Dalam beberapa hari ini, Aceh kembali bergeliat dan semarak. Seperti sembilan tahun yang lalu, ribuan orang tumpah ruah ke Banda Aceh. Tapi, kehadiran massa yang diduga mencapai ratusan ribu orang tersebut bukan untuk membuat sebuah revolusi damai, atau sedang melampiaskan amarah pada negera. Massa yang datang tersebut murni untuk menyambut seorang pencetus ‘revolusi’ Tgk Hasan Muhammad Di Tiro.
Namun, kehadiran massa yang menyerupai pawai Referendum tahun 1999 lalu membuat kita merenung, apakah rakyat Aceh masih butuh sebuah revolusi? Sebab, seperti sering kita dengar dan baca, dalam revolusi, kerap meminta lebih banyak korban. Bakal ada darah yang tumpah. Harga termahal yang mesti dibayar sering berbentuk nyawa manusia. Lalu, sudah siapkah rakyat Aceh mengorbankan nyawa untuk kesekian kali, demi sebuah revolusi yang tak kunjung sampai tersebut?
Ataukah kehadiran massa dalam jumlah besar ke Aceh tersebut hanyalah ekspresi kerinduan rakyat yang mendalam akan sosok Hasan Tiro? Terpengaruhkah mereka dengan ideologi yang puluhan tahun ditanamnya tersebut, atau sekedar ingin melihat bagaimana sosok pencetus ide merdeka tersebut dari dekat? Yang pasti, massa yang hadir tersebut bukan massa liar, tanpa satu komando. Meski komando sekarang adalah memuliakan orang yang baru pulang dari jauh.
Di Gampong saja, jika ada orang pulang dari jauh, setelah puluhan tahun meninggalkan Gampong juga dimuliakan, dengan dipeusijuek, tanda kemuliaan. Jadi, bagi kita wajar jika antusiasme warga menyambut Hasan Tiro sangat luar biasa. Namun, saya melihat ada pemandangan aneh, yang diperlihatkan massa yang berjubel-jubel di atas mobil tersebut. Mereka bukan membawa bendera GAM, seperti geunareh Hasan Tiro yang dikenal Wali Nanggroe tersebut, melainkan bendera sebuah partai lokal. Lalu, apakah Wali pulang demi partai lokal tersebut?
Sebab, banyak orang berharap, Wali Nanggroe, tak menjadi monopoli satu kelompok saja. Wali adalah aset berharga rakyat Aceh, karena berjasa membuka mata orang Aceh tentang sejarah negerinya. Wali Nanggroe sudah menjadi milik rakyat Aceh, apakah dia itu GAM, PNS, Ulama, Apa Mae, Apa Suman, atau siapa saja yang tergerak hatinya setelah membaca tulisan-tulisan penuh spirit dari Wali.
Lalu, apa maksud orang ke Banda Aceh membawa hanya satu warna bendera saja. Di mana warna itu pun sudah jauh berbeda dengan lambang yang dulu dikeramatkan oleh Wali dan pengikutnya. Sebab, bendera yang dibawa oleh orang yang pergi ke Banda Aceh, warnanya saja yang menyerupai. Bukankah itu bentuk hegemoni dan upaya mengotak-kotak rakyat Aceh. Padahal, seperti kita tahu, Wali berkeinginan menyatukan rakyat Aceh, dengan menyebut ‘Bansa Aceh’. Sebab, yang disebut ‘Bansa Aceh’, bisa dari bermacam-macam golongan, ada Teungku, Teuku dan Tuanku, dan bermacam elemen lainnya. Tanpa persatuan seperti itu, cita-cita yang dulu diperjuangkan Wali sulit dicapai.
Hanya itu yang saya takutkan. Sebab, jika sampai Wali nanti bertanya, kenapa Aceh yang dicita-citakan menyatu dalam barisannya tanpa satu kelompok pun merasa paling kuasa dan berjasa kini justru terpecah, siapa yang akan menjawabnya? Jika sampai Wali bertanya, kenapa ada Partai ini dan partai itu, padahal dulu sama-sama berjuang meski dengan cara berbeda, tapi sekarang sedang bersiap-siap menumpahkah darah, siapa yang sanggup menjawabnya?
Bukankah orang yang pulang dari jauh, apalagi dalam waktu yang sangat lama, pasti ingin mendengar cerita-cerita yang baik-baik saja? Sebab, jika orang yang baru pulang dari jauh mendengar kisah-kisah yang tidak baik, niatnya untuk bertahan dan tetap tinggal pasti berkurang. Mereka pulang biasanya karena mengharapkan ada suasana baru yang membuatnya tenang. Namun, jika yang disaksikannya adalah kehancuran, apa yang akan terjadi? Apalagi jika puluhan tahun dia sudah berjuang untuk membuat rakyat negerinya bersatu, berperadaban dan bermartabat, tiba-tiba sedang terpecah dan saling meu-klok-klok satu sama lain. Apa yang akan terjadi? Karena itu, saya berharap, perlihatkanlah hal-hal baik pada Wali Nanggroe, agar beliau tidak wueh hate melihat Aceh. (HA 111008)
Ataukah kehadiran massa dalam jumlah besar ke Aceh tersebut hanyalah ekspresi kerinduan rakyat yang mendalam akan sosok Hasan Tiro? Terpengaruhkah mereka dengan ideologi yang puluhan tahun ditanamnya tersebut, atau sekedar ingin melihat bagaimana sosok pencetus ide merdeka tersebut dari dekat? Yang pasti, massa yang hadir tersebut bukan massa liar, tanpa satu komando. Meski komando sekarang adalah memuliakan orang yang baru pulang dari jauh.
Di Gampong saja, jika ada orang pulang dari jauh, setelah puluhan tahun meninggalkan Gampong juga dimuliakan, dengan dipeusijuek, tanda kemuliaan. Jadi, bagi kita wajar jika antusiasme warga menyambut Hasan Tiro sangat luar biasa. Namun, saya melihat ada pemandangan aneh, yang diperlihatkan massa yang berjubel-jubel di atas mobil tersebut. Mereka bukan membawa bendera GAM, seperti geunareh Hasan Tiro yang dikenal Wali Nanggroe tersebut, melainkan bendera sebuah partai lokal. Lalu, apakah Wali pulang demi partai lokal tersebut?
Sebab, banyak orang berharap, Wali Nanggroe, tak menjadi monopoli satu kelompok saja. Wali adalah aset berharga rakyat Aceh, karena berjasa membuka mata orang Aceh tentang sejarah negerinya. Wali Nanggroe sudah menjadi milik rakyat Aceh, apakah dia itu GAM, PNS, Ulama, Apa Mae, Apa Suman, atau siapa saja yang tergerak hatinya setelah membaca tulisan-tulisan penuh spirit dari Wali.
Lalu, apa maksud orang ke Banda Aceh membawa hanya satu warna bendera saja. Di mana warna itu pun sudah jauh berbeda dengan lambang yang dulu dikeramatkan oleh Wali dan pengikutnya. Sebab, bendera yang dibawa oleh orang yang pergi ke Banda Aceh, warnanya saja yang menyerupai. Bukankah itu bentuk hegemoni dan upaya mengotak-kotak rakyat Aceh. Padahal, seperti kita tahu, Wali berkeinginan menyatukan rakyat Aceh, dengan menyebut ‘Bansa Aceh’. Sebab, yang disebut ‘Bansa Aceh’, bisa dari bermacam-macam golongan, ada Teungku, Teuku dan Tuanku, dan bermacam elemen lainnya. Tanpa persatuan seperti itu, cita-cita yang dulu diperjuangkan Wali sulit dicapai.
Hanya itu yang saya takutkan. Sebab, jika sampai Wali nanti bertanya, kenapa Aceh yang dicita-citakan menyatu dalam barisannya tanpa satu kelompok pun merasa paling kuasa dan berjasa kini justru terpecah, siapa yang akan menjawabnya? Jika sampai Wali bertanya, kenapa ada Partai ini dan partai itu, padahal dulu sama-sama berjuang meski dengan cara berbeda, tapi sekarang sedang bersiap-siap menumpahkah darah, siapa yang sanggup menjawabnya?
Bukankah orang yang pulang dari jauh, apalagi dalam waktu yang sangat lama, pasti ingin mendengar cerita-cerita yang baik-baik saja? Sebab, jika orang yang baru pulang dari jauh mendengar kisah-kisah yang tidak baik, niatnya untuk bertahan dan tetap tinggal pasti berkurang. Mereka pulang biasanya karena mengharapkan ada suasana baru yang membuatnya tenang. Namun, jika yang disaksikannya adalah kehancuran, apa yang akan terjadi? Apalagi jika puluhan tahun dia sudah berjuang untuk membuat rakyat negerinya bersatu, berperadaban dan bermartabat, tiba-tiba sedang terpecah dan saling meu-klok-klok satu sama lain. Apa yang akan terjadi? Karena itu, saya berharap, perlihatkanlah hal-hal baik pada Wali Nanggroe, agar beliau tidak wueh hate melihat Aceh. (HA 111008)
Tags:
pojok