Sampai tadi malam, Selasa (19/8) pukul 24.00 WIB, merupakan hari-hari tersibuk buat para Caleg (calon legislatif). Mereka berpacu dengan waktu mempersiapkan segala berkas untuk dapat bertarung dalam Pemilu 2009 nanti. Waktu, jadinya sangat berarti. Sedikit lengah, kesempatan menjadi wakil rakyat hilang di tangan. Pun begitu, bukan berarti setelah semua berkas lengkap, otomatis mampu meloloskan sang kandidat menjadi wakil rakyat. Mereka perlu berjuang lagi, memperebutkan suara rakyat. Mereka bertarung, dan menjadi pemenang.
Beruntung jika mereka diberikan kepercayaan oleh rakyat. Sebab, sistem yang berlaku, tidak lagi berdasarkan nomor urut, yang membuat para kandidat dengan nomor cantik, tak perlu berpeluh-peluh berkampanye. Sistem yang berlaku, siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang jadi pemenang, tanpa peduli berapa nomor urutnya. Sistem seperti ini sama dengan mengajak rakyat pemilih menjadi pemilih rasional. Artinya, kandidat yang dipilih benar-benar punya kualifikasinya dan layak untuk dipilih.
Pun begitu, sistem seperti ini, membuka persaingan bukan lagi partai vis a vis partai, persaingan antara sesama caleg lain partai, melainkan juga sesama caleg satu partai lain. Pembusukan-pembusukan antar kandidat dengan sendirinya tak terhindarkan, sebab, masing-masing caleg ingin mendapatkan suara terbanyak. Namun, kita berharap, cara-cara kotor tak ikut mewarnai proses demokrasi. Meski, demokrasi bukan satu-satunya sistem politik, seperti disampaikan Ian Shapiro dalam Asas Moral dalam Politik (2006).
Tetapi, meski bukan satu-satunya sistem politik, kata Ian Shapiro, dalam tradisi demokratis menawarkan sumber daya yang jauh lebih baik daripada tradisi-tradisi pemikiran lain, sebab ia memastikan bahwa klaim politis harus diuji di arena publik, bahwa hak individu adalah perwujudan paling baik dari aspirasi kebebasan manusia.
Merujuk pemikiran Shapiro, para pemilih merupakan pihak yang harus dihormati, sebab mereka punya kebebasan menjatuhkan pilihannya. Karenanya, intimidasi atau ancaman terhadap pemilih merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing partai atau caleg boleh jadi punya basis pendukung masing-masing, tapi basis tersebut sama sekali belum permanen sebelum melewati uji publik. Apalagi, rakyat sudah demikian pintarnya dalam memberikan pilihan. Untuk itu, penghargaan terhadap kebebasan individu mutlak perlu dijunjung tinggi. Karena, keputusan akhir, siapa yang didukung tetap berpulang pada satu suara per orang yang berhak memilih.
Untuk itu, kita sarankan kepada para caleg, bahwa menjadi anggota dewan tak cukup dengan modal gagah-gagahan, penampilan parlente, sok berwibawa, jaim atau menampilkan citra positif, malaikan harus mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi. Makanya, sejak dari sekarang, para caleg harus terjun ke dalam masyarakat untuk menggali aspirasi, mengetahui persoalan aktual yang dihadapi oleh masyarakat pemilih, sehingga mereka memiliki gambaran apa yang mesti diperjuangkan ketika terpilih nantinya. Para caleg ini harus mampu menyakinkan rakyat bahwa mereka layak dipilih.
Karenanya, saat pemilu nanti, partai menjadi tidak lagi penting, sebab yang bertarung adalah individu-individu. Partai hanyalah alat, sementara aktor sesungguhnya adalah para caleg. Para caleg inilah yang menampilkan citra positif sebuah partai. Sebuah partai mendapatkan suara terbanyak atau tidak sangat tergantung pada diri sang caleg, meski sesama caleg—tak hanya melawan caleg partai lain—akan bertarung. Kita berharap saja, bahwa tesis Machievalli, ‘tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan sejati’ tidak kita temukan dalam persaingan sesama caleg satu partai. Sebab, seperti sudah umum diketahui, dalam mencapai kepentingan, semua cara akan dianggap halal dilakukan, termasuk menjatuhkan wibawa kawan satu partai. (200808)
Beruntung jika mereka diberikan kepercayaan oleh rakyat. Sebab, sistem yang berlaku, tidak lagi berdasarkan nomor urut, yang membuat para kandidat dengan nomor cantik, tak perlu berpeluh-peluh berkampanye. Sistem yang berlaku, siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang jadi pemenang, tanpa peduli berapa nomor urutnya. Sistem seperti ini sama dengan mengajak rakyat pemilih menjadi pemilih rasional. Artinya, kandidat yang dipilih benar-benar punya kualifikasinya dan layak untuk dipilih.
Pun begitu, sistem seperti ini, membuka persaingan bukan lagi partai vis a vis partai, persaingan antara sesama caleg lain partai, melainkan juga sesama caleg satu partai lain. Pembusukan-pembusukan antar kandidat dengan sendirinya tak terhindarkan, sebab, masing-masing caleg ingin mendapatkan suara terbanyak. Namun, kita berharap, cara-cara kotor tak ikut mewarnai proses demokrasi. Meski, demokrasi bukan satu-satunya sistem politik, seperti disampaikan Ian Shapiro dalam Asas Moral dalam Politik (2006).
Tetapi, meski bukan satu-satunya sistem politik, kata Ian Shapiro, dalam tradisi demokratis menawarkan sumber daya yang jauh lebih baik daripada tradisi-tradisi pemikiran lain, sebab ia memastikan bahwa klaim politis harus diuji di arena publik, bahwa hak individu adalah perwujudan paling baik dari aspirasi kebebasan manusia.
Merujuk pemikiran Shapiro, para pemilih merupakan pihak yang harus dihormati, sebab mereka punya kebebasan menjatuhkan pilihannya. Karenanya, intimidasi atau ancaman terhadap pemilih merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing partai atau caleg boleh jadi punya basis pendukung masing-masing, tapi basis tersebut sama sekali belum permanen sebelum melewati uji publik. Apalagi, rakyat sudah demikian pintarnya dalam memberikan pilihan. Untuk itu, penghargaan terhadap kebebasan individu mutlak perlu dijunjung tinggi. Karena, keputusan akhir, siapa yang didukung tetap berpulang pada satu suara per orang yang berhak memilih.
Untuk itu, kita sarankan kepada para caleg, bahwa menjadi anggota dewan tak cukup dengan modal gagah-gagahan, penampilan parlente, sok berwibawa, jaim atau menampilkan citra positif, malaikan harus mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi. Makanya, sejak dari sekarang, para caleg harus terjun ke dalam masyarakat untuk menggali aspirasi, mengetahui persoalan aktual yang dihadapi oleh masyarakat pemilih, sehingga mereka memiliki gambaran apa yang mesti diperjuangkan ketika terpilih nantinya. Para caleg ini harus mampu menyakinkan rakyat bahwa mereka layak dipilih.
Karenanya, saat pemilu nanti, partai menjadi tidak lagi penting, sebab yang bertarung adalah individu-individu. Partai hanyalah alat, sementara aktor sesungguhnya adalah para caleg. Para caleg inilah yang menampilkan citra positif sebuah partai. Sebuah partai mendapatkan suara terbanyak atau tidak sangat tergantung pada diri sang caleg, meski sesama caleg—tak hanya melawan caleg partai lain—akan bertarung. Kita berharap saja, bahwa tesis Machievalli, ‘tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan sejati’ tidak kita temukan dalam persaingan sesama caleg satu partai. Sebab, seperti sudah umum diketahui, dalam mencapai kepentingan, semua cara akan dianggap halal dilakukan, termasuk menjatuhkan wibawa kawan satu partai. (200808)
Tags:
pojok