Ketika menulis tentang kekuasaan, mau tak mau, nama Guru Besar Sejarah Modern Universita Cambridge, Lord Acton, harus dilibatkan. Sejak awal abad ke-19, Acton sudah mempopulerkan istilah power tends to corrupt. Lord Acton seperti menyadari bahwa kekuasaan sangat paradoksal. Sesuatu yang saling bertolak belakang.
Kekuasaan cenderung korup, sementara kekuasaan mutlak cenderung korupsi dengan mutlak. Demikian Acton menyampaikan khutbahnya. Semua pakar politik sepakat dengannya. Kekuasaan dan korupsi, selalu dipandang sebagai dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hal itu karena, tindakan korup, atau korupsi itu sendiri hampir selalu mengiringi setiap kekuasaan, sementara kekuaasaan diyakini sebagai pintu terbaik dan mudah melakukan korupsi.
Tak hanya itu, kekuasaan memudahkan semua hal. Teman, yang tak dikenal sekalipun akan mendekat tanpa diundang. Penghormatan akan kita dapatkan, meski kita tidak gila hormat. Malah, orang tergila-gila menghormati kita. Tapi, sering pula, kekuasaan menyilaukan mata. Dengan kekuasaan, kita sering lupa sama kawan, saudara, atau orang-orang yang pernah membantu kita. Meski sering pula, kekuasaan juga membuat kita lupa sama orang lain, dan merangkul saudara sendiri dan memberi mereka jabatan-jabatan strategis.
Soeharto, dalam hal ini, cocok dijadikan sebagai contoh. Dengan kekuasaan yang melebihi kekuasaan siapapun di Indonesia, sukses membangun kroni-kroni yang terdiri dari saudara, famili, kawan dan orang-orang yang mau dijadikan sebagai budaknya. Makanya, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto sukses membangun kerajaan Cendana dan menanamkan paham soehartoisme. Tak ada siapapun yang lebih berkuasa, kecuali kekuasaan Soeharto.
Tapi, di akhir masa jabatannya, Soeharto sangatlah rapuh. Kekuasaan yang begitu besar ambruk oleh pekikan heroic dan keberanian para mahasiswa. Kawan-kawan yang dulu dekat dan menyembahnya satu persatu menjauh darinya, dan berusaha menjadi penumpang gelap kendaraan baru. Dekat dengan Soeharto saat itu, pertanda karir bakal tamat. Meski ada juga orang yang mati-matian membela Soeharto, karena Soeharto sudah menjelma menjadi dewa yang patut dipuja.
Karenanya, tak ada alasan lain, jika harus kaya maka mutlak kita harus memiliki kekuasaan. Jika kita gila hormat, juga bisa didapatkan melalui kekuasaan. Dengan kekuasaan pula, semua bisa dibeli. Hakim bisa dibeli, kekayaan bisa dibeli, penghormatan bisa dibeli, kawan bisa dibeli, bahkan termasuk harga diri bisa dibeli. Lewat kekuasaan pula, kita bisa membangun citra, di hadapan rakyat. Meski kita seorang penjahat, tetapi dengan modal kekuasaan, kita mampu mengubah tampilan jahat menjadi seorang ratu adil yang ditunggu-tunggu.
Tak hanya itu, kebenaran juga bisa dibeli. Tapi, yang perlu diingat tak semua hal bisa dibeli dengan kekuasaan. Sebab, kekuasaan juga punya keterbatasan. Kekuasaan tak bisa membeli hati nurani. Berbahagialah orang-orang yang punya kekuasaan dan memiliki hati nurani. Sebab, itulah sebenarnya modal kita hidup, bukan kekuasaan. Dengan hati nurani pula, kita masih pantas menyebut diri manusia. Nyan ban kekuasaan! (HA 100608)
Kekuasaan cenderung korup, sementara kekuasaan mutlak cenderung korupsi dengan mutlak. Demikian Acton menyampaikan khutbahnya. Semua pakar politik sepakat dengannya. Kekuasaan dan korupsi, selalu dipandang sebagai dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Hal itu karena, tindakan korup, atau korupsi itu sendiri hampir selalu mengiringi setiap kekuasaan, sementara kekuaasaan diyakini sebagai pintu terbaik dan mudah melakukan korupsi.
Tak hanya itu, kekuasaan memudahkan semua hal. Teman, yang tak dikenal sekalipun akan mendekat tanpa diundang. Penghormatan akan kita dapatkan, meski kita tidak gila hormat. Malah, orang tergila-gila menghormati kita. Tapi, sering pula, kekuasaan menyilaukan mata. Dengan kekuasaan, kita sering lupa sama kawan, saudara, atau orang-orang yang pernah membantu kita. Meski sering pula, kekuasaan juga membuat kita lupa sama orang lain, dan merangkul saudara sendiri dan memberi mereka jabatan-jabatan strategis.
Soeharto, dalam hal ini, cocok dijadikan sebagai contoh. Dengan kekuasaan yang melebihi kekuasaan siapapun di Indonesia, sukses membangun kroni-kroni yang terdiri dari saudara, famili, kawan dan orang-orang yang mau dijadikan sebagai budaknya. Makanya, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto sukses membangun kerajaan Cendana dan menanamkan paham soehartoisme. Tak ada siapapun yang lebih berkuasa, kecuali kekuasaan Soeharto.
Tapi, di akhir masa jabatannya, Soeharto sangatlah rapuh. Kekuasaan yang begitu besar ambruk oleh pekikan heroic dan keberanian para mahasiswa. Kawan-kawan yang dulu dekat dan menyembahnya satu persatu menjauh darinya, dan berusaha menjadi penumpang gelap kendaraan baru. Dekat dengan Soeharto saat itu, pertanda karir bakal tamat. Meski ada juga orang yang mati-matian membela Soeharto, karena Soeharto sudah menjelma menjadi dewa yang patut dipuja.
Karenanya, tak ada alasan lain, jika harus kaya maka mutlak kita harus memiliki kekuasaan. Jika kita gila hormat, juga bisa didapatkan melalui kekuasaan. Dengan kekuasaan pula, semua bisa dibeli. Hakim bisa dibeli, kekayaan bisa dibeli, penghormatan bisa dibeli, kawan bisa dibeli, bahkan termasuk harga diri bisa dibeli. Lewat kekuasaan pula, kita bisa membangun citra, di hadapan rakyat. Meski kita seorang penjahat, tetapi dengan modal kekuasaan, kita mampu mengubah tampilan jahat menjadi seorang ratu adil yang ditunggu-tunggu.
Tak hanya itu, kebenaran juga bisa dibeli. Tapi, yang perlu diingat tak semua hal bisa dibeli dengan kekuasaan. Sebab, kekuasaan juga punya keterbatasan. Kekuasaan tak bisa membeli hati nurani. Berbahagialah orang-orang yang punya kekuasaan dan memiliki hati nurani. Sebab, itulah sebenarnya modal kita hidup, bukan kekuasaan. Dengan hati nurani pula, kita masih pantas menyebut diri manusia. Nyan ban kekuasaan! (HA 100608)
Tags:
pojok