Laga Perancis versus Belanda, Sabtu (14/06/08) dinihari, tak hanya menarik ditonton. Banyak hal yang bisa kita nikmati dari laga tersebut, seperti permainan bola indah dan menyerang. Pecinta si kulit bundar benar-benar dibuat terlena dan kagum, tak hanya oleh gol-gol yang lahir dari kejeniusan si pemain, melainkan bagaimana kedua tim ingin tampil menjadi yang terbaik dalam laga tersebut. Meski, pada akhirnya, Perancis harus mengakui keunggulan total football yang diperagakan anak-anak Belanda. Belanda masih terlalu tangguh, dan sukses memukul Perancis dengan scor telak, 4-1.
Tapi, ada yang kita lupakan dari laga tersebut. Bahwa, apa yang terjadi dalam laga Perancis versus Belanda juga sering terjadi di dunia nyata, bahkan sangat nyata. Laga tersebut, seperti membenarkan kembali teori Machievalli yang diproklamirkan ratusan tahun silam, bahwa “Tak ada lawan atau kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi.”
Ya…teori Machievalli tersebut begitu nyata, dan menjadikan sepakbola tak hanya sebatas pertandingan. Sepakbola juga berarti pertarungan politis, menegakkan gensi, ideologis dan semuanya. Sepakbola seperti mengajarkan kita untuk lebih hati-hati dalam memilih teman, khususnya terkait urusan politik. Machievalli benar ketika mengatakan, bahwa tak ada yang abadi dari sebuah hubungan pertemanan, karena yang selalu tampak nyata adalah kepentingan.
Teman dalam politik, kata Machievalli, tak pernah abadi, demikian juga musuh. Semuanya hanya berjalan begitu saja, karena pada akhirnya, kepentinganlah yang membuatnya retak atau menyatu. Lihatlah, bagaimana Patrice Evra berjuang menjebol gawang Edwin van Der Sar. Padahal, ketika bersama Manchester United, baik Van Der Sar maupun Evra saling bahu membahu menjaga agar gawang klubnya tidak kebobolan.
Hal yang sama juga terjadi antara William Gallas dan Van Persie. Saat di Arsenal, kedua pemain ini bersama-sama menjebol gawang lawan, tetapi dalam laga Perancis versus Belanda, jiwa nasionalisme yang menuntun mereka untuk saling menundukkan, mengalahkan, dan mempermalukan. Tak jarang, antara keduanya terlibat aksi saling tekel, padahal aksi seperti itu tak pernah kita temui saat mereka membela kepentingan Arsenal.
Ke depan, di perempat final, hal-hal seperti itu akan semakin sering kita saksikan, saat kawan satu klub saling bunuh membunuh ketika membela kepentingan negaranya. Masing-masing, termotivasi menjaga marwah bendera negaranya. Artinya, begitu mereka menggunakan kostum yang berbeda di lapangan, mereka yang sebelumnya berteman, akan bertarung mati-matian sebagai musuh.
Realitas demikian sangat gampang ditemukan di dunia nyata, bahkan malah sangat dekat dengan kita. Apalagi, tahun depan (2009) di Aceh akan digelar pemilu yang melibatkan partai politik lokal. Kita akan melihat bagaimana kawan-kawan dari Partai Aceh yang dimotori awak GAM bekerja mati-matian mengalahkan partai lokal lainnya seperti Partai SIRA, Partai Gabthat dan lainnya. Kenapa bisa terjadi? Bendera yang membuat mereka berubah. Padahal, kita tahu, dulunya kawan-kawan SIRA-lah yang mengakui GAM sebagai Pemerintah Neugara Aceh, ketika organisasi lain bungkam dan takut berhadapan dengan TNI.
Tapi, itulah politik. Sebuah kebersamaan dalam sekejab bisa hancur, saat kepentingan berbelok. Makanya, saya selalu sarankan, untuk siapa saja yang sudah terjun ke dunia politik, “Jangan pernah percaya teman yang kamu temui dalam politik!” Karena, kawan dalam politik hanyalah kawan semu, atau kawan kamuflase.(HA 160608)
Tapi, ada yang kita lupakan dari laga tersebut. Bahwa, apa yang terjadi dalam laga Perancis versus Belanda juga sering terjadi di dunia nyata, bahkan sangat nyata. Laga tersebut, seperti membenarkan kembali teori Machievalli yang diproklamirkan ratusan tahun silam, bahwa “Tak ada lawan atau kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi.”
Ya…teori Machievalli tersebut begitu nyata, dan menjadikan sepakbola tak hanya sebatas pertandingan. Sepakbola juga berarti pertarungan politis, menegakkan gensi, ideologis dan semuanya. Sepakbola seperti mengajarkan kita untuk lebih hati-hati dalam memilih teman, khususnya terkait urusan politik. Machievalli benar ketika mengatakan, bahwa tak ada yang abadi dari sebuah hubungan pertemanan, karena yang selalu tampak nyata adalah kepentingan.
Teman dalam politik, kata Machievalli, tak pernah abadi, demikian juga musuh. Semuanya hanya berjalan begitu saja, karena pada akhirnya, kepentinganlah yang membuatnya retak atau menyatu. Lihatlah, bagaimana Patrice Evra berjuang menjebol gawang Edwin van Der Sar. Padahal, ketika bersama Manchester United, baik Van Der Sar maupun Evra saling bahu membahu menjaga agar gawang klubnya tidak kebobolan.
Hal yang sama juga terjadi antara William Gallas dan Van Persie. Saat di Arsenal, kedua pemain ini bersama-sama menjebol gawang lawan, tetapi dalam laga Perancis versus Belanda, jiwa nasionalisme yang menuntun mereka untuk saling menundukkan, mengalahkan, dan mempermalukan. Tak jarang, antara keduanya terlibat aksi saling tekel, padahal aksi seperti itu tak pernah kita temui saat mereka membela kepentingan Arsenal.
Ke depan, di perempat final, hal-hal seperti itu akan semakin sering kita saksikan, saat kawan satu klub saling bunuh membunuh ketika membela kepentingan negaranya. Masing-masing, termotivasi menjaga marwah bendera negaranya. Artinya, begitu mereka menggunakan kostum yang berbeda di lapangan, mereka yang sebelumnya berteman, akan bertarung mati-matian sebagai musuh.
Realitas demikian sangat gampang ditemukan di dunia nyata, bahkan malah sangat dekat dengan kita. Apalagi, tahun depan (2009) di Aceh akan digelar pemilu yang melibatkan partai politik lokal. Kita akan melihat bagaimana kawan-kawan dari Partai Aceh yang dimotori awak GAM bekerja mati-matian mengalahkan partai lokal lainnya seperti Partai SIRA, Partai Gabthat dan lainnya. Kenapa bisa terjadi? Bendera yang membuat mereka berubah. Padahal, kita tahu, dulunya kawan-kawan SIRA-lah yang mengakui GAM sebagai Pemerintah Neugara Aceh, ketika organisasi lain bungkam dan takut berhadapan dengan TNI.
Tapi, itulah politik. Sebuah kebersamaan dalam sekejab bisa hancur, saat kepentingan berbelok. Makanya, saya selalu sarankan, untuk siapa saja yang sudah terjun ke dunia politik, “Jangan pernah percaya teman yang kamu temui dalam politik!” Karena, kawan dalam politik hanyalah kawan semu, atau kawan kamuflase.(HA 160608)
Tags:
pojok