Partai Lokal: Tak Perlu Tambah Ongkos

Pertama-tama, saya ingin kutip pernyataan Ibrahim KBS, Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) di Harian Aceh, Senin (21/4) yang terdengar cukup santun dan menyejukkan: Semua partai lokal yang kini hadir di Aceh pascaperdamaian adalah legal. Bila ada pihak-pihak yang menentang kehadiran pertai lokal di setiap wilayah Aceh maka tindakan itu merupakan pelanggaran hukum.

Pernyataan itu disampaikan KBS menanggapi penolakan kehadiran Partai GAM di Wilayah Singkil beberapa hari yang lalu. Lalu, apa yang menarik dari pernyataan KBS? Pertama, tentang legalitas partai lokal. Semua kita tentu sudah maklum, bahwa partai lokal merupakan buah politik dari MoU Helsinki, yang kemudian dituangkan dalam UU PA dan UU No.20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal. Merujuk ke aturan-aturan di atas, maka kehadiran partai lokal adalah legal, seperti disampaikan KBS.

Kedua, tindakan menentang kehadiran partai lokal adalah pelanggaran hukum, tentunya hukum-hukum yang disebutkan di atas. Pelanggaran hukum, sering diikuti dengan konsekuensi atau sanksi hukum. Pertanyaan sekarang, sanksi hukum seperti apa yang harus diberikan kepada pihak-pihak yang menentang kehadiran partai lokal?

Partai Lokal dan Demokrasi
Kehadiran partai lokal di Aceh tak terlepas dari lahirnya proses perdamaian dalam bentuk MoU Helsinki. Di mana dalam MoU meniscayakan adanya ruang demokrasi bagi masyarakat Aceh, khususnya kesempatan untuk mendirikan partai politik lokal. Dapat disebut, pembentukan partai lokal di Aceh merupakan amanah MoU yang bisa dijalankan oleh siapa saja yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Tak heran, bila sekarang, banyak masyarakat Aceh melaksanakan amanah tersebut. Akibatnya, banyak partai lokal bermunculan di Aceh. Dari yang benar-benar serius sampai yang sekedar cari sensasi ingin terkenal secara mendadak. Ada yang terang-terangan memasang target menguasai parlemen, ada pula yang sekadar ingin mengubah sistem politik dan memberikan penyadaran bagi masyarakat tentang hak-hak yang harus diperjuangkan.

Setidaknya, ada 13 partai lokal yang kini hadir di Aceh. Masing-masing partai tersebut memiliki basis konstituen masing-masing. Meskipun sering pula muncul klaim-klaim politik yang sering tak masuk akal. Tapi itulah politik, di mana propaganda mutlak diikutsertakan untuk memperlancar dukungan politik. Propaganda dibutuhkan untuk melemahkan kekuatan dan semangat lawan.

Cara-cara seperti itu, selama tidak mengikutsertakan kekerasan, pemaksaaan, intimidasi dan teror masih halal dilakukan. Karena cara-cara propaganda multak dibutuhkan dalam politik. Sebab, dalam politik, seorang politikus tak harus selalu berkata jujur, melainkan bagaimana membuat orang percaya meskipun yang disampaikan hanya sebuah kebohongan belaka.

Karenanya, ukuran dalam politik tak pernah bisa diukur. Tak ada hitungan matematis riil. Semua hanya perkiraan semata. Artinya, klaim politik, dukungan politik, atau pun program politik tak selamanya akan terlaksana seperti yang disampaikan. Semua hanya basa-basi politik, yang sering hanya untuk kepentingan sesaat. Wajar, jika kemudian muncul ungkapan, ”jangan pernah percaya politikus, karena tak pernah ada niat bagi politikus untuk tidak membuat anda kecewa.”

Lalu, apakah kita harus bersikap apatis terhadap lahirnya partai politik? Saya tidak menyarankan demikian. Semua kita bebas: bebas melakukan apa saja, dan bebas menentukan pilihan apa saja. Tidak seorang pun berhak mempengaruhi kita untuk menentukan pilihan terhadap suatu partai politik, begitu juga sebaliknya. Menentukan pilihan merupakan hak setiap orang, termasuk apakah hak itu digunakan atau tidak.

Jika demikian adanya, berarti hak setiap orang pula mendirikan sebuah partai politik atau tidak. Tidak boleh seorang pun melarang, menolak atau menghambatnya. Karena, ketika disebut kehadiran partai lokal di Aceh legal, berarti semua jenis partai lokal boleh didirikan di Aceh, baik yang pro otonomi, pro merdeka, pro rakyat, pro pejabat, dan pro kontra.

Aturan main yang kemudian harus diciptakan. Prinsip dari demokrasi yang menghargai keterbukaan, kebebasan dan kedaulatan yang mesti dijunjung tinggi. Meski punya latar belakang, visi dan misi berbeda, masing-masing memiliki kesempatan yang sama mengumpulkan simpati publik. Artinya, bentuk dukungan itu harus diuji di arena publik, dan dilakukan secara terbuka, fair dan sportif, dalam bentuk pemilihan.

Tahapan yang mesti dilalui sebelum didukung atau tidak didukung oleh rakyat ya melalui kampanye. Di sinilah, pertarungan ide, konsep, program atau pun utopia bertanding. Siapa yang mampu menawarkan pilihan atau jalan alternatif, mungkin dia yang punya peluang didukung.

Karena dalam demokrasi, pemaksaan adalah barang haram yang mesti dijauhi. Artinya, jangan karena suatu partai dipimpin oleh elite-elite pro otonomi, lantas semua rakyat diarahkan mendukung otonomi. Begitu juga, jangan sampai karena suatu partai mengusung isu merdeka, kemudian semua rakyat diarahkan mendukung partai ini, baik menggunakan cara-cara legal apalagi tidak legal. Yang mesti dilakukan bagaimana memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menjatuhkan pilihan pada partai yang disukainya. Suara rakyat tidak bisa dimobilisasi oleh satu golongan, karena itu sama sekali tidak menghargai rakyat sebagai manusia mardeka.

Prinsip ini yang harus dipegang oleh masing-masing partai. Artinya, kita harus memberi contoh, tidak hanya kepada rakyat kita, melainkan kepada dunia yang telah memproses lahirnya kesempatan berdemokrasi di Aceh. Kita harus tunjukkan, bahwa demokrasi sama sekali bukan barang baru di Aceh, karena itu tak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Kita harus kembali bisa mengukir sejarah, seperti Pilkada beberapa tahun lalu yang mengundang decak kagum dunia.

Tak Perlu Tambah Ongkos
Karena kehadiran semua partai lokal adalah legal, sudah sepatutnya masing-masing partai saling menghargai satu sama lain. Sebab, kehadiran partai lokal di Aceh bukan tanpa ongkos. Malah ongkos tersebut tak pernah bisa ditukarkan dengan banyaknya anggaran yang akan diberikan untuk Aceh. Artinya, ongkos tersebut tak bisa dikalkusi dengan hitungan matematis belaka.

Coba bayangkan saja, hasil berupa partai lokal merupakan pengorbanan masyarakat Aceh dalam bentuk konflik 30 tahun lamanya. Untuk mencapai partai lokal (hasil minimal dari perjuangan), ribuan rakyat Aceh menjadi korban. Artinya, ongkos yang harus dibayar rakyat Aceh tak sebanding dengan hasil yang didapatkan.

Tugas kita sekarang, bagaimana menjaga hasil minimal itu bisa dinikmati oleh rakyat Aceh. Jangan sampai hasil minimal tersebut, tak meninggal bekas apa pun bagi rakyat. Apalagi, jika karena hasil minimal tersebut, kita harus menambah ongkos lagi, malah lebih besar.

Artinya apa? Gara-gara lahirnya partai lokal di Aceh, mengentalkan munculnya konflik horizontal antar sesama. Itu sangat wajar terjadi, karena Aceh sekarang sudah berubah menjadi negeri para mafia. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Yang kuat boleh berbuat apa saja, karena memang dia sangat berkuasa. Praktik-praktik itu bukan tidak terjadi sekarang. Mungkin, masalahnya tak terekpose di media saja. Banyak kantor partai lokal yang dilembari batu, dilarang mendirikan kantor, serta melarang aparat berwenang memberikan surat izin domisili. Belum lagi ancaman penculikan terhadap beberapa pengurus partai lokal.

Cara-cara mafia ini hendaknya dijauhi. Karena rakyat Aceh tak mungkin memberi ongkos demokrasi yang lebih besar untuk sesuatu yang tidak lagi pasti. Meskipun kita yakin, baik dalam sistem diktatorial maupun demokrasi, keduanya memang butuh anggaran. Masalahnya sekarang, anggaran tersebut bukan berbentuk angka nominal melainkan ongkos nyawa. Apalagi, jika sampai pesta demokrasi berlangsung berdarah-darah.

Semua kita mesti membalik kenyataan: karena, meskipun tidak ikut berjuang memegang senjata, semua kita adalah anak yang dibesarkan oleh perang. Masalahnya, sekarang bukan lagi perang dalam pengertian yang sebenarnya, tapi perang dalam tanda kutip. Itu pun jika kita sepakat dengan Mao Tse Tung, tokoh pergerakan China. Menurutnya, perang adalah politik yang berdarah-darah, sementara politik dipahami sebagai perang yang tidak menumpahkan darah.

Lalu, jika proses politik yang dibayar dengan ongkos sangat mahal oleh rakyat Aceh sampai berdarah-darah, tak ubahnya, kita telah mendefinisikan politik sebagai perang yang menumpahkan darah. Jika itu yang terjadi, kita sudah mamaksa rakyat membayar ongkos untuk sebuah demokrasi yang tak bisa mereka nikmati. Karena ternyata, rakyat kembali menjadi korban, entah untuk kepentingan apa.

Karena itu, ucapkan selamat jalan untuk demokrasi. Kita belum siap berdemokrasi.

NB: artikel ini khusus dibuat koran Haba Rakyat PRA (Partai Rakyat Aceh)

Post a Comment

Previous Post Next Post