan. Di situ letak kesalahannya. Ada banyak kasus dan contoh untuk ini dan itu seharusnya mengajarkan kita bagaimana sebenarnya efek perang bagi masa depan anak-anak. Kondisi ini yang sering terabaikan. Coba perhatikan betapa korban lagi yang akan kita hitung dan berapa tahun lagi kita harus menunggu konflik ini benar-benar bisa selesai.
Masa Depan Anak Aceh
Anggota Komnas Anak, Achmat Marzuki sebagaimana dikutip Kompas (19/07/03) menyiratkan ketakutannya terkait pemberlakuan Darurat Militer bagi masa depan anak Aceh: ”Anak-anak terutama di pedalaman Aceh, secara mental tampak sekali jiwanya penuh ketakutan. Kalau mereka bermain, mainannya pun perang-perangan.” Akibatnya, semangat perang itu sedikit-demi-sedikit mereka adopsi. Tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang mereka akan ikut perang benaran. Bahkan menurut anggota Komnas Anak itu, sebagian besar anggota GAM yang muda-muda saat ini adalah mereka yang keluarganya dulu menjadi korban DOM. "Mereka mengaku dendam dan menuntut balas.”
Duh….apa yang akan terjadi pasca Darurat Militer ini di mana kekerasan sudah mencapai puncaknya. Bukankah ini artinya Indonesia sedang merekonstruksi pelaku perang baru dan memperpanjang konflik di Aceh. Operasi militer itu sama sekali tak mampu menumpas GAM, melainkan memperpanjang barisan anak-anak untuk menjadi GAM, terutama yang bapaknya menjadi korban. Jika ini yang terjadi, berarti DM dalam arti substansial mengalami kegagalan. Pemerintah mengulangi sebuah kesalahan yang sama untuk beberapa episode lagi.
Sebagai akibat dari kebijakan perang ini, imbasnya kemudian menjadi terwariskan dari sebuah generasi kepada generasi berikutnya. Siklus konflik berpindah tangan dari generasi tua kepada generasi muda. Kita akan melihat itu ketika Darurat Militer ini tidak segera diakhiri.
Siapa yang bisa menjamin, anak-anak GAM tidak akan dendam kepada TNI/Polri? Siapa yang menjamin anak-anak TNI/Polri tidak dendam kepada GAM? Sejarah sudah membuktikan itu ketika Aceh dalam status DOM, bukan hanya korban manusia yang disesalkan terjadi. Tetapi telah memproduksi ratusan GAM-GAM baru yang militan. Siapa sebenarnya yang salah: mereka yang keras kepala menjadi GAM atau kebijakan pemerintah yang selalu membunuh rakyatnya?
Jika Darurat Militer ini tidak segera diakhiri, saya berani menjamin akan banyak anak Aceh yang memilih jalan hidupnya menjadi GAM. Begitu juga dengan anak-anak TNI/Polri akan semakin mempertajam kebenciannya terhadap Aceh, khususnya kepada GAM. Berarti DM telah memperpanjang konflik Aceh untuk babak berikutnya dengan tensi yang lebih hebat. Mimpi Aceh agar lebih damai pasca DM sama sekali tidak menjadi kenyataan. Untuk kesekian kalinya pemerintah telah menzalimi Aceh. Kita pun harus mengucapkan selamat tinggal kepada perdamaian, pasalnya kita bukanlah masyarakat yang hidup dalam tradisi perdamaian!
Inilah alasan yang mendasari kenapa manusia untuk tidak memilih jalur perang dalam menyelesaikan sebuah sengketa dan perselihan. Hanya orang-orang yang berpikiran ke belakang yang menyukai perang. Mereka hanya tahu: kita harus menang dan berkuasa. Rumus zero sum game yang sering berlaku.
Bagi mereka ini, ekses dan imbas dari perang sama sekali tidak diperhitungkan. Padahal inilah yang harus menjadi perhatian kita. Bahwa perang sesuatu yang tidak memberi manfaat kecuali kehancuran. Tidak pernah kita menggapai perdamaian abadi ketika perang dipaksakan. Kecuali perdamaian sesaat yang sewaktu-waktu meletup dan bergejolak secara lebih hebat. Kita pun harus membayar mahal untuk pilihan ini: runtuh dan terkuburnya nilai-nilai kemanusiaan!
Walaupun perang dirancang dengan strategi modern, tetap memberikan efek samping terhadap anak-anak. Anak-anak akan menanggung derita dan duka dari perang. Mereka yang paling menderita karena perang. Dapat dimaklumi kenapa orang bijak tidak menginginkan solusi penyelesaian masalah lewat perang. Harga yang harus dibayar sangatlah mahal, bahkan lebih mahal dari biaya perang itu sendiri.
Saya terkesan dengan sebuah ungkapan orang bijak, bahwa perang tak lebih sebagai sarana pembunuhan manusia. "Jika kita tidak mengakhiri perang maka peranglah yang akan mengakhiri kita". Ungkapan itu cukuplah populer di kalangan penganut ideologi humanis. Ada sesuatu yang akan hilang ketika perang dipaksakan yaitu nurani kemanusiaan. Manusia akan menjadi makhluk yang sadis, buas dan haus darah tanpa mempertimbangkan lagi ukuran layak dan tidak layak, serta kehilangan pegangan nilai. Satu sama lain menjadi tidak akur dan terbentuk sebuah cita-cita untuk saling menghilangkan dan melenyapkan.
Ungkapan singkat di atas memiliki makna yang cukup dalam. Pesan-pesan itu hendaknya menjadi inspirasi bagi kita untuk terus mendesak pihak-pihak yang sedang bertikai di Aceh supaya menghentikan perang. Karena tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan dari perang selain kehancuran. Jadi, buat apa terus menerus mempertahankan perang apalagi untuk sesuatu yang tidak pasti, NKRI. Bukankah ungkapan NKRI hanya dipakai oleh militer untuk memaksakan kehendaknya di Aceh sehingga peluang mereka untuk terjun kembali ke panggung politik pada pemilu 2004 tak mendapat halangan yang berarti dari pihak sipil? Belum lagi, militer sering memelihara wilayah konflik untuk kepentingan karir dan uang!
Kehadiran militer di Aceh bukan bagian penyelamatan rakyat sipil dari ancaman GAM sebagaimana sering digembor-gemborkan oleh militer. Militer hanya ingin pengakuan eksistensi. Militer hanya ingin berkuasa. Darurat Militer di Aceh adalah uji coba bahwa kekuatan militer layak diperhitungkan dalam kancah politik nasional setelah kehilangan marwahnya seiring dengan menguatnya kekuatan reformasi yang mendorong pencabutan dwifungi ABRI.
Kita sangat yakin, keberhasilan militer memaksakan kehendaknya seperti DM di Aceh akan terus diikuti oleh keberhasilan lain, apalagi ketika kontrol sipil kian melemah. Dominasi militer dalam segala pengambilan kebijakan negara adalah sesuatu yang berbahaya. Jangan sampai muncul kondisi bahwa fatwa militer adalah sebuah kebenaran dan sipil harus patuh dengannya. Makanya diperlukan seorang sipil yang kuat dan mampu mengimbangi kekuatan militer. Katakanlah seperti mantan Presiden Gus Dur, cuma tidak bergerak sendiri, harus kolektif. Itu pun jika kita ingin menghilangkan peran dominan militer dalam panggung politik.
Harga mahal untuk perang
Jika biaya untuk perang Aceh adalah Rp1, 3 triliun, maka hal itu belum sebanding dengan kehancuran yang terjadi di Aceh. Pasalnya, ada harga lain yang harus kita bayar dari perang biadab ini: anak-anak kehilangan masa depan! Itu sudah pasti. Manusia kehilangan nurani kemanusiaan. Sikap saling curiga hinggap di hati semua orang, sehingga lakon kehidupan yang semula semarak menjadi mati. Orang takut untuk bicara, saling menyapa. Tali silaturahmi yang begitu diagungkan menjadi mati dan terputus. Masyarakat menjadi tertutup, sehingga yang terjadi adalah kematian peradaban.
Perang juga bukan semata-mata soal statistik. Bukan hanya angka-angka korban pihak TNI, GAM yang harus di hitung. Kematian para pihak yang terlibat dalam perang sudah lazim. Para kombatan pasti menjadi korban. Dalam kamus militer umum berlaku rumus "jika tidak menembak, kita yang tertembak!" Tapi bukan itu masalahnya. Justru yang menjadi perhatian kita adalah rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa menjadi korban. Itu saja. Dalam perang di mana pun sulit untuk menghindari korban sipil, begitu kata militer. Kita pun tidak bisa menggugat, karena seolah-olah titah militer adalah fatwa!
Namun, ada hal yang menyakitkan yaitu ketidakjujuran pihak TNI. Misalnya, setiap ada rakyat sipil jadi korban langsung diklaim itu anggota GAM. Petinggi TNI sama sekali tidak merasa bersalah atas jatuhnya korban tersebut, karena mereka hanya menembak GAM. Padahal, dalam perang di Aceh, banyak masyarakat sipil yang tak terkait dengan GAM menjadi korban. Mereka yang tertembak dan terbunuh itu bukan GAM, melainkan rakyat sipil yang diklaim GAM. Kita terenyuh saat membaca koran, misalnya, terkait terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM. TNI langsung mengklaim 10 GAM tewas dan menyita 1 pistol rakitan serta puluhan amunisi. Tidak logis, bukan? Masak dengan korban 10 orang, TNI hanya menyita 1 pistol rakitan dan amunisi. Di medan tempur tidak mungkin semua senjata itu dilarikan oleh anggota GAM yang lain. Kita memahami bagaimana psikologi medan tempur. Dalam keadaan panik apalagi kawan yang tewas tidak mungkin sempat terpikir melarikan senjata kawan. Mustahil!
Kondisi ini membuat saya teringat pada sebuah ungkapan bijak, bahwa korban pertama dari perang bukanlah manusia melainkan kebenaran. Nah...inilah problemnya. Di tengah kondisi seperti DM di Aceh, akses informasi resmi hanya dari pihak militer. Hanya militer yang bisa mendeskripsikan dan mendefinisikan keadaan di lapangan. Apakah itu jumlah korban yang jatuh, penguasaan medan lawan, kondisi masyarakat dan keamanan. Kondusif atau tidak kondusif semuanya ditentukan oleh militer. Dan kita pun sulit untuk menerima itu sebagai kebenaran, tapi apa boleh buat, informasi lain tidak kita dapatkan.
Pun begitu, yang paling disesali sebenarnya bukan itu, melainkan pemaksaan perang untuk alasan apapun telah berimplikasi negatif terhadap kehidupan anak-anak dan perempuan. Di situ letak kesalahannya. Ada banyak kasus dan contoh untuk ini dan itu seharusnya mengajarkan kita bagaimana sebenarnya efek perang bagi masa depan anak-anak. Kondisi ini yang sering terabaikan. Coba perhatikan betapa korban lagi yang akan kita hitung dan berapa tahun lagi kita harus menunggu konflik ini benar-benar bisa selesai.
Masa Depan Anak Aceh
Anggota Komnas Anak, Achmat Marzuki sebagaimana dikutip Kompas (19/07/03) menyiratkan ketakutannya terkait pemberlakuan Darurat Militer bagi masa depan anak Aceh: ”Anak-anak terutama di pedalaman Aceh, secara mental tampak sekali jiwanya penuh ketakutan. Kalau mereka bermain, mainannya pun perang-perangan.” Akibatnya, semangat perang itu sedikit-demi-sedikit mereka adopsi. Tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang mereka akan ikut perang benaran. Bahkan menurut anggota Komnas Anak itu, sebagian besar anggota GAM yang muda-muda saat ini adalah mereka yang keluarganya dulu menjadi korban DOM. "Mereka mengaku dendam dan menuntut balas.”
Duh….apa yang akan terjadi pasca Darurat Militer ini di mana kekerasan sudah mencapai puncaknya. Bukankah ini artinya Indonesia sedang merekonstruksi pelaku perang baru dan memperpanjang konflik di Aceh. Operasi militer itu sama sekali tak mampu menumpas GAM, melainkan memperpanjang barisan anak-anak untuk menjadi GAM, terutama yang bapaknya menjadi korban. Jika ini yang terjadi, berarti DM dalam arti substansial mengalami kegagalan. Pemerintah mengulangi sebuah kesalahan yang sama untuk beberapa episode lagi.
Sebagai akibat dari kebijakan perang ini, imbasnya kemudian menjadi terwariskan dari sebuah generasi kepada generasi berikutnya. Siklus konflik berpindah tangan dari generasi tua kepada generasi muda. Kita akan melihat itu ketika Darurat Militer ini tidak segera diakhiri.
Siapa yang bisa menjamin, anak-anak GAM tidak akan dendam kepada TNI/Polri? Siapa yang menjamin anak-anak TNI/Polri tidak dendam kepada GAM? Sejarah sudah membuktikan itu ketika Aceh dalam status DOM, bukan hanya korban manusia yang disesalkan terjadi. Tetapi telah memproduksi ratusan GAM-GAM baru yang militan. Siapa sebenarnya yang salah: mereka yang keras kepala menjadi GAM atau kebijakan pemerintah yang selalu membunuh rakyatnya?
Jika Darurat Militer ini tidak segera diakhiri, saya berani menjamin akan banyak anak Aceh yang memilih jalan hidupnya menjadi GAM. Begitu juga dengan anak-anak TNI/Polri akan semakin mempertajam kebenciannya terhadap Aceh, khususnya kepada GAM. Berarti DM telah memperpanjang konflik Aceh untuk babak berikutnya dengan tensi yang lebih hebat. Mimpi Aceh agar lebih damai pasca DM sama sekali tidak menjadi kenyataan. Untuk kesekian kalinya pemerintah telah menzalimi Aceh. Kita pun harus mengucapkan selamat tinggal kepada perdamaian, pasalnya kita bukanlah masyarakat yang hidup dalam tradisi perdamaian!
Tags:
Artikel