Buku Media Massa dan Masyarakat Modern (2003) karya William R. Rivers, Jay W. Jensen dan Theodore Peterson menarik untuk ditelaah. Buku ini tak hanya menjelaskan tentang kedudukan media dalam masyarakat Amerika, hubungan pers dengan pemerintah dan bagaimana kebebasan pers diperjuangkan, melainkan juga tentang ketergantungan masyarakat Amerika kepada media.
Dalam buku ini disebutkan lima syarat yang dituntut masyarakat modern dari pers seperti dinyatakan oleh Komisi Kebebasan Pers. Syarat-syarat ini, menurut penulis buku itu, diajukan oleh para tokoh media massa sendiri.
Pertama, media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas.” Media dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga dibedakan menurut ukuran masyarakat: Masyarakat sederhana dan masyarakat modern.
Dalam masyarakat sederhana, misalnya, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar. Media harus bisa membedakan secara jelas mana yang merupakan peristiwa politik, dan mana yang merupakan pendapat politisi.
Kedua, media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah. Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik disodorkan oleh media, untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan jalan keluar.
Jadi, media benar-benar menjadi milik publik. Dan publik pun merasakan manfaat dengan kehadiran media. Ada relasi yang sinergis antara media dan publik pembacanya. Grove Peterson, seorang tokoh Pers yang dikutip dalam buku ini, misalnya, mendefinisikan tanggung jawab social pers sebagai keharusan memastikan bahwa, “Koran adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan kelompok tertentu saja.” Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa, “Koran yang bebas bukan sekadar tempat mencari nafkah.”
Ketiga, media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di masyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan. Karenanya, media dituntut untuk mampu mengenal karakter suatu masyarakat dan mencoba memahaminya, seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka mereka. Dengan demikian, kelompok yang lain tahu gambaran tentang kelompok lain, dan lalu mencoba memahaminya. Pemahaman demikian tentu saja memberi peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk memahami masing-masing karakter dan cara memperlakukannya.
Keempat, media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal-hal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrument pendidik masyarakat sehingga media harus “memikul tanggung jawab pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.”
Terakhir, media “harus membuka akses ke berbagai sumber informasi.” Masyarakat industri modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnnya. Lewat informasi, sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan Aceh? Media di Aceh, khususnya Tabloid SUWA akan berusaha menjembatani masyarakat dan Pemerintah Aceh dalam setiap kebijakan. Artinya, antara keinginan masyarakat dan kebijakan pemerintah Aceh harus sejalan. Karenanya, kami berharap SUWA dapat menjadi media penyambung aspirasi rakyat. Kehadirannya benar-benar dirasakan manfaatnya, sehingga motto SUWA, Medianya Ureueng Acheh bukan sekadar slogan kosong tanpa makna. Entahlah! (fiek)
Dalam buku ini disebutkan lima syarat yang dituntut masyarakat modern dari pers seperti dinyatakan oleh Komisi Kebebasan Pers. Syarat-syarat ini, menurut penulis buku itu, diajukan oleh para tokoh media massa sendiri.
Pertama, media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas.” Media dituntut untuk selalu akurat, dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta, dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga dibedakan menurut ukuran masyarakat: Masyarakat sederhana dan masyarakat modern.
Dalam masyarakat sederhana, misalnya, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Sementara dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar. Media harus bisa membedakan secara jelas mana yang merupakan peristiwa politik, dan mana yang merupakan pendapat politisi.
Kedua, media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah. Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik disodorkan oleh media, untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan jalan keluar.
Jadi, media benar-benar menjadi milik publik. Dan publik pun merasakan manfaat dengan kehadiran media. Ada relasi yang sinergis antara media dan publik pembacanya. Grove Peterson, seorang tokoh Pers yang dikutip dalam buku ini, misalnya, mendefinisikan tanggung jawab social pers sebagai keharusan memastikan bahwa, “Koran adalah wakil masyarakat secara keseluruhan, bukan kelompok tertentu saja.” Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa, “Koran yang bebas bukan sekadar tempat mencari nafkah.”
Ketiga, media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di masyarakat tanpa terjebak pada stereotype. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan. Karenanya, media dituntut untuk mampu mengenal karakter suatu masyarakat dan mencoba memahaminya, seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka mereka. Dengan demikian, kelompok yang lain tahu gambaran tentang kelompok lain, dan lalu mencoba memahaminya. Pemahaman demikian tentu saja memberi peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk memahami masing-masing karakter dan cara memperlakukannya.
Keempat, media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal-hal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrument pendidik masyarakat sehingga media harus “memikul tanggung jawab pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.”
Terakhir, media “harus membuka akses ke berbagai sumber informasi.” Masyarakat industri modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnnya. Lewat informasi, sebenarnya media membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan Aceh? Media di Aceh, khususnya Tabloid SUWA akan berusaha menjembatani masyarakat dan Pemerintah Aceh dalam setiap kebijakan. Artinya, antara keinginan masyarakat dan kebijakan pemerintah Aceh harus sejalan. Karenanya, kami berharap SUWA dapat menjadi media penyambung aspirasi rakyat. Kehadirannya benar-benar dirasakan manfaatnya, sehingga motto SUWA, Medianya Ureueng Acheh bukan sekadar slogan kosong tanpa makna. Entahlah! (fiek)
Tags:
editorial