“Kita belum merdeka!” pernyataan kawanku membuatku tersentak kaget. Lalu, aku melihat kalender. Ternyata sekarang memang sedang bulan Agustus. Ada satu tanggal pada bulan Agustus yang disebut independen day (hari kemerdekaan). Saya mencoba selidik, kenapa kawan saya mengatakan kita belum merdeka? Kata ‘Kita’ tersebut merujuk kemana? “Bukankah, masih banyak ‘kita-kita’ yang lain yang belum merdeka, dan bukan hanya kita saja,” kataku sekenanya.
Karena terpancing, secara ceplas-ceplos, si kawan menjawab seenaknya. “Kamu pernah ke Masjid Raya?” tanyanya. Saya jadi penasaran. Apa maksudnya ke Masjid? Apa dia tahu kalau selama ini saya sudah jarang ke Masjid Raya? Trus, apa hubungannya merdeka dengan Masjid Raya. “Ah, kamu ngaco!” timplak saya padanya.
Dia diam saja. Sambil membetulkan nafas, si kawan menjawab kebingungan saya. “Coba kamu perhatikan, apakah para penjual bendera merah putih di depan Masjid Raya itu sudah merdeka?” jawaban berbentuk pertanyaan tersebut membuat saya tergagap, dan tak tahu harus menjawab apa.
Menurutnya, para penjual bendera tersebut belum ada yang merdeka. “Berapalah dapat untung dari menjual bendera?” katanya. Penjual itu mengambil barang dari orang lain lagi, dan mereka cuma penjual doang. Kalau ligat menjual bendera, ya pasti untungnya cukup dua hari makan, tapi, kalau sepi pembeli bagaimana? Mereka menjual bendera, karena lagi musim saja. Coba kalau bukan bulan Agustus, tak ada orang yang menjual bendera tersebut, karena sudah pasti tak laku.
Orang sekarang, menurutnya, sukanya ikut trend. Kalau lagi bulan Agustus, semua ingin keliatan patriotik, sok nasionalis, ingin terlihat peduli pada hari kemerdekaan. Jadi, mereka hanya membeli bendera merah putih pas datang 17 Agustus saja, setelah itu bendera disimpan atau malah ada yang dijadikan lap meja. Sedih benar. Nah, jika sampai berpeluh-peluh di tengah terik matahari, hanya dapat untung kecil, dapatkah mereka kita sebut merdeka?
Sebenarnya, ada juga yang tidak begitu peduli datangnya 17 Agustus. Cuek saja. Malah, memprotes segala. Kesan ini yang saya tangkap saat menerima pesan via Yahoo! Messenger dengan bunyi aneh. “Mau 17 Agustus... apa wajib pasang bendera ???... ada peraturan kayak gitu ya ????” begitu bunyi pesannya. Kok…masalah kemerdekaan dan bendera, jadi serius begitu ya? Gumam saya dalam hati. Kita memang terlalu mendramatrisir sesuatu yang sebenarnya tak perlu dibuat besar-besar. Padahal, soal bendera, sama sekali bukan persoalan serius, dan tak perlu menyita perhatian kita. Di Amerika, malah, bendera dijadikan bikini atau celana dalam. Orang tak ribut, dan tak ada yang protes. Tak ada juga yang bilang itu melanggar, dan melecehkan lambang Negara.
Sementara di tempat kita ini, persoalan bendera itu masalah cukup serius. Persoalan bendera menyangkut perkara putoh mareh. Saat konflik mendera Aceh beberapa tahun sebelumnya, soal bendera bisa menentukan nasib nyawa seseorang. Bendera seolah-olah menentukan atau menjadi tempat menggantungkan nyawa. Jadi, saat itu ketika ada rakyat mengibarkan bendera, sama sekali bukan karena panggilan nasionalisme, melainkan karena takut. Wajar ketika semangat mengibarkan merah putih orang Aceh dan Papua saat itu berbeda dengan semangat di tempat lain. Akhirnya, nasionalisme tak bisa diukur oleh selembar bendera.
Tapi, bukan tidak ada orang yang sangat nasionalis? Simak saja pernyataan seorang petinggi yang isinya kira-kira begini, “Merah putih adalah segala-galanya.” Menurutnya, tak boleh bendera partai atau lainnya lebih tinggi dari bendera merah putih. Hah…nafas saya jadi berat saat membaca pernyataan seperti ini di media. Begitu pentingkah sebuah merah putih? Bukankah ini sudah berlebihan? Sekedar itukah semangat merah putih? Bukankah ada yang lebih penting lagi yang bisa kita lakukan untuk menghormati jasa pahlawan! Misalnya, membuat warga Negara bermartabat di negaranya sendiri! Lalu, merdekakah kita sekarang? (HA 140808)
Karena terpancing, secara ceplas-ceplos, si kawan menjawab seenaknya. “Kamu pernah ke Masjid Raya?” tanyanya. Saya jadi penasaran. Apa maksudnya ke Masjid? Apa dia tahu kalau selama ini saya sudah jarang ke Masjid Raya? Trus, apa hubungannya merdeka dengan Masjid Raya. “Ah, kamu ngaco!” timplak saya padanya.
Dia diam saja. Sambil membetulkan nafas, si kawan menjawab kebingungan saya. “Coba kamu perhatikan, apakah para penjual bendera merah putih di depan Masjid Raya itu sudah merdeka?” jawaban berbentuk pertanyaan tersebut membuat saya tergagap, dan tak tahu harus menjawab apa.
Menurutnya, para penjual bendera tersebut belum ada yang merdeka. “Berapalah dapat untung dari menjual bendera?” katanya. Penjual itu mengambil barang dari orang lain lagi, dan mereka cuma penjual doang. Kalau ligat menjual bendera, ya pasti untungnya cukup dua hari makan, tapi, kalau sepi pembeli bagaimana? Mereka menjual bendera, karena lagi musim saja. Coba kalau bukan bulan Agustus, tak ada orang yang menjual bendera tersebut, karena sudah pasti tak laku.
Orang sekarang, menurutnya, sukanya ikut trend. Kalau lagi bulan Agustus, semua ingin keliatan patriotik, sok nasionalis, ingin terlihat peduli pada hari kemerdekaan. Jadi, mereka hanya membeli bendera merah putih pas datang 17 Agustus saja, setelah itu bendera disimpan atau malah ada yang dijadikan lap meja. Sedih benar. Nah, jika sampai berpeluh-peluh di tengah terik matahari, hanya dapat untung kecil, dapatkah mereka kita sebut merdeka?
Sebenarnya, ada juga yang tidak begitu peduli datangnya 17 Agustus. Cuek saja. Malah, memprotes segala. Kesan ini yang saya tangkap saat menerima pesan via Yahoo! Messenger dengan bunyi aneh. “Mau 17 Agustus... apa wajib pasang bendera ???... ada peraturan kayak gitu ya ????” begitu bunyi pesannya. Kok…masalah kemerdekaan dan bendera, jadi serius begitu ya? Gumam saya dalam hati. Kita memang terlalu mendramatrisir sesuatu yang sebenarnya tak perlu dibuat besar-besar. Padahal, soal bendera, sama sekali bukan persoalan serius, dan tak perlu menyita perhatian kita. Di Amerika, malah, bendera dijadikan bikini atau celana dalam. Orang tak ribut, dan tak ada yang protes. Tak ada juga yang bilang itu melanggar, dan melecehkan lambang Negara.
Sementara di tempat kita ini, persoalan bendera itu masalah cukup serius. Persoalan bendera menyangkut perkara putoh mareh. Saat konflik mendera Aceh beberapa tahun sebelumnya, soal bendera bisa menentukan nasib nyawa seseorang. Bendera seolah-olah menentukan atau menjadi tempat menggantungkan nyawa. Jadi, saat itu ketika ada rakyat mengibarkan bendera, sama sekali bukan karena panggilan nasionalisme, melainkan karena takut. Wajar ketika semangat mengibarkan merah putih orang Aceh dan Papua saat itu berbeda dengan semangat di tempat lain. Akhirnya, nasionalisme tak bisa diukur oleh selembar bendera.
Tapi, bukan tidak ada orang yang sangat nasionalis? Simak saja pernyataan seorang petinggi yang isinya kira-kira begini, “Merah putih adalah segala-galanya.” Menurutnya, tak boleh bendera partai atau lainnya lebih tinggi dari bendera merah putih. Hah…nafas saya jadi berat saat membaca pernyataan seperti ini di media. Begitu pentingkah sebuah merah putih? Bukankah ini sudah berlebihan? Sekedar itukah semangat merah putih? Bukankah ada yang lebih penting lagi yang bisa kita lakukan untuk menghormati jasa pahlawan! Misalnya, membuat warga Negara bermartabat di negaranya sendiri! Lalu, merdekakah kita sekarang? (HA 140808)
Tags:
pojok