Hari ini (30/05/08), dengar-dengar Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) disahkan. Jumlahnya, tak tanggung-tanggung: Rp8,517 triliun. Jika benar begitu, tentu saja ini sebuah berita yang menggembirakan. Meskipun nantinya banyak dari anggaran tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyat. Minimal rakyat sudah mendengar, bahwa banyak anggaran tahun ini yang diperuntukkan untuk masyarakat Aceh.
Kalau dipikir-pikir uang sejumlah itu banyak loh. Kalau untuk beli kopi, sampai tujuh turunan mati pun, masih tersisa uangnya. Kalau kita beli kopi di Solong Ulee Kareng dengan uang sejumlah itu, penjualnya bisa meninggal saat mengaduk kopi. Yang pasti uang tersebut lebih dari cukup untuk sekedar membeli cendol bang Joni.
Kita berdoa saja, agar harapan masyarakat di Gampong tidak terbang begitu saja. Soalnya, masyarakat di Gampong sangat berharap bisa menikmati kue pembangunan, karena pengalaman dulu-dulu, kue tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Tahun inilah, bisa jadi kesempatan, jika tidak, sama saja dulu dan sekarang. Rakyat tetap melarat dan sekarat.
“Kupue tadungo dum peng diro u Aceh, tanyoe mantong meu keu bakong asoe hana pat tacok,” ujar Wak Minah seorang pedagang kaki lima di pasar Sigli. “Pue dum that peng 8 triliun nyan nyoh neuk? Sampe tiep uroe dimeusunoh?” tanyanya lagi, saat disampaikan bahwa tahun ini, anggaran untuk Aceh sekitar Rp8,517 triliun.
Pedagang seperti Wak Minah, sama sekali tak pernah bermimpi punya duit sampai miliaran rupiah. Baginya, dapat sehari Rp12 ribu saja sudah cukup. Karena, dengan uang segitu, dapurnya berasap. Dia tidak berharap muluk-muluk, yang penting uang itu halal.
Makanya, orang seperti Wak Minah sama sekali tidak terlalu ambil pusing sama APBA, mau disahkan atau ngak itu bukan urusan dia. Toh, dia sama sekali tidak merasakan manfaat dari anggarang yang melimpah itu. Yang ribut hanya para elite, pejabat, kontraktor dan pengusaha. Masing-masing berhitung, tahun ini berapa anggaran yang bisa didapatnya. Dia sama sekali tidak mau peduli, bahwa sebenarnya anggaran itu diperuntukkan bagi rakyat.
Hanya orang seperti Mak Minah, sebenarnya yang merasa tenang saat anggaran disahkan. Soalnya, dia tidak terlalu ambil pusing atau melobi sana-sini agar ada proyek yang diloloskan. Baginya, lapak tempatnya berjualan tidak digusur sudah cukup. Orang seperti Mak Minah lah yang merasa hidup nyaman, meski Will Foley pernah mengatakan: Dunia ini penuh kaktus, tapi kita tidak harus duduk di atasnya.(HA 300508)
Kalau dipikir-pikir uang sejumlah itu banyak loh. Kalau untuk beli kopi, sampai tujuh turunan mati pun, masih tersisa uangnya. Kalau kita beli kopi di Solong Ulee Kareng dengan uang sejumlah itu, penjualnya bisa meninggal saat mengaduk kopi. Yang pasti uang tersebut lebih dari cukup untuk sekedar membeli cendol bang Joni.
Kita berdoa saja, agar harapan masyarakat di Gampong tidak terbang begitu saja. Soalnya, masyarakat di Gampong sangat berharap bisa menikmati kue pembangunan, karena pengalaman dulu-dulu, kue tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Tahun inilah, bisa jadi kesempatan, jika tidak, sama saja dulu dan sekarang. Rakyat tetap melarat dan sekarat.
“Kupue tadungo dum peng diro u Aceh, tanyoe mantong meu keu bakong asoe hana pat tacok,” ujar Wak Minah seorang pedagang kaki lima di pasar Sigli. “Pue dum that peng 8 triliun nyan nyoh neuk? Sampe tiep uroe dimeusunoh?” tanyanya lagi, saat disampaikan bahwa tahun ini, anggaran untuk Aceh sekitar Rp8,517 triliun.
Pedagang seperti Wak Minah, sama sekali tak pernah bermimpi punya duit sampai miliaran rupiah. Baginya, dapat sehari Rp12 ribu saja sudah cukup. Karena, dengan uang segitu, dapurnya berasap. Dia tidak berharap muluk-muluk, yang penting uang itu halal.
Makanya, orang seperti Wak Minah sama sekali tidak terlalu ambil pusing sama APBA, mau disahkan atau ngak itu bukan urusan dia. Toh, dia sama sekali tidak merasakan manfaat dari anggarang yang melimpah itu. Yang ribut hanya para elite, pejabat, kontraktor dan pengusaha. Masing-masing berhitung, tahun ini berapa anggaran yang bisa didapatnya. Dia sama sekali tidak mau peduli, bahwa sebenarnya anggaran itu diperuntukkan bagi rakyat.
Hanya orang seperti Mak Minah, sebenarnya yang merasa tenang saat anggaran disahkan. Soalnya, dia tidak terlalu ambil pusing atau melobi sana-sini agar ada proyek yang diloloskan. Baginya, lapak tempatnya berjualan tidak digusur sudah cukup. Orang seperti Mak Minah lah yang merasa hidup nyaman, meski Will Foley pernah mengatakan: Dunia ini penuh kaktus, tapi kita tidak harus duduk di atasnya.(HA 300508)
Tags:
pojok