Tuan

Aceh Teungku, Melayu Abang, Cina Toke, Kaphe Tuan
Ureung Aceh Jak Meuprang, Ureung Padang Jak Meuniaga, Ureung Batak Duek di Ganto, nyang Meu-ato syit ureung Jawa

Ungkapan-ungkapan di atas sering diucapkan oleh orang Aceh. Ungkapan pertama dimaksudkan lebih untuk menunjukkan identitas sosial orang Aceh, sementara ungkapan kedua untuk mempertegas eksistensi diri orang Aceh. Ada nilai-nilai ideologis yang tersembunyi dari kedua ungkapan di atas. Sama-sama bermuara pada peneguhan sikap dan semangat.

Namun, pada ungkapan pertama, sepertinya ada identitas hegemonik, terbaca pada kata Teungku. Ada upaya penghilangan identitas kelompok sosial lain. Seperti diketahui, di Aceh tak hanya ada gelar Teungku (Tgk), merujuk kepada orang yang memiliki pengetahuan lebih, terutama terhadap masalah-masalah keagamaan, melainkan ada dua kelompok lain yang juga memegang peranan penting di Aceh, yaitu Teuku (kelompok Ulee Balang/Ampon), dan Tuanku. 

Sebutan Teungku merujuk kepada ulama dan sangat populer saat konflik sosial terjadi di bumi Aceh, melawan kalangan Teuku atau Ulee Balang. Dalam sejarah, kita mengenal konflik tersebut dengan nama Prang Cumbok

Ulee Balang dapat disebut mewakili kelompok umara atau pemerintahan, atau semacam tuan tanah seperti di Inggris abad Pertengahan yang dikenal dengan Lord, sementara Tuanku merupakan gelar bangsawan, atau gelar untuk para raja/sultan yang ratusan tahun memerintah kerajaan Aceh Darussalam.

Entah benar atau tidak (tanpa bermaksud mengajak pembaca membuka kembali lambang GAM), pada lambang GAM atau lambang Buraq Singa, terdapat huruf T, yang menunjukkan keinginan Wali Nanggroe Hasan Tiro untuk menyatukan tiga golongan strata sosial di Aceh. Saya sendiri tidak tahu tujuannya untuk apa. 

Tetapi, sepertinya ada semacam keyakinan, bahwa jika ketiga golongan ini (Teungku, Tuanku, dan Teuku) mampu dipersatukan, tak sulit mencapai cita-cita yang dicetuskan oleh proklamator GAM. Saya juga tidak tahu, apakah ketidakberhasilan GAM selama ini mewujudkan cita-citanya ada hubungannya dengan belum berhasilnya menyatukan ketiga kelompok tersebut? Jawabannya ada pada kita masing-masing.

Tetapi, seperti kita singgung di atas, semua identitas di atas, seperti Teungku, Teuku atau Teungku bisa memberi warna bagi orang yang menggunakannya. Dulu, saat masih berkecamuknya Aceh, para pimpinan GAM rata-rata disapa dengan Teungku atau Abu. Malah, ada beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda di Aceh yang juga memanggil untuk sesame dengan sebutan Teungku. Hal tersebut, dianggap lebih akrab, lebih emosional, khususnya dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Dari sebutan-sebutan tersebut, menunjukkan orang Aceh sebagai sebuah bangsa yang cukup Pede (percaya diri) atau memiliki martabat. Sebutan-sebutan tersebut, pada praktiknya, tak hanya membuat si pengguna sebutan merasa perlu menjaga marwahnya, melainkan juga mengilhaminya dalam hal berpakaian.

Soal menjaga marwah yang tercermin dari sebutan, sebenarnya sudah ditanam sejak masih kecil. Sejak kanak-kanak (terutama di kampung), misalnya, sudah diajari untuk menjawab panggilan dengan menjawab: nyoe pat lon tuan. Kalau dipanggil nama, si anak harus menjawab: na ulon tuan. Sebutan serupa dapat ditemukan juga ketika seseorang sedang berbicara di depan umum seperti ucapannya, ulon tuan ateuh nan…mengucapkan…dst. Jawaban atau pernyataan ini seperti mempertegas, bahwa mental sebagai ‘tuan’ sudah ditanamkan sejak kecil untuk orang Aceh. Bukankah ini menunjukkan bahwa sejak dulu orang Aceh diajarkan untuk menampilkan diri bermartabat?

Terakhir, saya berharap agar tulisan ini tidak dipahami sebagai bentuk keinginan untuk menghidupkan paham seperti yang pernah ditunjukkan oleh Hitler, saat mengatakan, bangsa Jerman adalah bangsa teragung yang ditakdirkan memimpin dunia, sebuah paham yang menggiring Hitler membantai bangsa yahudi. Meski, semangatnya kita percaya lebih dekat ke sana. (HA 190808)

Post a Comment

Previous Post Next Post