Kinerja polisi tengah diuji terkait dengan kasus Atu Lintang. Publik Aceh, dan juga pihak yang peduli perdamaian berharap banyak kepada polisi untuk mengungkap kasus tersebut, dan juga menangkap pelaku. Jika kasus tersebut tak terungkap, masyarakat akan bertanya-tanya, ada apa di balik semua itu? Pasti ada grand scenario merusak perdamaian Aceh.
Masyarakat tidak hanya berharap pelaku ditangkap, diproses dan dihukum, melainkan juga mengungkap kasus tersebut sampai tuntas, dengan menyeret actor intelektual di balik memanasnya kondisi Aceh. Karena jika dilihat dari modus operandi, kasus ini tidak berdiri sendiri, melainkan ada scenario jahat di belakangnya, yang bisa saja terkait dengan isu ALA, atau kepentingan elit-elit politik yang ingin menggagalkan perdamaian Aceh.
Kesimpulan itu bukan mengada-ngada, karena sejarah Aceh Tengah selalu menjadi pemicu gagalnya perjanjian damai. Kegagalan CoHA dulu yang berakhir dengan darurat militer dimulai dari Aceh Tengah ditandai dengan pembakaran kantor Joint Security Committee (JSC). Kemudian, para pemimpin di sana juga sangat potensial menjadi pemicu konflik, karena latar belakang mereka yang dekat dengan kelompok yang mengobarkan konflik di sana.
Sampai kemarin, seperti dilaporkan harian ini, polisi sudah menangkap 23 tersangka insiden Atu Lintang. Itu tentu saja suatu keberhasilan, karena penangkapan itu setelah polisi melakukan pengejaran terhadap pelaku bahkan sampai ke bukit-bukit. Pihak GAM juga memuji keberhasilan polisi.
“KPA memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kerja keras dan sungguh-sungguh dari polisi dalam mengungkap kasus ini,” ujar Juru Bicara KPA, Ibrahim bin Syamsuddin yang sering disapa KBS di Banda Aceh, Kamis (06/3).
Keseriusan polisi mengungkap kasus yang menewaskan lima anggota KPA dalam insiden pembakarang kantor mantan GAM tersebut, Sabtu (1/3) patut diberikan apresiasi. Bentuk keseriusan itu ditunjukkan dengan menurunkan tim khusus yang dibantu oleh Pusat Laboratorium Forensik (Labsor) Mabes Polri yang didatangkan dari Sumatera Utara.
“Kita serius mengungkap kasus pembunuhan itu dengan tidak memandang bulu para pelakunya. Tim bantuan khusus dari Labfor dan Polda NAD it uterus bekerja ekstra untuk melakukan penyelidikan dan menangkap para pelakunya,” ujar Kabid Humas Polda NAD, Kombes (Pol) Jodi Heryadi, di Banda Aceh, Kamis (6/3) seperti dikutip antara.
Tak hanya itu, Kapolres Aceh Tengah KBP AB Kawedar, kepada Harian Aceh, di ruang kerjanya, Kamis (6/3) menjelaskan bahwa pihaknya sudah menetapkan lima orang tersangka dalam insiden itu. Mereka adalah M. Sarjono (29), Ahmad Zainuddin (32), Giman (32), Musikan (42), Sumardi (70), kelimanya warga seputar TKP. “Mereka sudah mengakui perbuatannya. Dan masih akan ada lagi tersangka lainnya,” katanya.
Kapolda Aceh, Irjen Rismawan bahkan sampai meminta kepada semua pihak agar menjaga perdamaian Aceh sampai kiamat. “Serahkan masalah ini kepada aparat kepolisian. Kita akan telusuri insiden pembakaran dan pembunuhan yang merenggut nyawa lima orang anggota KPA tersebut,” ujarnya.
Sekarang, masyarakat akan menilai apakah polisi sungguh-sungguh dengan pernyataannya. Karena, beberapa waktu lalu, muncul pernyataan bahwa aksi pembakaran kantor KPA tersebut murni criminal. Kesimpulan tersebut tentu saja keliru, karena tanpa penyelidikan awal, sudah muncul kesimpulan seperti itu. Bukti-bukti yang ada sama sekali tak menunjukkan bahwa kasus yang terjadi di Atu Lintang criminal.
Kesimpulan demikian dapat terbaca dari pernyataan Teuku Kemal Fasya, Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) yang juga pengamat social politik bahwa gejolak yang terjadi di Aceh Tengah sebagai upaya konspiratif pihak tertentu menjadikan situasi tidak terkontrol.
“Ini harus dilihat bahwa ada scenario besar, di mana nantinya kelompok-kelompok spoiler democracy atau kelompok perusak proses demokrasi akan mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara dan alibi baru,” ujarnya seperti dikutip Harian Aceh, Senin (3/3).
Kemal juga mewanti-wanti agar insiden Atu Lintang ini tidak dianggap sebagai kasus criminal. Kalau murni criminal kata dia, seolah-olah penyelesaiannya cukup di jalur pengadilan. Ada criminal, kemudian ada korban.
Menurut Kemal apa yang terjadi di Atu Lintang sama sekali bukan ekspresi antropologis ataupun kebencian Masyarakat Aceh terhadap Aceh pesisir, GAM atau KPA. Kemal malah yakin, apa yang terjadi di Atu Lintang digerakkan oleh kekuatan elit militer dan modal tertentu untuk mengambil keuntungan ekonomis, politik dari isu yang saat ini sedang dilema yaitu ALA.
Nah, jika itu yang terjadi, apakah pihak kepolisian berani mengungkap kasus Atu Lintang? Di sinilah kejujuran dan keberanian polisi diuji. Soalnya, penggerak kasus Atu Lintang bukan orang biasa yang tidak punya kekuatan dan modal. Melainkan elit politik yang punya kekuasaan.
Dan polisi harus berani menyelidiki keterlibatan mereka. Apapun yang terjadi, hukum harus tetap ditegakkan. Jangan sampai kasus-kasus itu hilang dan coba dihilangkan dengan alasan tersangka sudah ditetapkan dan ditangkap. Masyarakat tetap berharap pengungkapan itu tidak berhenti di tengah-tengah jalan seperti kasus-kasus lain yang selalu berakhir dengan ketidakpastian.
Tak hanya itu, polisi juga harus mampu bertindak tegas membubarkan kelompok milisi yang ada di Aceh Tengah. Jangan sampai karena berhadapan dengan institusi yang lebih besar dan kuat, polisi menjadi takut. Apalagi jika membiarkan saja kasus ini berlalu begitu saja.
Polisi diharapkan tak hanya menangkap pelaku dan menetapkannya sebagai tersangka, karena bisa jadi mereka hanyalah para eksekutor di lapangan, sementara actor intelektual tak pernah terungkap.
Karena, jika hanya menangkap pelaku atau eksekutor di lapangan, tanpa mengungkap grand scenario yang bermain di dalamnya, sama saja membiarkan kasus ini menjadi bola api atau bom waktu, di mana kapan saja bisa meledak.
Kita tetap melihat, keberadaan milisi di Aceh Tengah sebagai ancaman, yang bisa saja mengancam perdamaian. Pihak militer dan pemerintah daerah di sana harus jujur dan mengakui bahwa milisi benar-benar masih ada di sana. Soalnya, sampai sekarang keberadaan milisi di sana tidak pernah diakui keberadaannya, padahal organisasi itu jelas dan nyata ada seperti Pembela Tanah Air (PETA) dan Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Organisasi-organisasi ini harus dibubarkan. Jika tidak, kasus seperti Atu Lintang akan terus terjadi, tak hanya di Aceh Tengah melainkan di Bener Meriah juga. Artinya, sedang ada scenario jahat menulis ulang sejarah konflik Aceh dan itu dimulai dari dataran tinggi Gayo yang sejuk. [fik]
Masyarakat tidak hanya berharap pelaku ditangkap, diproses dan dihukum, melainkan juga mengungkap kasus tersebut sampai tuntas, dengan menyeret actor intelektual di balik memanasnya kondisi Aceh. Karena jika dilihat dari modus operandi, kasus ini tidak berdiri sendiri, melainkan ada scenario jahat di belakangnya, yang bisa saja terkait dengan isu ALA, atau kepentingan elit-elit politik yang ingin menggagalkan perdamaian Aceh.
Kesimpulan itu bukan mengada-ngada, karena sejarah Aceh Tengah selalu menjadi pemicu gagalnya perjanjian damai. Kegagalan CoHA dulu yang berakhir dengan darurat militer dimulai dari Aceh Tengah ditandai dengan pembakaran kantor Joint Security Committee (JSC). Kemudian, para pemimpin di sana juga sangat potensial menjadi pemicu konflik, karena latar belakang mereka yang dekat dengan kelompok yang mengobarkan konflik di sana.
Sampai kemarin, seperti dilaporkan harian ini, polisi sudah menangkap 23 tersangka insiden Atu Lintang. Itu tentu saja suatu keberhasilan, karena penangkapan itu setelah polisi melakukan pengejaran terhadap pelaku bahkan sampai ke bukit-bukit. Pihak GAM juga memuji keberhasilan polisi.
“KPA memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kerja keras dan sungguh-sungguh dari polisi dalam mengungkap kasus ini,” ujar Juru Bicara KPA, Ibrahim bin Syamsuddin yang sering disapa KBS di Banda Aceh, Kamis (06/3).
Keseriusan polisi mengungkap kasus yang menewaskan lima anggota KPA dalam insiden pembakarang kantor mantan GAM tersebut, Sabtu (1/3) patut diberikan apresiasi. Bentuk keseriusan itu ditunjukkan dengan menurunkan tim khusus yang dibantu oleh Pusat Laboratorium Forensik (Labsor) Mabes Polri yang didatangkan dari Sumatera Utara.
“Kita serius mengungkap kasus pembunuhan itu dengan tidak memandang bulu para pelakunya. Tim bantuan khusus dari Labfor dan Polda NAD it uterus bekerja ekstra untuk melakukan penyelidikan dan menangkap para pelakunya,” ujar Kabid Humas Polda NAD, Kombes (Pol) Jodi Heryadi, di Banda Aceh, Kamis (6/3) seperti dikutip antara.
Tak hanya itu, Kapolres Aceh Tengah KBP AB Kawedar, kepada Harian Aceh, di ruang kerjanya, Kamis (6/3) menjelaskan bahwa pihaknya sudah menetapkan lima orang tersangka dalam insiden itu. Mereka adalah M. Sarjono (29), Ahmad Zainuddin (32), Giman (32), Musikan (42), Sumardi (70), kelimanya warga seputar TKP. “Mereka sudah mengakui perbuatannya. Dan masih akan ada lagi tersangka lainnya,” katanya.
Kapolda Aceh, Irjen Rismawan bahkan sampai meminta kepada semua pihak agar menjaga perdamaian Aceh sampai kiamat. “Serahkan masalah ini kepada aparat kepolisian. Kita akan telusuri insiden pembakaran dan pembunuhan yang merenggut nyawa lima orang anggota KPA tersebut,” ujarnya.
Sekarang, masyarakat akan menilai apakah polisi sungguh-sungguh dengan pernyataannya. Karena, beberapa waktu lalu, muncul pernyataan bahwa aksi pembakaran kantor KPA tersebut murni criminal. Kesimpulan tersebut tentu saja keliru, karena tanpa penyelidikan awal, sudah muncul kesimpulan seperti itu. Bukti-bukti yang ada sama sekali tak menunjukkan bahwa kasus yang terjadi di Atu Lintang criminal.
Kesimpulan demikian dapat terbaca dari pernyataan Teuku Kemal Fasya, Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA) yang juga pengamat social politik bahwa gejolak yang terjadi di Aceh Tengah sebagai upaya konspiratif pihak tertentu menjadikan situasi tidak terkontrol.
“Ini harus dilihat bahwa ada scenario besar, di mana nantinya kelompok-kelompok spoiler democracy atau kelompok perusak proses demokrasi akan mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara dan alibi baru,” ujarnya seperti dikutip Harian Aceh, Senin (3/3).
Kemal juga mewanti-wanti agar insiden Atu Lintang ini tidak dianggap sebagai kasus criminal. Kalau murni criminal kata dia, seolah-olah penyelesaiannya cukup di jalur pengadilan. Ada criminal, kemudian ada korban.
Menurut Kemal apa yang terjadi di Atu Lintang sama sekali bukan ekspresi antropologis ataupun kebencian Masyarakat Aceh terhadap Aceh pesisir, GAM atau KPA. Kemal malah yakin, apa yang terjadi di Atu Lintang digerakkan oleh kekuatan elit militer dan modal tertentu untuk mengambil keuntungan ekonomis, politik dari isu yang saat ini sedang dilema yaitu ALA.
Nah, jika itu yang terjadi, apakah pihak kepolisian berani mengungkap kasus Atu Lintang? Di sinilah kejujuran dan keberanian polisi diuji. Soalnya, penggerak kasus Atu Lintang bukan orang biasa yang tidak punya kekuatan dan modal. Melainkan elit politik yang punya kekuasaan.
Dan polisi harus berani menyelidiki keterlibatan mereka. Apapun yang terjadi, hukum harus tetap ditegakkan. Jangan sampai kasus-kasus itu hilang dan coba dihilangkan dengan alasan tersangka sudah ditetapkan dan ditangkap. Masyarakat tetap berharap pengungkapan itu tidak berhenti di tengah-tengah jalan seperti kasus-kasus lain yang selalu berakhir dengan ketidakpastian.
Tak hanya itu, polisi juga harus mampu bertindak tegas membubarkan kelompok milisi yang ada di Aceh Tengah. Jangan sampai karena berhadapan dengan institusi yang lebih besar dan kuat, polisi menjadi takut. Apalagi jika membiarkan saja kasus ini berlalu begitu saja.
Polisi diharapkan tak hanya menangkap pelaku dan menetapkannya sebagai tersangka, karena bisa jadi mereka hanyalah para eksekutor di lapangan, sementara actor intelektual tak pernah terungkap.
Karena, jika hanya menangkap pelaku atau eksekutor di lapangan, tanpa mengungkap grand scenario yang bermain di dalamnya, sama saja membiarkan kasus ini menjadi bola api atau bom waktu, di mana kapan saja bisa meledak.
Kita tetap melihat, keberadaan milisi di Aceh Tengah sebagai ancaman, yang bisa saja mengancam perdamaian. Pihak militer dan pemerintah daerah di sana harus jujur dan mengakui bahwa milisi benar-benar masih ada di sana. Soalnya, sampai sekarang keberadaan milisi di sana tidak pernah diakui keberadaannya, padahal organisasi itu jelas dan nyata ada seperti Pembela Tanah Air (PETA) dan Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Organisasi-organisasi ini harus dibubarkan. Jika tidak, kasus seperti Atu Lintang akan terus terjadi, tak hanya di Aceh Tengah melainkan di Bener Meriah juga. Artinya, sedang ada scenario jahat menulis ulang sejarah konflik Aceh dan itu dimulai dari dataran tinggi Gayo yang sejuk. [fik]
Tags:
fokus