Sabtu (1/11) lalu, kita kembali disuguhkan permainan bola yang dipadukan adegan kekerasan, saat pertandingan Persiraja Banda Aceh versus Persikab Bandung dan PSAP Sigli versus Persikabo Bogor, seperti diberitakan Harian ini, Minggu (2/11). Kekerasan atau kerusuhan dipicu oleh kepemimpinan wasit yang dinilai bertindak tak adil dalam memimpin pertandingan. Tapi pertanyaan kita, apakah kerusuhan tersebut murni hanya karena ketidakadilan sang wasit dalam memimpin ataukah itu hanyalah secuil dari potret buruk persepakbolaan tanah air?
Seperti diberitakan Harian ini, pertandingan PSAP versus Persikabo berakhir rusuh setelah wasit menghadiahi penalti untuk tim tamu. Keputusan wasit akhirnya berbuntut protes dari official PSAP yang tidak menerima keputusan tersebut, dan berujung pada mengamuknya para pendukung PSAP. Akibatnya pertandingan dihentikan. Sementara dalam laga Persiraja versus Persikab, terjadi insiden kecil berupa pemukulan terhadap hakim garis ketika gol yang dilesakkan pemain tim tamu dianulir wasit karena pemain Persikab dalam posisi offside sebelum tercipta gol.
Kedua insiden tersebut terjadi tak terlepas dari tidak berwibawanya keputusan wasit yang memimpin pertandingan. Padahal, di Negara maju seperti Eropa dan Amerika, setiap keputusan wasit meskipun merugikan, tetap diterima, tanpa diwarnai insiden. Keputusan wasit dinilai tak adil dan merugikan, biasanya digugat atau dilaporkan kepada federasi sepakbola. Sementara di negeri kita, setiap keputusan wasit langsung digugat di lapangan, dan ujung-ujungnya rusuh.
Kita tidak mengerti, apakah ini ada hubungannya dengan budaya negeri kita yang selalu menganggap kekerasan bisa menyelesaikan masalah? Coba lihat saja, tidak di pertandingan sepakbola yang menjunjung tinggi sportifitas, namun di gedung dewan pun praktik kekerasan berupa saling tonjok dan tinju selalu terjadi, dan menjadi tontotan rakyat yang menyebalkan. Padahal, negeri kita dikenal dengan sifat keramah-tamahan, anehnya sifat seperti itu tak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, tak juga di gedung dewan yang ‘katanya’ terhormat.
Makanya, kenapa sepakbola di negeri kita tak pernah maju-maju. Sebab, di sini tak berlaku asas fairplay dan menjunjung tinggi sportifitas. Tak ada keinginan, baik dari pihak pemain, wasit, official tim maupun federasi sepakbola seperti PSSI untuk memajukan permainan yang digilai semua orang. Para wasit atau tim-tim besar selalu bisa menyogok wasit atau panitia pertandingan untuk memenangkan suatu tim. Meski diakui, tak semua kondisi tersebut semata-mata kesalahan wasit semata, karena pengurus PSSI menjadi sumber masalah yang membuat kondisi persepakbolaan kita begitu carut-marut.
Belum lekang dalam ingatan kita bagaimana kepengurusan PSSI yang berselemak dengan perilaku korup, seperti kasus yang menimpa Nurdin Halid. Sampai-sampai FIFA tidak mengakui kepemimpinan Nurdin, dan meminta PSSI membuat pemilihan ketua umum baru. Kepemimpinan Nurdin Halid dipandang cacat, dan organisasi sepakbola kita dipandang sebelah mata di dunia. Hal itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan sepakbola tanah air, khususnya dalam meningkatkan mutu permainan para pemain agar bisa berkiprah di tingkat internasional.
Karenanya, kita sangat berharap, agar ke depan, manajemen organisasi sepakbola terus dibenahi, termasuk pemantapan kepemimpinan wasit agar benar-benar menjunjung keadilan dalam memimpin sebuah pertandingan. Kepemimpinan wasit yang buruk, akan melahirkan aksi anarkis, dan mencoreng nama baik persepakbolaan negeri ini, yang pada akhirnya membuat sepakbola tanah air tak pernah maju. (HA 031108)
Seperti diberitakan Harian ini, pertandingan PSAP versus Persikabo berakhir rusuh setelah wasit menghadiahi penalti untuk tim tamu. Keputusan wasit akhirnya berbuntut protes dari official PSAP yang tidak menerima keputusan tersebut, dan berujung pada mengamuknya para pendukung PSAP. Akibatnya pertandingan dihentikan. Sementara dalam laga Persiraja versus Persikab, terjadi insiden kecil berupa pemukulan terhadap hakim garis ketika gol yang dilesakkan pemain tim tamu dianulir wasit karena pemain Persikab dalam posisi offside sebelum tercipta gol.
Kedua insiden tersebut terjadi tak terlepas dari tidak berwibawanya keputusan wasit yang memimpin pertandingan. Padahal, di Negara maju seperti Eropa dan Amerika, setiap keputusan wasit meskipun merugikan, tetap diterima, tanpa diwarnai insiden. Keputusan wasit dinilai tak adil dan merugikan, biasanya digugat atau dilaporkan kepada federasi sepakbola. Sementara di negeri kita, setiap keputusan wasit langsung digugat di lapangan, dan ujung-ujungnya rusuh.
Kita tidak mengerti, apakah ini ada hubungannya dengan budaya negeri kita yang selalu menganggap kekerasan bisa menyelesaikan masalah? Coba lihat saja, tidak di pertandingan sepakbola yang menjunjung tinggi sportifitas, namun di gedung dewan pun praktik kekerasan berupa saling tonjok dan tinju selalu terjadi, dan menjadi tontotan rakyat yang menyebalkan. Padahal, negeri kita dikenal dengan sifat keramah-tamahan, anehnya sifat seperti itu tak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, tak juga di gedung dewan yang ‘katanya’ terhormat.
Makanya, kenapa sepakbola di negeri kita tak pernah maju-maju. Sebab, di sini tak berlaku asas fairplay dan menjunjung tinggi sportifitas. Tak ada keinginan, baik dari pihak pemain, wasit, official tim maupun federasi sepakbola seperti PSSI untuk memajukan permainan yang digilai semua orang. Para wasit atau tim-tim besar selalu bisa menyogok wasit atau panitia pertandingan untuk memenangkan suatu tim. Meski diakui, tak semua kondisi tersebut semata-mata kesalahan wasit semata, karena pengurus PSSI menjadi sumber masalah yang membuat kondisi persepakbolaan kita begitu carut-marut.
Belum lekang dalam ingatan kita bagaimana kepengurusan PSSI yang berselemak dengan perilaku korup, seperti kasus yang menimpa Nurdin Halid. Sampai-sampai FIFA tidak mengakui kepemimpinan Nurdin, dan meminta PSSI membuat pemilihan ketua umum baru. Kepemimpinan Nurdin Halid dipandang cacat, dan organisasi sepakbola kita dipandang sebelah mata di dunia. Hal itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan sepakbola tanah air, khususnya dalam meningkatkan mutu permainan para pemain agar bisa berkiprah di tingkat internasional.
Karenanya, kita sangat berharap, agar ke depan, manajemen organisasi sepakbola terus dibenahi, termasuk pemantapan kepemimpinan wasit agar benar-benar menjunjung keadilan dalam memimpin sebuah pertandingan. Kepemimpinan wasit yang buruk, akan melahirkan aksi anarkis, dan mencoreng nama baik persepakbolaan negeri ini, yang pada akhirnya membuat sepakbola tanah air tak pernah maju. (HA 031108)
Tags:
editorial