Benarlah kata orang, inspirasi dan pemikiran segar di Aceh sekarang lebih banyak lahir di warung kopi. Malah, di warung kopi, setiap hari inspirasi dan ide diproduksi, terus menerus tak pernah berhenti. Jika ada orang mau menulisnya, pasti tak sanggup merangkum semuanya, karena terlalu banyak, dan lintas topik. Wajar saja, idea tau inspirasi yang berkembang di warung kopi belum ada yang mendokumentasikan (dalam bentuk buku), kecuali dalam bentuk berita atau liputan.
Dari warung kopi pula, sebuah gosip mengembang menjadi berita yang ramai dikonsumsi pembaca. Biasanya, sebuah gosip diproduksi dari sebuah meja, lalu besoknya menyebar ke meja lain, begitu sebuah media menulisnya. Selepas itu, semua pengunjung mendiskusikannya. Tak salah jika ada orang bilang, bahwa warung kopi di Aceh sudah menyerupai sebuah forum seminar, terpanas, dan lintas isu. “Bagus kalau Jaya Suprana memasukkannya dalam rekor MURI (Museum Rekor Indonesia),” ujar seorang kawan iseng.
Dan, dari warung kopi pula, aku tahu sebuah kisah, pasti menarik karena terkait juga bagaimana budaya korupsi dipelihara. Ceritanya begini, seorang teman cerita tentang kisah kawannya, sebut saja namanya Polem, mengurus izin untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Semua berkas keperluan sudah disiapkan seperti menyangkut administrasi dan izin. Karena mendirikan lembaga pendidikan harus memiliki izin dari pejabat berwenang, seperti Dikti (Pendidikan Tinggi) atau Kopertais (Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta).
Seminggu ditunggu, tak ada kabar. Surat izin itu belum juga keluar. Minggu berganti bulan, juga belum ada kabar, apakah permohonan izin itu dikabulkan atau belum. Setiap dihubungi, pejabat berwenang hanya mengatakan bahwa berkas tersebut sedang diproses. Menurut teman saya, Polem cukup bersabar, karena mendirikan lembaga pendidikan pikirnya tidak mudah, mesti melewati jalan yang panjang dan berliku-liku.
Bulan berganti tahun, surat izin itu belum juga dikirim. Terakhir dihubungi, pihak terkait bilang bahwa surat itu sudah sampai di meja pejabat berwenang, dan akan ditandatangani. “Wah, sepertinya tidak lama lagi, saya sudah memiliki sebuah lembaga pendidikan,” gumamnya dalam hati. Tapi, lama ditunggu, tukang pos belum juga mengantarkan sebuah kabar gembira untuknya. Karena tak ingin berlama-lama, Polem menelepon kembali pejabat berwenang tersebut. Terjadilah dialog. “Surat itu sudah di meja saya, tetapi saya tidak punya pena untuk menandatanganinya,” kata si pejabat. Karena tahu maksudnya, Polem lalu mentransfer sejumlah uang ke rekening si pejabat, jumlahnya sampai jutaan, untuk membeli pena.
Tapi, surat yang yang ditunggu belum tiba juga. Ketika dikontak, si pejabat, hanya menjawab. “Pena memang sudah saya beli, tetapi belum ada tintanya, saya mesti membeli tinta dulu untuk pena saya,” katanya. Seperti sebelumnya, si Polem kembali mentransfer sejumlah uang, dan berharap inilah uang yang terakhir dikirimnya. Namun, anehnya, surat izin yang ditunggu itu belum juga tiba. Polem lalu mencoba mengontak balik si pejabat berwenang, dan menanyakan apakah suratnya sudah selesai atau belum. “Suratnya sudah saya teken, tapi tukang pos-nya belum ada yang datang,” jawab si pejabat. Sekali lagi, Polem setia mentransfer uang untuk mencari tukang pos.
Dua minggu ditunggu, surat itu tak juga sampai, dan karena kecewa, dia menelepon balik, meminta tidak dipermainkan. Dengan enteng, si pejabat menjawab lebih enteng lagi. “Tukang posnya memang sudah ada, tapi dia tidak tahu alamatnya di mana,” katanya. Polem terpaksa mengirim duit, karena sangat butuh, sebab ingin cepat-cepat punya lembaga pendidikan.
Setelah itu, baru surat yang ditunggunya sampai dua tahun itu pun tiba dengan selamat yang diantarkan seorang tukang pos. Polem sangat senang menerimanya. Untung saja, si tukang pos tidak meminta uang untuk bisa kembali.(HA 250808)
Dan, dari warung kopi pula, aku tahu sebuah kisah, pasti menarik karena terkait juga bagaimana budaya korupsi dipelihara. Ceritanya begini, seorang teman cerita tentang kisah kawannya, sebut saja namanya Polem, mengurus izin untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Semua berkas keperluan sudah disiapkan seperti menyangkut administrasi dan izin. Karena mendirikan lembaga pendidikan harus memiliki izin dari pejabat berwenang, seperti Dikti (Pendidikan Tinggi) atau Kopertais (Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta).
Seminggu ditunggu, tak ada kabar. Surat izin itu belum juga keluar. Minggu berganti bulan, juga belum ada kabar, apakah permohonan izin itu dikabulkan atau belum. Setiap dihubungi, pejabat berwenang hanya mengatakan bahwa berkas tersebut sedang diproses. Menurut teman saya, Polem cukup bersabar, karena mendirikan lembaga pendidikan pikirnya tidak mudah, mesti melewati jalan yang panjang dan berliku-liku.
Bulan berganti tahun, surat izin itu belum juga dikirim. Terakhir dihubungi, pihak terkait bilang bahwa surat itu sudah sampai di meja pejabat berwenang, dan akan ditandatangani. “Wah, sepertinya tidak lama lagi, saya sudah memiliki sebuah lembaga pendidikan,” gumamnya dalam hati. Tapi, lama ditunggu, tukang pos belum juga mengantarkan sebuah kabar gembira untuknya. Karena tak ingin berlama-lama, Polem menelepon kembali pejabat berwenang tersebut. Terjadilah dialog. “Surat itu sudah di meja saya, tetapi saya tidak punya pena untuk menandatanganinya,” kata si pejabat. Karena tahu maksudnya, Polem lalu mentransfer sejumlah uang ke rekening si pejabat, jumlahnya sampai jutaan, untuk membeli pena.
Tapi, surat yang yang ditunggu belum tiba juga. Ketika dikontak, si pejabat, hanya menjawab. “Pena memang sudah saya beli, tetapi belum ada tintanya, saya mesti membeli tinta dulu untuk pena saya,” katanya. Seperti sebelumnya, si Polem kembali mentransfer sejumlah uang, dan berharap inilah uang yang terakhir dikirimnya. Namun, anehnya, surat izin yang ditunggu itu belum juga tiba. Polem lalu mencoba mengontak balik si pejabat berwenang, dan menanyakan apakah suratnya sudah selesai atau belum. “Suratnya sudah saya teken, tapi tukang pos-nya belum ada yang datang,” jawab si pejabat. Sekali lagi, Polem setia mentransfer uang untuk mencari tukang pos.
Dua minggu ditunggu, surat itu tak juga sampai, dan karena kecewa, dia menelepon balik, meminta tidak dipermainkan. Dengan enteng, si pejabat menjawab lebih enteng lagi. “Tukang posnya memang sudah ada, tapi dia tidak tahu alamatnya di mana,” katanya. Polem terpaksa mengirim duit, karena sangat butuh, sebab ingin cepat-cepat punya lembaga pendidikan.
Setelah itu, baru surat yang ditunggunya sampai dua tahun itu pun tiba dengan selamat yang diantarkan seorang tukang pos. Polem sangat senang menerimanya. Untung saja, si tukang pos tidak meminta uang untuk bisa kembali.(HA 250808)
Tags:
pojok