Skandal

Hari ini, saya membaca sebuah berita menarik. Berita itu datangnya dari seorang Gubernur New York, Eliot Spitzer yang berasal dari Partai Demokrat. Sang Gubernur menurut berita itu, memilih mengundurkan diri setelah skandal seks-nya terbongkar dan ditulis oleh berbagai media, terutama The New York Times. Saat jumpa pers, secara jantan, sang Gubernur mengakui bahwa dirinya memilih mundur karena tidak ingin masalah pribadinya mengganggu pekerjaan publik.

Menurut berita tadi, sang Gubernur terlibat dalam skandal seks jaringan prostitusi tingkat tinggi yang menyediakan perempuan pekerja seks dengan tarif US$ 1000 (atau sekitar Rp9,5 juta) hingga US$ 5500 (sekitar Rp51 juta) per jam.

Begitu membaca berita itu, pikiran saya langsung terbayang ke Aceh. “Ada nggak skandal seperti ini di Aceh?” gumam saya dalam hati. Karena penasaran, Saya tanya sama kawan satu profesi dengan Saya. “Kayaknya ada sih, tapi tidak terekpose?” jawabnya. Saya hanya mangut-mangut saja.

Saya jadi ingat kasus Salon plus yang ada di Banda Aceh yang pernah digerebek WH. Dengar-dengar, salon itu milik isteri kedua seorang pejabat di Pemko Banda Aceh. Saat digerebek, beberapa pekerja seks ditangkap. Sekarang salon plus itu sudah tutup. Belum lama juga, pihak WH dibantu aparat pernah menggerebek sebuah Café di seputaran Peunayong, persis di depan Kodam Iskandar Muda. Dari dengar-dengar sama kawan saya, yang kebetulan Komandan WH Banda Aceh, café tersebut juga punya seorang petinggi militer atau dilindungi olehnya. Entahlah, benar atau tidak, yang pasti café itu sekarang sudah tutup.

Saya terus terang jadi bertanya-tanya, jangan-jangan masih ada salon plus atau Café yang dibeckingi sama pejabat atau orang-orang penting di Aceh. Bukankah bisnis lendir (maaf agak kasar dikit) prospek yang pantas dilirik sekarang. Kalau berharap gaji dan tunjangan berapa lah. Kalau bisnis lendir ini, tentu saja hasilnya lumayan. Bukankah di Aceh lagi musimnya NGO baik lokal maupun asing. Para pekerja NGO kalau digarap dengan bagus kan bisa jadi pelanggan potensial untuk mengeruk keuntungan dari bisnis lendir ini?

Entah kenapa, saat menulis ini, saya jadi ingat sama seorang kawan, kebetulan jenis kelaminnya cewek. Saat itu, kami lagi duduk di sebuah cafe sepulang dari nonton bola volley. Tak lama HP-nya berbunyi. Dia agak ragu membacanya, karena pesan itu bukan dikirim oleh teman atau pacarnya. Tapi dari seorang pejabat yang jadi atasannya. Karena penasaran, saya minta lihat. “hai, apa kabar? lagi ngapain?" demikian bunyi pesan pendek itu. Trus, aku tanya, emang dia itu siapa? Katanya, yang ngirim itu seorang pejabat, tapi bukan sembarang pejabat, karena dia punya posisi penting di pemerintahan.

Naluri keingintahuan saya seketika muncul. Saya tanya, apa dia sering mengirim SMS? “Sering,” jawab si cewek ini spontan. Tapi menurutnya, tak pernah dijawab. Begitu selesai dibaca langsung dihapus. Atau begitu tahu SMS itu dari si Pejabat, langsung dihapus, karena si cewek ini tahu, pejabat yang ngirim itu punya anak dan isteri. Umurnya juga sudah tidak muda lagi.

Tanpa perlu dipancing dengan pertanyaan, si cewek ini langsung cerita panjang lebar. Katanya, si pejabat itu tak hanya kirim SMS, tapi sering juga nelpon. Bahkan kalau lagi nelpon, ceritanya, sering lama-lama. Pernah dia matiin HP, karena sudah tak sanggup lagi ngomong. Karena isinya tak ada hubungannya dengan pekarjaan dia di kantor.

Tak cuma itu, katanya, si pejabat itu sering mengajaknya ke Medan, ke Jakarta atau sekedar bertemu. Tapi si cewek ini tak pernah mau. Bahkan pernah suatu hari Bapak itu ada rapat mendadak di Jakarta, tapi sebelum berangkat rapat, minta ketemu dulu dengannya. “Bapak kan ada rapat di Jakarta,” tanya si cewek ini. “Saya bisa batalin rapat itu, yang penting saya bisa ketemu dulu dengan kamu,” jawab si Pejabat ini.
Si cewek ini tentu saja menolak. Rapat itu untuk kepentingan orang ramai, sementara ketemu dia, hanya kepentingan pribadi. Menurutnya, itu sama sekali tak lazim. Dia tetap menolak. Tapi si Pejabat ini tak mau menyerah sampai di situ. Sesampai di Jakarta dia masih mencoba menelponnya, dan meminta dia untuk menyusulnya ke Jakarta. Soal biaya semua ditanggung sama pejabat ini.

"Kenapa kamu tidak mau berangkat?" tanya saya, padahal semua biaya ditanggung oleh bapak itu. “Ga mau, apa kata dunia, dia kan sudah tua, sementara saya masih punya masa depan,” jawabnya.

Entalah. Pejabat itu bisa siapa saja, dan pasti banyak di Aceh. Makanya, sesekali Pak Irwandi tidak hanya merazia anak buahnya di warung-warung kopi pas jam dinas, melainkan juga merazia bawahannya yang sedang dinas di luar daerah, di Medan atau di Jakarta. Kalau tertangkap, langsung saja dipecat. Atau, kalau memang si Pejabat tahu diri, dia pasti mundur dengan sendirinya, seperti yang dilakukan oleh Gubernur New York seperti dikutip di atas.

Post a Comment

Previous Post Next Post