Besok, 1 Syawal 1429 H atau bertepatan dengan Rabu 1 Oktober 2008, umat Islam kembali merayakan hari raya Idul Fitri, setelah sebulan menunaikan ibadah puasa ramadhan. Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan hari kemenangan setelah sebelumnya bertarung dengan Syaithan untuk menggapai predikat taqwa, sebagaimana dijanjikan Allah, dalam surat Al Baqarah ayat 183.
Idul Fitri, sering disebut sebagai kembalinya manusia ke kesucian atau fitrah. Manusia ibarat seperti bayi yang lahir tanpa noda. Sebab, satu bulan sebelumnya, manusia sudah membakar dosanya melalui berbagai serangkaian ibadah puasa ramadhan. Memasuki Idul Fitir, proses kehidupan manusia, dimulai lagi dari nol.
Namun, selama ini, Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru, kain sarung baru, peci baru, dan semua perkakas rumah baru. Pokoknya, semua serba baru. Akibatnya, praktik pamer pakaian dan perhiasan mewah tak dapat kita hindari, dan dapat kita saksikan saat manusia menunaikan shalat sunat Idul Fitri. Manusia mengagungkan yang namanya materialisme atau kebendaan.
Padahal, selama sebulan penuh, melalui kewajiban puasa ramadhan, manusia dididik menjadi manusia sederhana, melalui perintah makan seperlunya, dan mengutamakan ibadah. Sebab, melalui ibadah puasa, Allah mengetuk hati manusia bahwa ada ciptaan-Nya yang tidak beruntung dalam hidupnya, makan sehari semalam satu kali, atau malah tanpa makan sama sekali. Karenanya, selama bulan puasa, manusia diperlakukan sama oleh Allah, bahwa manusia kaya juga dibatasi makan, terutama pada siang hari.
Melalui pelajaran seperti demikian, Allah melatih dan mengajarkan manusia untuk peduli kepada sesame, tak hanya melalui kewajiban menahan diri agar tidak terkontaminasi dengan perilaku materialis dan konsumeris, melainkan juga melalui ujian selanjutnya, bahwa Allah ingin menyaksikan jiwa kemanusiaan manusia. Allah hendak menyaksikan, apakah manusia benar-benar peduli satu sama lain atau tidak, melalui kewajiban membayar zakat fitrah.
Kewajiban membayar zakat fitrah, merupakan ujian, apakah selama sebulan penuh manusia mampu mendidiknya menjadi manusia yang peduli kepada sesame atau tidak. Karena, kewajiban membayar zakat fitrah merupakan manifestasi dari kemauan merasakan kepedihan hidup sebagaimana dirasakan oleh manusia yang kurang beruntung dalam hidup. Bukankah, selama sebulan penuh, semua manusia sudah dilarang makan pada siang hari, atau jadwal makan manusia sudah diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak menjadi rakus?
Karena itu, jika sifat materialism yang melekat pada diri manusia yang tidak pernah mengenal kata puas, belum juga berubah, maka esensi puasa ramadhan sudah gagal dilaluinya. Manusia seperti ini belum layak merayakan hari kemenangan, karena ibadah puasanya belum memberikan pengaruh apapun.
Jika demikian halnya, maka sebenarnya kita tidak berhak merayakan hari kemenangan, karena ternyata kita telah kalah dalam pertarungan selama sebulan penuh. Sebab, puasa ternyata telah gagal mendidik kita menjadi manusia yang peduli pada sesama. Apalagi, jika selepas puasa, tak terlihat sama sekali perubahan sebagai modal melewati hari-hari mendatang menjadi lebih baik, tidak ada dendam, tidak ada permusuhan, tidak ada sifat dengki.
Pun begitu, terlepas berbagai kelebihan dan kekurangan kita selama sebulan penuh menunaikan ibadah puasa ramadhan, tak salahnya jika menatap hari kemenangan dengan dengan penuh optimisme, karena kita kembali lagi ke kesucian atau fitrah. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, Minal Aidzin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan bathin. (HA 300908)
Idul Fitri, sering disebut sebagai kembalinya manusia ke kesucian atau fitrah. Manusia ibarat seperti bayi yang lahir tanpa noda. Sebab, satu bulan sebelumnya, manusia sudah membakar dosanya melalui berbagai serangkaian ibadah puasa ramadhan. Memasuki Idul Fitir, proses kehidupan manusia, dimulai lagi dari nol.
Namun, selama ini, Idul Fitri sering diidentikkan dengan pakaian baru, kain sarung baru, peci baru, dan semua perkakas rumah baru. Pokoknya, semua serba baru. Akibatnya, praktik pamer pakaian dan perhiasan mewah tak dapat kita hindari, dan dapat kita saksikan saat manusia menunaikan shalat sunat Idul Fitri. Manusia mengagungkan yang namanya materialisme atau kebendaan.
Padahal, selama sebulan penuh, melalui kewajiban puasa ramadhan, manusia dididik menjadi manusia sederhana, melalui perintah makan seperlunya, dan mengutamakan ibadah. Sebab, melalui ibadah puasa, Allah mengetuk hati manusia bahwa ada ciptaan-Nya yang tidak beruntung dalam hidupnya, makan sehari semalam satu kali, atau malah tanpa makan sama sekali. Karenanya, selama bulan puasa, manusia diperlakukan sama oleh Allah, bahwa manusia kaya juga dibatasi makan, terutama pada siang hari.
Melalui pelajaran seperti demikian, Allah melatih dan mengajarkan manusia untuk peduli kepada sesame, tak hanya melalui kewajiban menahan diri agar tidak terkontaminasi dengan perilaku materialis dan konsumeris, melainkan juga melalui ujian selanjutnya, bahwa Allah ingin menyaksikan jiwa kemanusiaan manusia. Allah hendak menyaksikan, apakah manusia benar-benar peduli satu sama lain atau tidak, melalui kewajiban membayar zakat fitrah.
Kewajiban membayar zakat fitrah, merupakan ujian, apakah selama sebulan penuh manusia mampu mendidiknya menjadi manusia yang peduli kepada sesame atau tidak. Karena, kewajiban membayar zakat fitrah merupakan manifestasi dari kemauan merasakan kepedihan hidup sebagaimana dirasakan oleh manusia yang kurang beruntung dalam hidup. Bukankah, selama sebulan penuh, semua manusia sudah dilarang makan pada siang hari, atau jadwal makan manusia sudah diatur sedemikian rupa, agar manusia tidak menjadi rakus?
Karena itu, jika sifat materialism yang melekat pada diri manusia yang tidak pernah mengenal kata puas, belum juga berubah, maka esensi puasa ramadhan sudah gagal dilaluinya. Manusia seperti ini belum layak merayakan hari kemenangan, karena ibadah puasanya belum memberikan pengaruh apapun.
Jika demikian halnya, maka sebenarnya kita tidak berhak merayakan hari kemenangan, karena ternyata kita telah kalah dalam pertarungan selama sebulan penuh. Sebab, puasa ternyata telah gagal mendidik kita menjadi manusia yang peduli pada sesama. Apalagi, jika selepas puasa, tak terlihat sama sekali perubahan sebagai modal melewati hari-hari mendatang menjadi lebih baik, tidak ada dendam, tidak ada permusuhan, tidak ada sifat dengki.
Pun begitu, terlepas berbagai kelebihan dan kekurangan kita selama sebulan penuh menunaikan ibadah puasa ramadhan, tak salahnya jika menatap hari kemenangan dengan dengan penuh optimisme, karena kita kembali lagi ke kesucian atau fitrah. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, Minal Aidzin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan bathin. (HA 300908)
Tags:
editorial