Hari itu, Rabu tanggal 13 Februari 2008. Jam 5 tepat aku harus sudah ada di kantor redaksi Harian Aceh. Terus terang, ini adalah kunjunganku yang pertama ke kantor koran lokal ini. Sebelumnya, aku hanya melihat spanduk bertuliskan "Harian Aceh" setiap kali melewati jalan Jln T. Iskandar No. 46 Lambhuk Ulee Kareng ini.
Di sana sudah ada Pak Lukman. Aku segera diminta naik ke atas, ke ruang pimpinan umum. Sambil memberi salam, dan membuang sisa rokok yang belum habis, aku salaman satu persatu tamu di dalam ruang itu. Ada Pak Masriansyah, Pak Miftah, Pak Nasrul, Ariadi, Andi Irawan. Kami di sana ngobrol panjang lebar, bahkan sampai keluar dari topik kehadiran aku di sana. Aku banyak diceritakan tentang kondisi internal harian Aceh, dan sistem kerja di Harian Aceh.
Selesai di situ, aku diajak naik ke atas untuk melihat ruang redaksi, dan meja kerja untuk ku. Oya, aku diterima sebagai redaktur di harian ini. Tapi, aku belum tahu bagian apa yang harus aku tangani. Aku hanya bilang, bahwa aku lebih tertarik pada isu-isu politik dan luar negeri. Namun, mereka tetap meminta aku untuk melihat dulu kondisinya, dan memilih mana yang cocok sebagai tugas untukku.
Selesai dari sana, aku tak langsung pulang. Pak Lukman mengajak minum kopi di cafe sebelah. Kami banyak berbicara tentang masalah Harian Aceh, dan kondisi di dalam. Intinya kami ngobrol bagaimana memajukan Harian Aceh.
Aku sendiri pada awalnya amat berat masuk ke Harian Aceh, karena ada planning menerbitkan Tabloid pengganti Tabloid SUWA yang tersangkut masalah internal. Aku sendiri sudah berjanji pada diriku tidak akan menerbitkan lagi Tabloid dengan nama SUWA. Perlakuan yang aku terima sangat menyakitkan. Hal yang paling kuingat, dan mungkin tak akan kulupakan adalah beredarnya sms di lapangan yang meminta Tabloid SUWA edisi 13 dibakar tanpa bekas. SMS ini sampai sekarang masih aku simpan. Jerih payahku selama ini ternyata tak pernah dihargai.
Karena media yang aku rencanakan belum terbit, aku putuskan untuk bergabung dengan Harian Aceh dengan harapan aku tak berhenti menulis. Soalnya, jika tak bergabung dengan media, semangatku menulis pasti akan berkurang, dan aku tak akan terbiasa lagi menulis. Jadi, aku bergabung ke sini, sebagai pemompa semangat, sampai media yang aku rencanakan benar-benar bisa terbit lagi.
Hari itu aku berlalu begitu saja, dan tak terasa aku menjadi bagian dari harian Aceh. Aku pulang ke rumah tanpa perasaan apa-apa. Tak ada kebanggaan, tak terlihat aku senang, dan tak terlihat aku senang menerima pekerjaan baru ku ini. Aku hanya memikirkan, bahwa hari-hariku akan banyak kuhabiskan dengan tugas di kantor, mengedit berita dan kerja redaksi lainnya. Otomatis waktuku untuk bersenang-senang dan santai sama sekali tak ada lagi. Aku akan terikat dengan kerja. Aku yakin akan sangat menyiksa dan membebani hidupku yang seharusnys selalu enjoy.
Tapi, selepas hari itu, aku tak pernah muncul ke kantor Harian Aceh lagi. Bagiku, aku bekerja di Harian Aceh antara ada dan tiada. Setidaknya, sampai hari Minggu setelah pertemuan hari Rabu itu, aku tak pernah ke Kantor Harian Aceh. Bukan berarti aku tak mau menerima pekerjaan baruku sebagai redaktur, melainkan memang aku harus menikmati beberapa hari lagi kebebasanku. Karena ke depan aku sudah yakin, bahwa aku tak bisa menikmati kebebasanku. Aku tak lagi menjadi manusia bebas.
Walaupun seorang kawanku pernah bilang, bahwa kita sebenarnya adalah makhluk bebas. Iya, aku percaya sama dia, bahwa kita adalah makhluk pemuja kebebasan. Kita tak hanya ingin bebas dari semua belenggu, melainkan juga bebas menyiksa diri kita. Kita bebas mengkhianati diri kita. Sebab, kita adalah makhluk bebas. Tapi, menerima pekerjaan sebagai redaktur Harian Aceh, secara otomatis akan membuatku tak lagi bebas. Setidaknya tak lagi bebas menentukan sesuatu sesuai kehendakku, karena aku sudah punya tanggung jawab. Makanya, meskipun kita bebas, ya bebas secara bertanggung jawab.
Nah, akhirnya, hari Senin, 18 Februari 2008, aku masuk kerja untuk pertama kalinya. Jam 2 tepat aku sudah muncul di kantor Harian Aceh. Kantor masih sepi, hanya beberapa karyawan terlihat di sana. Di ruang redaksi, baru ada satu orang, itu pun sedang menonton film perang. Aku duduk di mejaku. Tak tahu apa yang harus aku kerjakan.
Waktu terus berlalu, dan malamnya, aku diberi tugas mengelola halaman 12 Harian Aceh, yaitu rubrik SIASAH. Tugas pertama aku lalui dengan mulus, tak ada kendala apapun. Karena tugasku hanya mengedit sedikit saja berita dari kantor berita yang menjadi langganan Harian Aceh. Tugas itu bagiku sama sekali tak berat, karena background aku adalah penulis.
Besoknya, pekerjaanku hanyalah seperti itu, tak ada tantangan. Namun, pada tanggal 22 Februari, aku diminta oleh Redaktur Pelaksana untuk menulis rubrik Cang Panah. Bagiku inilah tantangan. Karena jika dulu di Tabloid SUWA aku bisa menulis apa saja, dan mengkritik siapa saja, maka di di sini aku harus berhati-hati. Karena aku sama sekali tak memiliki saham di sini. Di harian Aceh aku hanyalah buruh. Jadi, untuk menulis aku harus hati-hati, karena ya ini bukan media aku. Ini media orang, aku tak bisa mengeritik sembarangan. Gawat! Maka lahirlah Politek Hana Titek. Besoknya, aku juga di minta menulis lagi di rubrik Cang Panah, maka lahirlah Po Nanggroe.
aku tak tahu, apakah tulisan ini bersambung atau tidak. Jika ada waktu akan aku sambung lagi...
Di sana sudah ada Pak Lukman. Aku segera diminta naik ke atas, ke ruang pimpinan umum. Sambil memberi salam, dan membuang sisa rokok yang belum habis, aku salaman satu persatu tamu di dalam ruang itu. Ada Pak Masriansyah, Pak Miftah, Pak Nasrul, Ariadi, Andi Irawan. Kami di sana ngobrol panjang lebar, bahkan sampai keluar dari topik kehadiran aku di sana. Aku banyak diceritakan tentang kondisi internal harian Aceh, dan sistem kerja di Harian Aceh.
Selesai di situ, aku diajak naik ke atas untuk melihat ruang redaksi, dan meja kerja untuk ku. Oya, aku diterima sebagai redaktur di harian ini. Tapi, aku belum tahu bagian apa yang harus aku tangani. Aku hanya bilang, bahwa aku lebih tertarik pada isu-isu politik dan luar negeri. Namun, mereka tetap meminta aku untuk melihat dulu kondisinya, dan memilih mana yang cocok sebagai tugas untukku.
Selesai dari sana, aku tak langsung pulang. Pak Lukman mengajak minum kopi di cafe sebelah. Kami banyak berbicara tentang masalah Harian Aceh, dan kondisi di dalam. Intinya kami ngobrol bagaimana memajukan Harian Aceh.
Aku sendiri pada awalnya amat berat masuk ke Harian Aceh, karena ada planning menerbitkan Tabloid pengganti Tabloid SUWA yang tersangkut masalah internal. Aku sendiri sudah berjanji pada diriku tidak akan menerbitkan lagi Tabloid dengan nama SUWA. Perlakuan yang aku terima sangat menyakitkan. Hal yang paling kuingat, dan mungkin tak akan kulupakan adalah beredarnya sms di lapangan yang meminta Tabloid SUWA edisi 13 dibakar tanpa bekas. SMS ini sampai sekarang masih aku simpan. Jerih payahku selama ini ternyata tak pernah dihargai.
Karena media yang aku rencanakan belum terbit, aku putuskan untuk bergabung dengan Harian Aceh dengan harapan aku tak berhenti menulis. Soalnya, jika tak bergabung dengan media, semangatku menulis pasti akan berkurang, dan aku tak akan terbiasa lagi menulis. Jadi, aku bergabung ke sini, sebagai pemompa semangat, sampai media yang aku rencanakan benar-benar bisa terbit lagi.
Hari itu aku berlalu begitu saja, dan tak terasa aku menjadi bagian dari harian Aceh. Aku pulang ke rumah tanpa perasaan apa-apa. Tak ada kebanggaan, tak terlihat aku senang, dan tak terlihat aku senang menerima pekerjaan baru ku ini. Aku hanya memikirkan, bahwa hari-hariku akan banyak kuhabiskan dengan tugas di kantor, mengedit berita dan kerja redaksi lainnya. Otomatis waktuku untuk bersenang-senang dan santai sama sekali tak ada lagi. Aku akan terikat dengan kerja. Aku yakin akan sangat menyiksa dan membebani hidupku yang seharusnys selalu enjoy.
Tapi, selepas hari itu, aku tak pernah muncul ke kantor Harian Aceh lagi. Bagiku, aku bekerja di Harian Aceh antara ada dan tiada. Setidaknya, sampai hari Minggu setelah pertemuan hari Rabu itu, aku tak pernah ke Kantor Harian Aceh. Bukan berarti aku tak mau menerima pekerjaan baruku sebagai redaktur, melainkan memang aku harus menikmati beberapa hari lagi kebebasanku. Karena ke depan aku sudah yakin, bahwa aku tak bisa menikmati kebebasanku. Aku tak lagi menjadi manusia bebas.
Walaupun seorang kawanku pernah bilang, bahwa kita sebenarnya adalah makhluk bebas. Iya, aku percaya sama dia, bahwa kita adalah makhluk pemuja kebebasan. Kita tak hanya ingin bebas dari semua belenggu, melainkan juga bebas menyiksa diri kita. Kita bebas mengkhianati diri kita. Sebab, kita adalah makhluk bebas. Tapi, menerima pekerjaan sebagai redaktur Harian Aceh, secara otomatis akan membuatku tak lagi bebas. Setidaknya tak lagi bebas menentukan sesuatu sesuai kehendakku, karena aku sudah punya tanggung jawab. Makanya, meskipun kita bebas, ya bebas secara bertanggung jawab.
Nah, akhirnya, hari Senin, 18 Februari 2008, aku masuk kerja untuk pertama kalinya. Jam 2 tepat aku sudah muncul di kantor Harian Aceh. Kantor masih sepi, hanya beberapa karyawan terlihat di sana. Di ruang redaksi, baru ada satu orang, itu pun sedang menonton film perang. Aku duduk di mejaku. Tak tahu apa yang harus aku kerjakan.
Waktu terus berlalu, dan malamnya, aku diberi tugas mengelola halaman 12 Harian Aceh, yaitu rubrik SIASAH. Tugas pertama aku lalui dengan mulus, tak ada kendala apapun. Karena tugasku hanya mengedit sedikit saja berita dari kantor berita yang menjadi langganan Harian Aceh. Tugas itu bagiku sama sekali tak berat, karena background aku adalah penulis.
Besoknya, pekerjaanku hanyalah seperti itu, tak ada tantangan. Namun, pada tanggal 22 Februari, aku diminta oleh Redaktur Pelaksana untuk menulis rubrik Cang Panah. Bagiku inilah tantangan. Karena jika dulu di Tabloid SUWA aku bisa menulis apa saja, dan mengkritik siapa saja, maka di di sini aku harus berhati-hati. Karena aku sama sekali tak memiliki saham di sini. Di harian Aceh aku hanyalah buruh. Jadi, untuk menulis aku harus hati-hati, karena ya ini bukan media aku. Ini media orang, aku tak bisa mengeritik sembarangan. Gawat! Maka lahirlah Politek Hana Titek. Besoknya, aku juga di minta menulis lagi di rubrik Cang Panah, maka lahirlah Po Nanggroe.
aku tak tahu, apakah tulisan ini bersambung atau tidak. Jika ada waktu akan aku sambung lagi...
Tags:
biografi