Pasca-pertemuan Helsinki IV antara RI dan GAM 26-31 Mei lalu, terbersit harapan bahwa penyelesaian konflik Aceh tinggal menunggu waktu saja. Karena dalam pertemuan itu sudah dibicarakan soal pelibatan ASEAN dan Uni Eropa untuk memonitor kesepakatan di lapangan. Meski demikian, harapan ke arah itu masih berliku dan panjang, apalagi jika menyimak wacana-wacana anti-dialog, khususnya yang dihembuskan dari Gedung Senayan (DPR) yang meminta agar pemerintah menghentikan dialog dengan GAM, dan mengambil tindakan tegas. Dialog dengan GAM dalam pandangan DPR memberi celah terhadap internasionalisasi kasus Aceh.
Sementara tafsir penyelesaian Aceh memiliki banyak ragam. Di luar yang ditawarkan RI maupun GAM, kalangan mahasiswa dan pemuda Aceh khususnya gerakan yang diorganisir oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan beberapa organ seperti SMUR, KARMA, FPDRA, FARMIDIA dan lain-lain, memiliki tafsir tersendiri dalam melihat penyelesaian Aceh.
Apakah artinya begitu kesepakatan antara RI dan GAM disepakati, dengan sendirinya tafsir kalangan mahasiswa ini diabaikan? Bagaimana seharusnya format penyelesaian yang minim kemungkinan untuk gagal?
Tiga Tafsir Penyelesaian Aceh
Seperti diketahui, tafsir pemerintah terhadap solusi penyelesaian Aceh sudah bulat yaitu otonomi khusus (di dalamnya termasuk pemberian Syariat Islam), serta Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap pemerintah terhadap tafsir ini juga sudah bulat, yaitu akan mempertahankan habis-habisan keutuhan NKRI meski lewat kekuatan militer, dan akan menghancurkan gerakan yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI.
Kepatuhan atas sikap ini sudah dibuktikan Pemerintah selama berlangsungnya Darurat Militer dan Darurat Sipil (masing-masing berlangsung satu tahun). Opsi militer itu dipilih sebagai implikasi dari gagalnya The Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani 9 Desember 2002 di Jenewa. Meski penerapan Darurat Militer mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena telah menutup segala upaya damai serta menimbulkan pelanggaran HAM, pemerintah bersikukuh.
Bagi pemerintah, konflik Aceh dianggap selesai jika GAM menerima otonomi dan kembali ke pangkuan NKRI. Upaya satu-satunya yang lebih cepat membuat GAM menerima otonomi khusus adalah lewat jalan operasi militer. Meski juga pemerintah membuka pintu dialog dengan GAM, seperti ditempuh oleh Gus Dur (dalam bentuk Jeda Kemanusiaan), Megawati (CoHA), maupun yang ditempuah SBY-JK sekarang (seperti pertemuan Helsinki). Namun, opsi dialog juga bertujuan meminta GAM menerima otonomi khusus dan meletakkan senjata serta kembali ke pangkuan NKRI. Lebih baik jika tidak melalui jalan kekerasan. Itu tafsir yang pertama.
Tafsir kedua terhadap penyelesaian Aceh adalah Merdeka. Tafsir ini merupakan sikap Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan pembebasan nasional Aceh yang diproklamirkan 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Gerakan ini semula hanya berkonsentrasi di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Namun sejak 1998, sebagai akumulasi kekecewaam rakyat atas pemberlakuan DOM, gerakan ini berhasil memobilisir perlawanan rakyat, dan gerakannya sudah meluas dan hampir merata di seluruh Aceh.
Bagi GAM, konflik Aceh dianggap selesai jika TNI/Polri keluar dari Aceh. Seterusnya Aceh berdiri sendiri (berdaulat). Keberadaan RI di Aceh, menurut GAM, adalah sebagai penjajah. Karena itu perlu diusir dan diperangi. Namun, GAM tidak semata-mata menggunakan kekuatan militer, melainkan juga menempuh jalur diplomasi dalam bentuk mencari dukungan internasional untuk mendukung kemerdekaan Aceh.
Pelanggaran HAM yang terjadi semenjak gerakan ini diproklamirkan menjadi isu kampanye para aktivis GAM di luar negeri. Selain itu mereka juga menggunakan faktor sejarah bahwa Aceh tidak pernah takluk terhadap kekuasaan Belanda, karena pada waktu agresi Belanda kedua, Aceh tidak diduduki. Selain itu, menurut mereka, pengintegrasian Aceh ke dalam Indonesia sebagai sebuah proses yang tidak lazim dan tidak sah, karena tidak melibatkan partisipasi rakyat Aceh secara luas.
GAM juga membuka dialog dengan Indonesia seperti terlihat selama ini, sejauh upaya itu untuk mendapatkan kemerdekaan. Namun belakangan ini sikap GAM sudah lebih melunak, dalam arti mundur selangkah dari sikap semula (merdeka) seperti terlihat dalam Helsinki III dan IV. Tapi sikap ini paralel dengan sikap RI: tidak memaksakan otonomi khusus kepada GAM. Artinya, GAM tidak akan membicarakan masalah merdeka, begitu juga RI tidak memaksakan otonomi khusus kepada GAM.
Sementara tafsir ketiga penyelesaian Aceh adalah seperti disuarakan oleh kalangan mahasiswa, pemuda dan thaliban (santri) yaitu Referendum. Opsi ini dipilih untuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh apakah akan ikut RI atau ingin Merdeka (ikut GAM). Konflik antara RI dan GAM telah menyebabkan jatuhnya korban di pihak masyarakat sipil. Keinginan keduanya sulit dikompromikan.
Selain itu, para mahasiswa kecewa dengan kebijakan pemerintah, karena tidak segera menyelesaikan masalah pelanggaran HAM selama berlangsungnya Daerah Operasi Militer (DOM). Tidak ada satu pun yang terlibat pelanggaran HAM semasa DOM dibawa ke pengadilan. Malah pasca DOM, pelanggaran HAM masih terjadi dalam kadar yang sangat luar biasa.
Karena itu, kalangan mahasiswa, pemuda dan thaliban ini menggulirkan Referendum sebagai solusi penyelesaian Aceh. Referendum bagi mereka adalah mazhab politik rakyat Aceh yang diyakini dapat mengembalikan martabat rakyat Aceh. Keseriusan para tokoh muda Aceh ini dibuktikan dengan mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) pada 4 Februari 1999, sebagai lembaga yang mengorganisir perjuangan referendum (pendirian SIRA melibatkan 106 lembaga mewakili mahasiswa, pemuda dan thaliban dalam Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau—KOMPAS). Puncaknya, gerakan ini sukses menghadirkan 2 juta rakyat Aceh di Mesjid Raya Baiturrahman pada 8 November 1999 sebagai bukti bahwa Referendum sudah menjadi harga mati bagi rakyat Aceh.
Helsinki dan Akhir Kisah Aceh?
Menyimak beragamnya tafsir penyelesaian Aceh seperti disebutkan di atas, muncul pertanyaan apakah perundingan Helsinki akan menjadi terminal akhir kisah Aceh? Pertanyaan masih penuh teka-teki. Seperti yang terbaca, dalam Helsinki IV kemarin, kedua belah pihak sudah melakukan pengorbanan yang cukup besar dengan menanggalkan tafsir yang selama ini dipegangnya: tidak membicarakan otonomi maupun merdeka. Meski ‘menanggalkan’ di sini baru sebatas sikap kompromi di meja perundingan.
Terminal akhir di sini bermakna bahwa RI dan GAM mengakhiri pertikaian yang sudah berlangsung selama 29 tahun dengan meneken kesepakatan damai (direncanakan diteken pertengahan Agustus setelah Helsinki V, 12 Juli ini). Di mana, pasca-ditandatangani kesepakatan itu, baik RI maupun GAM tidak lagi mempersoalkan sikap politik masing-masing.
Pertanyaan kita, apakah kesepakatan yang bakal diteken itu tidak memiliki peluang untuk gagal atau dilanggar? Atau bagaimana jika Helsinki gagal? Opsi penyelesaian yang bagaimana akan ditempuh selanjutnya?
Ataukah akhir kisah Aceh akan seperti yang sudah sering diprediksikan yaitu terus menerus berada dalam pusara dan balutan konflik yang berkepanjangan. Kemungkinan ini selalu lebih masuk akal untuk dipercaya, mengingat kenyataan selama ini bahwa penyelesaian Aceh tak jauh dari konflik ke konflik. (Lihat tabel)
Sumber: Himpunan Aktivis Antimiliter (HANTAM)
Keterangan:
Jeda Kemanusiaan I (2 Juni – 2 September 2000)
Jeda Kemanusiaan II (15 September – 15 Januari 2001)
Masa Moratorium (15 Januari – 15 Februari 2001)
Selain itu, apakah kalangan mahasiswa, pemuda, dan thaliban yang dulu menuntut Referendum tidak bergerak lagi? Apakah SIRA akan menghentikan gerakannya? Mengingat yang disepakati oleh RI dan GAM baru sebatas tafsir kedua belah pihak saja, sementara tafsir SIRA berbeda dengan kedua kelompok ini.
Apakah nantinya jika kesepakatan yang bakal diteken ternyata gagal, atau malah tidak menghasilkan kesepakatan apapun? Beranikah kedua belah menempuh tafsir yang ketiga yaitu Referendum? Sebab opsi ini diyakini akan memuaskan kedua belah pihak, karena baik keinginan RI maupun GAM terakomodir di dalamnya. Opsi ini saya yakin menjadi format yang memuaskan semua pihak.
Terakhir, saya hanya ingin mengingatkan, jangan sampai penyelesaian Aceh pada akhirnya “berbuah” pertanyaan-pertanyaan? [A]
Sumber acehkita 1 Juli 2005
Sementara tafsir penyelesaian Aceh memiliki banyak ragam. Di luar yang ditawarkan RI maupun GAM, kalangan mahasiswa dan pemuda Aceh khususnya gerakan yang diorganisir oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan beberapa organ seperti SMUR, KARMA, FPDRA, FARMIDIA dan lain-lain, memiliki tafsir tersendiri dalam melihat penyelesaian Aceh.
Apakah artinya begitu kesepakatan antara RI dan GAM disepakati, dengan sendirinya tafsir kalangan mahasiswa ini diabaikan? Bagaimana seharusnya format penyelesaian yang minim kemungkinan untuk gagal?
Tiga Tafsir Penyelesaian Aceh
Seperti diketahui, tafsir pemerintah terhadap solusi penyelesaian Aceh sudah bulat yaitu otonomi khusus (di dalamnya termasuk pemberian Syariat Islam), serta Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap pemerintah terhadap tafsir ini juga sudah bulat, yaitu akan mempertahankan habis-habisan keutuhan NKRI meski lewat kekuatan militer, dan akan menghancurkan gerakan yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI.
Kepatuhan atas sikap ini sudah dibuktikan Pemerintah selama berlangsungnya Darurat Militer dan Darurat Sipil (masing-masing berlangsung satu tahun). Opsi militer itu dipilih sebagai implikasi dari gagalnya The Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani 9 Desember 2002 di Jenewa. Meski penerapan Darurat Militer mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena telah menutup segala upaya damai serta menimbulkan pelanggaran HAM, pemerintah bersikukuh.
Bagi pemerintah, konflik Aceh dianggap selesai jika GAM menerima otonomi dan kembali ke pangkuan NKRI. Upaya satu-satunya yang lebih cepat membuat GAM menerima otonomi khusus adalah lewat jalan operasi militer. Meski juga pemerintah membuka pintu dialog dengan GAM, seperti ditempuh oleh Gus Dur (dalam bentuk Jeda Kemanusiaan), Megawati (CoHA), maupun yang ditempuah SBY-JK sekarang (seperti pertemuan Helsinki). Namun, opsi dialog juga bertujuan meminta GAM menerima otonomi khusus dan meletakkan senjata serta kembali ke pangkuan NKRI. Lebih baik jika tidak melalui jalan kekerasan. Itu tafsir yang pertama.
Tafsir kedua terhadap penyelesaian Aceh adalah Merdeka. Tafsir ini merupakan sikap Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan pembebasan nasional Aceh yang diproklamirkan 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Gerakan ini semula hanya berkonsentrasi di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Namun sejak 1998, sebagai akumulasi kekecewaam rakyat atas pemberlakuan DOM, gerakan ini berhasil memobilisir perlawanan rakyat, dan gerakannya sudah meluas dan hampir merata di seluruh Aceh.
Bagi GAM, konflik Aceh dianggap selesai jika TNI/Polri keluar dari Aceh. Seterusnya Aceh berdiri sendiri (berdaulat). Keberadaan RI di Aceh, menurut GAM, adalah sebagai penjajah. Karena itu perlu diusir dan diperangi. Namun, GAM tidak semata-mata menggunakan kekuatan militer, melainkan juga menempuh jalur diplomasi dalam bentuk mencari dukungan internasional untuk mendukung kemerdekaan Aceh.
Pelanggaran HAM yang terjadi semenjak gerakan ini diproklamirkan menjadi isu kampanye para aktivis GAM di luar negeri. Selain itu mereka juga menggunakan faktor sejarah bahwa Aceh tidak pernah takluk terhadap kekuasaan Belanda, karena pada waktu agresi Belanda kedua, Aceh tidak diduduki. Selain itu, menurut mereka, pengintegrasian Aceh ke dalam Indonesia sebagai sebuah proses yang tidak lazim dan tidak sah, karena tidak melibatkan partisipasi rakyat Aceh secara luas.
GAM juga membuka dialog dengan Indonesia seperti terlihat selama ini, sejauh upaya itu untuk mendapatkan kemerdekaan. Namun belakangan ini sikap GAM sudah lebih melunak, dalam arti mundur selangkah dari sikap semula (merdeka) seperti terlihat dalam Helsinki III dan IV. Tapi sikap ini paralel dengan sikap RI: tidak memaksakan otonomi khusus kepada GAM. Artinya, GAM tidak akan membicarakan masalah merdeka, begitu juga RI tidak memaksakan otonomi khusus kepada GAM.
Sementara tafsir ketiga penyelesaian Aceh adalah seperti disuarakan oleh kalangan mahasiswa, pemuda dan thaliban (santri) yaitu Referendum. Opsi ini dipilih untuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh apakah akan ikut RI atau ingin Merdeka (ikut GAM). Konflik antara RI dan GAM telah menyebabkan jatuhnya korban di pihak masyarakat sipil. Keinginan keduanya sulit dikompromikan.
Selain itu, para mahasiswa kecewa dengan kebijakan pemerintah, karena tidak segera menyelesaikan masalah pelanggaran HAM selama berlangsungnya Daerah Operasi Militer (DOM). Tidak ada satu pun yang terlibat pelanggaran HAM semasa DOM dibawa ke pengadilan. Malah pasca DOM, pelanggaran HAM masih terjadi dalam kadar yang sangat luar biasa.
Karena itu, kalangan mahasiswa, pemuda dan thaliban ini menggulirkan Referendum sebagai solusi penyelesaian Aceh. Referendum bagi mereka adalah mazhab politik rakyat Aceh yang diyakini dapat mengembalikan martabat rakyat Aceh. Keseriusan para tokoh muda Aceh ini dibuktikan dengan mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) pada 4 Februari 1999, sebagai lembaga yang mengorganisir perjuangan referendum (pendirian SIRA melibatkan 106 lembaga mewakili mahasiswa, pemuda dan thaliban dalam Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau—KOMPAS). Puncaknya, gerakan ini sukses menghadirkan 2 juta rakyat Aceh di Mesjid Raya Baiturrahman pada 8 November 1999 sebagai bukti bahwa Referendum sudah menjadi harga mati bagi rakyat Aceh.
Helsinki dan Akhir Kisah Aceh?
Menyimak beragamnya tafsir penyelesaian Aceh seperti disebutkan di atas, muncul pertanyaan apakah perundingan Helsinki akan menjadi terminal akhir kisah Aceh? Pertanyaan masih penuh teka-teki. Seperti yang terbaca, dalam Helsinki IV kemarin, kedua belah pihak sudah melakukan pengorbanan yang cukup besar dengan menanggalkan tafsir yang selama ini dipegangnya: tidak membicarakan otonomi maupun merdeka. Meski ‘menanggalkan’ di sini baru sebatas sikap kompromi di meja perundingan.
Terminal akhir di sini bermakna bahwa RI dan GAM mengakhiri pertikaian yang sudah berlangsung selama 29 tahun dengan meneken kesepakatan damai (direncanakan diteken pertengahan Agustus setelah Helsinki V, 12 Juli ini). Di mana, pasca-ditandatangani kesepakatan itu, baik RI maupun GAM tidak lagi mempersoalkan sikap politik masing-masing.
Pertanyaan kita, apakah kesepakatan yang bakal diteken itu tidak memiliki peluang untuk gagal atau dilanggar? Atau bagaimana jika Helsinki gagal? Opsi penyelesaian yang bagaimana akan ditempuh selanjutnya?
Ataukah akhir kisah Aceh akan seperti yang sudah sering diprediksikan yaitu terus menerus berada dalam pusara dan balutan konflik yang berkepanjangan. Kemungkinan ini selalu lebih masuk akal untuk dipercaya, mengingat kenyataan selama ini bahwa penyelesaian Aceh tak jauh dari konflik ke konflik. (Lihat tabel)
Nama Operasi | Tahun | Keterangan |
---|---|---|
Operasi Jaring Merah (DOM | 1989-7 Agustus 1998 | Masa Presiden Soeharto |
Operasi Wibawa | Januari - April 1999 | Masa Presiden Habibie |
Operasi Sadar Rencong I | Mei 1999 - Januari 2000 | XXX |
Operasi Sadar Rencong II | Februari 2000 - Mei 2000 | Masa Gus Dur |
Operasi Cinta Meunasah I | Juni - September 2000 | Masa Jeda Kemanusiaan I |
Operasi Cinta Meunasah II | September 2000- 18 Februari 2001 | Masa Jeda Kemanusiaan II & Masa Moratorium |
Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum I | April - Agustus 2001 | Inpres No 4 Tahun 2001 (masa Gus Dur) |
Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum II | September 2001 - Februari 2002 | Inpres No 7 Tahun 2001 (masa Megawati) |
Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum III | Februari - Juli 2002 | Inpres No 1 Tahun 2002 (masa Megawati) |
Darurat Militer Tahap I | 19 Mei - 19 November 2003 | Masa Presiden Megawati |
Darurat Militer Tahap II | 19 November 2003 - 19 Mei 2004 | Masa Presiden Megawati |
Darurat Sipil Tahap I | 19 Mei - 19 November 2004 | Megawati dan dilanjutkan oleh SBY |
Darurat Sipil Tahap II | 19 November 2004 - 19 Mei 2005 | Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
Tertib Sipil | 19 Mei 2005 - 14 Agustus 2005 | Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
Keterangan:
Jeda Kemanusiaan I (2 Juni – 2 September 2000)
Jeda Kemanusiaan II (15 September – 15 Januari 2001)
Masa Moratorium (15 Januari – 15 Februari 2001)
Selain itu, apakah kalangan mahasiswa, pemuda, dan thaliban yang dulu menuntut Referendum tidak bergerak lagi? Apakah SIRA akan menghentikan gerakannya? Mengingat yang disepakati oleh RI dan GAM baru sebatas tafsir kedua belah pihak saja, sementara tafsir SIRA berbeda dengan kedua kelompok ini.
Apakah nantinya jika kesepakatan yang bakal diteken ternyata gagal, atau malah tidak menghasilkan kesepakatan apapun? Beranikah kedua belah menempuh tafsir yang ketiga yaitu Referendum? Sebab opsi ini diyakini akan memuaskan kedua belah pihak, karena baik keinginan RI maupun GAM terakomodir di dalamnya. Opsi ini saya yakin menjadi format yang memuaskan semua pihak.
Terakhir, saya hanya ingin mengingatkan, jangan sampai penyelesaian Aceh pada akhirnya “berbuah” pertanyaan-pertanyaan? [A]
Sumber acehkita 1 Juli 2005
Tags:
Artikel