Saya tidak tahu, apakah semalam saat laga Jerman versus Portugal, Martunis sempat menonton atau tidak. Tapi, jika Martunis sempat menonton laga tersebut, saya yakin dia akan menangis. Soalnya, ‘abangnya’ Ronaldo dibantai panser Jerman 3-2. Mimpi Portugal melaju ke babak selanjutnya pun tertahan. Penonton tak bisa lagi melihat aksi indah Ronaldo saat mengolah si kulit bundar.
Saya sendiri, saat menonton laga tersebut langsung terbayang pada sosok Martunis, seorang bocah Aceh 9 tahun (sekarang 12 tahun), yang selamat dari amukan tsunami, dan bertahan hidup di tengah puing-puing bekas tsunami selama 19 hari. Martunis hanya minum air atau makanan yang lewat dari laut. Saat ditemukan, Martunis hanya memakai pakaian sepak bola timnas Portugal.
Pakaian ini pula yang membuatnya menjadi sosok terkenal, dan bisa melanglang buana ke Portugal, menyaksikan pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2006. Potretnya, dimuat secara besar-besaran di media massa, baik dalam maupun luar negari. Martunis pun mendunia. Banyak wartawan asing lalu tertarik mewancarainya.
Malah, Ronaldo yang sudah dianggap ‘abang’ oleh Martunis khusus datang ke Aceh menjumpainya. Padahal, Ronaldo seorang bintang terkenal, yang memiliki harga Rp1,1 triliun. Tapi itulah kekuatan sepakbola. Ronaldo saat itu tak lagi melihat Martunis sebagai seorang korban yang patut ditolong, melainkan faktor nasionalisme. Baju yang dipakai Martunis sangatlah berarti ketika muncul di TV luar, di mana Negara Portugal mendapat promosi gratis, apalagi dipakai oleh seorang korban tsunami, bocah lagi.
Saat Ronaldo melihat Martunis di televisi, baju yang dipakainya bukan lagi sekedar pakaian untuk digunakan, melainkan sudah menjadi symbol nasionalisme, apalagi bagi masyarakat Eropa yang terkenal gila bola.
Wajar jika baju timnas Portugal yang digunakan Martunis menjelaskan banyak hal. Karena, di baju Martunis, sudah mengandung nilai-nilai nasionalisme, prestise, kebanggaan, kekayaan dan malah sebuah kekuatan lobi yang luar biasa. Tak hanya itu, baju yang dipakainya ternyata mampu mengubah nasibnya.
Tetapi belakangan, namanya tenggelam, bersama orangnya. Saya sendiri tak pernah lagi mendengar kabar bocah ‘ajaib’ tersebut. Padahal, pascatsunami namanya bak selebritis terkenal. Kemana Martunis? Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Tak ada yang tahu.
Laga Jerman versus Portugal membuat saya teringat lagi pada sosok ajaib tersebut. Saya, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana perasaan Martunis saat tim Portugal digilas Jerman? Menangiskah dia? Juga tak ada yang tahu.
Namun, melihat banyaknya penonton yang menangis, wajar saja jika seandainya Martunis juga ikut menangis. Karena secara emosional antara Martunis dan Timnas Portugal sudah terjalin sebuah hubungan yang sangat erat, tak lagi terpisah oleh sekat-sekat nasionalisme sempit. Karena, Sepakbola mengajarkan keterbukaan.
Jika pun Martunis tidak menangis, bisa jadi, dia sudah lupa dengan Sepakbola, dan sama sekali tidak tertarik lagi pada perhelatan Euro yang digelar empat tahun sekali itu. (HA 210608)
Saya sendiri, saat menonton laga tersebut langsung terbayang pada sosok Martunis, seorang bocah Aceh 9 tahun (sekarang 12 tahun), yang selamat dari amukan tsunami, dan bertahan hidup di tengah puing-puing bekas tsunami selama 19 hari. Martunis hanya minum air atau makanan yang lewat dari laut. Saat ditemukan, Martunis hanya memakai pakaian sepak bola timnas Portugal.
Pakaian ini pula yang membuatnya menjadi sosok terkenal, dan bisa melanglang buana ke Portugal, menyaksikan pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2006. Potretnya, dimuat secara besar-besaran di media massa, baik dalam maupun luar negari. Martunis pun mendunia. Banyak wartawan asing lalu tertarik mewancarainya.
Malah, Ronaldo yang sudah dianggap ‘abang’ oleh Martunis khusus datang ke Aceh menjumpainya. Padahal, Ronaldo seorang bintang terkenal, yang memiliki harga Rp1,1 triliun. Tapi itulah kekuatan sepakbola. Ronaldo saat itu tak lagi melihat Martunis sebagai seorang korban yang patut ditolong, melainkan faktor nasionalisme. Baju yang dipakai Martunis sangatlah berarti ketika muncul di TV luar, di mana Negara Portugal mendapat promosi gratis, apalagi dipakai oleh seorang korban tsunami, bocah lagi.
Saat Ronaldo melihat Martunis di televisi, baju yang dipakainya bukan lagi sekedar pakaian untuk digunakan, melainkan sudah menjadi symbol nasionalisme, apalagi bagi masyarakat Eropa yang terkenal gila bola.
Wajar jika baju timnas Portugal yang digunakan Martunis menjelaskan banyak hal. Karena, di baju Martunis, sudah mengandung nilai-nilai nasionalisme, prestise, kebanggaan, kekayaan dan malah sebuah kekuatan lobi yang luar biasa. Tak hanya itu, baju yang dipakainya ternyata mampu mengubah nasibnya.
Tetapi belakangan, namanya tenggelam, bersama orangnya. Saya sendiri tak pernah lagi mendengar kabar bocah ‘ajaib’ tersebut. Padahal, pascatsunami namanya bak selebritis terkenal. Kemana Martunis? Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Tak ada yang tahu.
Laga Jerman versus Portugal membuat saya teringat lagi pada sosok ajaib tersebut. Saya, bertanya-tanya dalam hati, bagaimana perasaan Martunis saat tim Portugal digilas Jerman? Menangiskah dia? Juga tak ada yang tahu.
Namun, melihat banyaknya penonton yang menangis, wajar saja jika seandainya Martunis juga ikut menangis. Karena secara emosional antara Martunis dan Timnas Portugal sudah terjalin sebuah hubungan yang sangat erat, tak lagi terpisah oleh sekat-sekat nasionalisme sempit. Karena, Sepakbola mengajarkan keterbukaan.
Jika pun Martunis tidak menangis, bisa jadi, dia sudah lupa dengan Sepakbola, dan sama sekali tidak tertarik lagi pada perhelatan Euro yang digelar empat tahun sekali itu. (HA 210608)
Tags:
pojok