Setiap saya ketemu kawan lama, baik yang saya kenal dalam politik maupun dalam gerakan, mereka selalu memberondong saya dengan sejumlah pertanyaan. Kadang-kadang saya malas diberondong dengan pertanyaan umum seperti itu. Semua orang bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Meurumpok lumboi padum untuk caleg, atau Eik dari DP toh?” Karena bukan ditanyakan dalam sebuah forum, atau saat berkumpul ramai-ramai, maka setiap saat saya harus mempersiapkan jawaban. Umumnya, jawaban saya sama, meski pada kawan yang berbeda.
Saya cukup enjoy menjawab begini, “Jangankan dapat nomor, partai saja saya tak punya!” Biasanya, begitu mendengar jawaban tersebut, ada kawan langsung diam, tidak tahu harus bertanya apalagi. Namun, ada juga kawan yang sudah cukup lama saya kenal, bukan dalam politik, mereka mencoba mencari tahu, kenapa saya tidak naik jadi calon, sebab menurut mereka, banyak dari kawan saya yang sedang bersemangatnya ingin menikmati empuknya kursi dewan. Malah, sebagian sudah mencoba mencari tahu di mana letak rumahnya di komplek dewan di kawasan Jalan Kebun Raja, Ulee Kareng, jika jadi anggota dewan nantinya.
Mendapat pertanyaan selidik seperti itu, saya cukup puas menjawab begini, “Apa sih hebatnya jadi anggota dewan?” tanya saya. Saya juga sering mengatakan bahwa saya tidak berminat, karena itu kenapa saya mengambil cuti dari dunia politik. Singkatnya, saya sekarang sudah taubat berpolitik. Saya pribadi belum siap berpolitik sesama kawan. Itu saja. Syukur jika mereka menghargai keputusan saya, dan memaklumi langkah yang saya tempuh.
Sebab, seperti saya dengar, entah benar atau tidak, saya tidak tahu pasti, bahwa ada sebagian kawan-kawan saya hampir berantam gara-gara penentuan nomor urut caleg. Malah, ada yang memilih mengundurkan diri dari caleg. Dalam sosialisasi di daerah pemilihan (DP), ada kawan-kawan yang sudah saling menjatuhkan satu sama lain, meski mereka satu partai. Saya hanya bisa mengurut dada mendengarnya. Sebab, seharusnya, bukankah caleg dari partai lain yang harus dianggap sebagai lawan, bukan caleg sesama partai? Semakin lama mengamati fenomena seperti ini, saya semakin maklum, bahwa dalam politik butuh kedewasaan. Dalam politik dibutuhkan kesabaran, dan juga kadang-kadang akal busuk. Saya sendiri belum siap seperti itu.
Saya percaya, bahwa dalam politik berlaku rumus menghalalkan segala cara. Dalam politik berlaku pertanyaan umum, siapa mendapatkan apa, dan bagaimana mendapatkannya? Jarang kita mendengar dalam politik berlaku rumus, siapa memberikan apa, dan bagaimana memberikannya. Sebab, yang kita tahu, untuk mendapatkan sesuatu, semua cara jadi halal dilakukan. Apalagi dalam politik asas moral jarang berlaku.
Jika fenomena persaingan sesama caleg satu partai dan saling melakukan pembusukan, bukankah fatwa Machievalli selalu aktual untuk dikutip bahwa ‘tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan sejati’.
Makanya, kepada kawan-kawan yang mendakwa saya, saya selalu bilang, bahwa di partai politik sekarang itu lebih banyak bercokol orang-orang pecundang. Meski mereka berlagak sudah jadi orang sukses, sebab sudah terdaftar sebagai caleg, tetapi sebenarnya adalah mereka tetap sebagai pecundang. Kesuksesan mereka tak lebih karena berlindung di balik baju nama partai yang sudah dikenal sebelumnnya. Jadi, mereka bukanlah orang-orang sukses, seperti diperlihatkan dalam setiap kesempatan. Sebab, seperti pernah disampaikan oleh Brian Tracy, pakar motivasi, orang yang sukses selalu mencari kesempatan untuk menolong orang lain, sedangkan seorang pecundang akan selalu berkata, "Apakah itu untuk saya?"
Karena itu, wajar jika saya merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan kawan-kawan, sebab pertanyaan mereka itu sudah salah alamat. Di samping saya tidak punya partai, saya juga belum berminat jadi anggota dewan. Saya masih puas menikmati profesi yang saya idam-idamkan sejak dulu sebagai penulis. Ya…saya lebih puas menikmati kemerdekaan sebagai penulis. Jika pun saya menulis, sama sekali tidak memiliki beban, sebab saya tidak punya kepentingan apa-apa. Jadi, kepada pembaca yang merasa terganggu dengan tulisan saya, karena dianggap memojokkan seseorang atau sebuah partai, itu sama sekali bukan karena saya punya keinginan menghancurkan partai tersebut. Sebab, sikap saya sudah bulat, saya tidak memiliki pilihan pada Pemilu 2009. Itu saja. (HA 190908)
Saya cukup enjoy menjawab begini, “Jangankan dapat nomor, partai saja saya tak punya!” Biasanya, begitu mendengar jawaban tersebut, ada kawan langsung diam, tidak tahu harus bertanya apalagi. Namun, ada juga kawan yang sudah cukup lama saya kenal, bukan dalam politik, mereka mencoba mencari tahu, kenapa saya tidak naik jadi calon, sebab menurut mereka, banyak dari kawan saya yang sedang bersemangatnya ingin menikmati empuknya kursi dewan. Malah, sebagian sudah mencoba mencari tahu di mana letak rumahnya di komplek dewan di kawasan Jalan Kebun Raja, Ulee Kareng, jika jadi anggota dewan nantinya.
Mendapat pertanyaan selidik seperti itu, saya cukup puas menjawab begini, “Apa sih hebatnya jadi anggota dewan?” tanya saya. Saya juga sering mengatakan bahwa saya tidak berminat, karena itu kenapa saya mengambil cuti dari dunia politik. Singkatnya, saya sekarang sudah taubat berpolitik. Saya pribadi belum siap berpolitik sesama kawan. Itu saja. Syukur jika mereka menghargai keputusan saya, dan memaklumi langkah yang saya tempuh.
Sebab, seperti saya dengar, entah benar atau tidak, saya tidak tahu pasti, bahwa ada sebagian kawan-kawan saya hampir berantam gara-gara penentuan nomor urut caleg. Malah, ada yang memilih mengundurkan diri dari caleg. Dalam sosialisasi di daerah pemilihan (DP), ada kawan-kawan yang sudah saling menjatuhkan satu sama lain, meski mereka satu partai. Saya hanya bisa mengurut dada mendengarnya. Sebab, seharusnya, bukankah caleg dari partai lain yang harus dianggap sebagai lawan, bukan caleg sesama partai? Semakin lama mengamati fenomena seperti ini, saya semakin maklum, bahwa dalam politik butuh kedewasaan. Dalam politik dibutuhkan kesabaran, dan juga kadang-kadang akal busuk. Saya sendiri belum siap seperti itu.
Saya percaya, bahwa dalam politik berlaku rumus menghalalkan segala cara. Dalam politik berlaku pertanyaan umum, siapa mendapatkan apa, dan bagaimana mendapatkannya? Jarang kita mendengar dalam politik berlaku rumus, siapa memberikan apa, dan bagaimana memberikannya. Sebab, yang kita tahu, untuk mendapatkan sesuatu, semua cara jadi halal dilakukan. Apalagi dalam politik asas moral jarang berlaku.
Jika fenomena persaingan sesama caleg satu partai dan saling melakukan pembusukan, bukankah fatwa Machievalli selalu aktual untuk dikutip bahwa ‘tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan sejati’.
Makanya, kepada kawan-kawan yang mendakwa saya, saya selalu bilang, bahwa di partai politik sekarang itu lebih banyak bercokol orang-orang pecundang. Meski mereka berlagak sudah jadi orang sukses, sebab sudah terdaftar sebagai caleg, tetapi sebenarnya adalah mereka tetap sebagai pecundang. Kesuksesan mereka tak lebih karena berlindung di balik baju nama partai yang sudah dikenal sebelumnnya. Jadi, mereka bukanlah orang-orang sukses, seperti diperlihatkan dalam setiap kesempatan. Sebab, seperti pernah disampaikan oleh Brian Tracy, pakar motivasi, orang yang sukses selalu mencari kesempatan untuk menolong orang lain, sedangkan seorang pecundang akan selalu berkata, "Apakah itu untuk saya?"
Karena itu, wajar jika saya merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan kawan-kawan, sebab pertanyaan mereka itu sudah salah alamat. Di samping saya tidak punya partai, saya juga belum berminat jadi anggota dewan. Saya masih puas menikmati profesi yang saya idam-idamkan sejak dulu sebagai penulis. Ya…saya lebih puas menikmati kemerdekaan sebagai penulis. Jika pun saya menulis, sama sekali tidak memiliki beban, sebab saya tidak punya kepentingan apa-apa. Jadi, kepada pembaca yang merasa terganggu dengan tulisan saya, karena dianggap memojokkan seseorang atau sebuah partai, itu sama sekali bukan karena saya punya keinginan menghancurkan partai tersebut. Sebab, sikap saya sudah bulat, saya tidak memiliki pilihan pada Pemilu 2009. Itu saja. (HA 190908)
Tags:
pojok