“Jangan pernah percaya teman yang kamu temui dalam politik.”
Kalimat di atas murni bukan produk saya. Kalimat ini milik seorang kawan, mantan pejuang GAM. Saya mengenalnya sudah lama. Nada bicaranya masih tegas, dan jelas. Dia seperti mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang lebih retorik seperti itu. Maklum, awal-awal 1999 dia pernah menjadi Biro Penerangan GAM. Dia sudah akrab dengan kalimat-kalimat yang mampu menghipnotis pendengar.
Sekilas, kalimat itu terlihat biasa-biasa saja. Tapi ada pesan penting di dalamnya. Dia mengingatkan saya, dan tentu kita semua, bahwa tak selamanya teman yang kita temui dalam politik itu akan menjadi teman sejati kita. Mereka hanya berkawan dengan kita, ketika dia butuh kita. Dia tentu saja punya alasan kuat mengucapkan itu. Baginya, pasca-damai, kita sudah tak mampu lagi mengenali kawan yang benar-benar senasib dengan kita. Kita lupa pada mereka semua.
Kalau dilihat, kalimat di atas nadanya hampir sama seperti yang pernah diucapkan Niccolo Machievalli, “Tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan sejati.” Jelasnya, teman dalam politik tak pernah permanent. Begitu juga kawan. Begitu kira-kira maksudnya.
Irwandi Yusuf, dalam suatu kesempatan di Gedung AAC Unsyiah pernah bilang sejak setelah hasil quick count memastikan dirinya menang dalam Pilkada. “Yang menjadi kawan saya nantinya adalah orang-orang yang rela susah dan sakit bersama saya, mereka adalah kawan-kawan saya.” Kita yakin Irwandi belum lupa dengan ucapannya itu.
Politik, memang susah dipahami. Coba simak saja berita beberap waktu lalu, di mana disuguhkan berita bahwa GAM retak. Bagi kita, berita itu tentu saja terdengar miris. Gerakan yang susah payah dibangun puluhan tahun ternyata tak tahan dengan proses politik yang terus berubah ini.
Keretakan itu, terlihat dari penolakan eks Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menghadiri undangan Aceh Peace Resource Center (APRC), sebuah pertemuan bersama perwakian RI-GAM yang membahas pelaksaan MoU Helsinki dan isu-isu yang berkenaan dengan keamanan di sekretariat Forbes Damai Banda Aceh.
“Kami kira pertemuan ini tidak akan bermanfaat dan hanya untuk menghabiskan dana BRA. Jadi kami tidak akan pernah menghadiri dan mengirim perwakilan,” demikian pernyataan Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin Kbs seperti dimuat di harian ini beberapa waktu lalu.
Pihak media ramai menafsirkan kalau sudah terjadi keretakan di tubuh GAM. Soalnya, ada Tgk Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza yang menghadiri undangan itu, sementara Irwandi Yusuf dan Nurdin Ar berhalangan. Kesimpulan itu yang dipegang oleh media.
Padahal, seharusnya mereka ingat. Ada sesuatu hal yang membuat mereka selama ini begitu kuat dan kokoh: ideologi. Zaman memang berubah, kondisi politik berubah, tapi ideologi mereka belum berubah. Itu yang harus mereka pegang. Sebab, dengan ideology mereka akan mengenal secara jelas siapa kawan dan siapa musuh. Dengan ideology mereka tak jadi lupa pada janji dan cita-cita.
Saya ingat, seorang kawan tadi siang di Solong bercerita, bagaimana dia menyakinkan kawan-kawannya di lapangan. Dia tak bisa memahami kondisi politik sekarang. “Jika saya salaman dengan orang Partai Rakyat Aceh (PRA), saya dianggap pengkhianat. Jika saya salaman dengan orang SIRA, saya dianggap pengkhianat. Tapi, kenapa ketika saya salaman dengan orang-orang Polsek, tak pernah dianggap pengkhianat?” ujarnya heran
Ada pesan dari orang-orang bagi yang terjun dalam dunia politik. Bahwa tak semua keinginan itu bisa digapai dengan politik, apalagi jika sampai mengorbankan ideology atau kawan-kawan yang masih setia pada ideologi itu. “Munyoe panyang talop, meunyo paneuk talingkue,” begitu pesan orang-orang tua kita. Peutuah itu entah cocok untuk kondisi sekarang atau tidak. Kita tak tahu.
Ada lagi berita yang membuat kita tersentak. Saudara kita di bagian Tengah dan Barat Selatan minta cerai dari Aceh. Menurut mereka, pemerintah Aceh dari dulu tak pernah serius memikirkan nasib mereka. Mereka selalu dianak-tirikan. Tak ada pembangunan. Jalan-jalan berlubang. Dan berbagai alasan-alasan lainnya.
Parahnya, sempat muncul pernyataan yang meminta agar Irwandi tak hanya menjadi Gubernur untuk orang Bireuen saja. Gubernur diminta menjadi Gubernur seluruh rakyat Aceh. Suara-suara demikian sekarang ini sudah bukan asing lagi bagi masyarakat di bagian Tengah dan Barat Selatan.
Akhirnya, saya ingin mengutip satu kalimat yang kiranya bisa menyadarkan kita, bahwa ada satu keinginan bagi kita mewujudkan cita-cita Aceh seperti cita-cita semua orang Aceh. “Nyang Meusipreuk ta peusapat, lagee kheun pakat takerija.” Demikian harapan Muhammad Nazar, Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dalam pidato pelantikan DPP Koniry, beberapa hari yg lalu. Hom hai!
dimuat di harian aceh, 21 februari 08 (hal 1)
Kalimat di atas murni bukan produk saya. Kalimat ini milik seorang kawan, mantan pejuang GAM. Saya mengenalnya sudah lama. Nada bicaranya masih tegas, dan jelas. Dia seperti mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang lebih retorik seperti itu. Maklum, awal-awal 1999 dia pernah menjadi Biro Penerangan GAM. Dia sudah akrab dengan kalimat-kalimat yang mampu menghipnotis pendengar.
Sekilas, kalimat itu terlihat biasa-biasa saja. Tapi ada pesan penting di dalamnya. Dia mengingatkan saya, dan tentu kita semua, bahwa tak selamanya teman yang kita temui dalam politik itu akan menjadi teman sejati kita. Mereka hanya berkawan dengan kita, ketika dia butuh kita. Dia tentu saja punya alasan kuat mengucapkan itu. Baginya, pasca-damai, kita sudah tak mampu lagi mengenali kawan yang benar-benar senasib dengan kita. Kita lupa pada mereka semua.
Kalau dilihat, kalimat di atas nadanya hampir sama seperti yang pernah diucapkan Niccolo Machievalli, “Tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan sejati.” Jelasnya, teman dalam politik tak pernah permanent. Begitu juga kawan. Begitu kira-kira maksudnya.
Irwandi Yusuf, dalam suatu kesempatan di Gedung AAC Unsyiah pernah bilang sejak setelah hasil quick count memastikan dirinya menang dalam Pilkada. “Yang menjadi kawan saya nantinya adalah orang-orang yang rela susah dan sakit bersama saya, mereka adalah kawan-kawan saya.” Kita yakin Irwandi belum lupa dengan ucapannya itu.
Politik, memang susah dipahami. Coba simak saja berita beberap waktu lalu, di mana disuguhkan berita bahwa GAM retak. Bagi kita, berita itu tentu saja terdengar miris. Gerakan yang susah payah dibangun puluhan tahun ternyata tak tahan dengan proses politik yang terus berubah ini.
Keretakan itu, terlihat dari penolakan eks Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menghadiri undangan Aceh Peace Resource Center (APRC), sebuah pertemuan bersama perwakian RI-GAM yang membahas pelaksaan MoU Helsinki dan isu-isu yang berkenaan dengan keamanan di sekretariat Forbes Damai Banda Aceh.
“Kami kira pertemuan ini tidak akan bermanfaat dan hanya untuk menghabiskan dana BRA. Jadi kami tidak akan pernah menghadiri dan mengirim perwakilan,” demikian pernyataan Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin Kbs seperti dimuat di harian ini beberapa waktu lalu.
Pihak media ramai menafsirkan kalau sudah terjadi keretakan di tubuh GAM. Soalnya, ada Tgk Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza yang menghadiri undangan itu, sementara Irwandi Yusuf dan Nurdin Ar berhalangan. Kesimpulan itu yang dipegang oleh media.
Padahal, seharusnya mereka ingat. Ada sesuatu hal yang membuat mereka selama ini begitu kuat dan kokoh: ideologi. Zaman memang berubah, kondisi politik berubah, tapi ideologi mereka belum berubah. Itu yang harus mereka pegang. Sebab, dengan ideology mereka akan mengenal secara jelas siapa kawan dan siapa musuh. Dengan ideology mereka tak jadi lupa pada janji dan cita-cita.
Saya ingat, seorang kawan tadi siang di Solong bercerita, bagaimana dia menyakinkan kawan-kawannya di lapangan. Dia tak bisa memahami kondisi politik sekarang. “Jika saya salaman dengan orang Partai Rakyat Aceh (PRA), saya dianggap pengkhianat. Jika saya salaman dengan orang SIRA, saya dianggap pengkhianat. Tapi, kenapa ketika saya salaman dengan orang-orang Polsek, tak pernah dianggap pengkhianat?” ujarnya heran
Ada pesan dari orang-orang bagi yang terjun dalam dunia politik. Bahwa tak semua keinginan itu bisa digapai dengan politik, apalagi jika sampai mengorbankan ideology atau kawan-kawan yang masih setia pada ideologi itu. “Munyoe panyang talop, meunyo paneuk talingkue,” begitu pesan orang-orang tua kita. Peutuah itu entah cocok untuk kondisi sekarang atau tidak. Kita tak tahu.
Ada lagi berita yang membuat kita tersentak. Saudara kita di bagian Tengah dan Barat Selatan minta cerai dari Aceh. Menurut mereka, pemerintah Aceh dari dulu tak pernah serius memikirkan nasib mereka. Mereka selalu dianak-tirikan. Tak ada pembangunan. Jalan-jalan berlubang. Dan berbagai alasan-alasan lainnya.
Parahnya, sempat muncul pernyataan yang meminta agar Irwandi tak hanya menjadi Gubernur untuk orang Bireuen saja. Gubernur diminta menjadi Gubernur seluruh rakyat Aceh. Suara-suara demikian sekarang ini sudah bukan asing lagi bagi masyarakat di bagian Tengah dan Barat Selatan.
Akhirnya, saya ingin mengutip satu kalimat yang kiranya bisa menyadarkan kita, bahwa ada satu keinginan bagi kita mewujudkan cita-cita Aceh seperti cita-cita semua orang Aceh. “Nyang Meusipreuk ta peusapat, lagee kheun pakat takerija.” Demikian harapan Muhammad Nazar, Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dalam pidato pelantikan DPP Koniry, beberapa hari yg lalu. Hom hai!
dimuat di harian aceh, 21 februari 08 (hal 1)
Tags:
cang panah