Akhirnya kita bisa bernafas lega. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di dua Kabupaten di Aceh, Pidie Jaya dan Subulussalam, berakhir tanpa insiden apapun. Di Pidie Jaya, pasangan M. Gade Salam/M. Yusuf Ibrahim unggul setelah memperoleh 35.674 suara atau 52,71 persen, sementara rivalnya pasangan Yusri Melon hanya meraih 32.005 suara atau 47,28 persen dari 67.679 suara yang masuk ke KIP hingga pukul 20.00 WIB, kemarin.
Tak ada protes atau aksi anarkis. Baik kandidat yang menang maupun yang kalah, menerima hasil pilihan rakyat tersebut dengan lapang dada. Begitulah hendaknya sikap ksatria yang musti ditunjukkan oleh kandidat, bahwa menang dan kalah itu adalah hal biasa dalam sebuah demokrasi.
Yusri “Melon” Yusuf yang pada putaran pertama memperoleh suara terbanyak, menunjukkan sikap bijak dan mengakui kemenangan pihak lawan. Inilah bentuk kedewasaan politik yang hendaknya terus tumbuh subur di Aceh, apalagi ke depan kita akan dihadapkan lagi pada pemilu 2009. Tanpa kedewasaan sikap seperti itu, sulit rasanya kita berharap hadirnya pemimpin yang berkualitas dan menghargai pihak lain. Pengakuan Yusri juga menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama dari sebuah persaingan, melainkan pembelajaran kepada kita untuk lebih bijak dan matang dalam menghadapi suatu persoalan.
Kita begitu senang ketika membaca berita seperti diberitakan Harian ini, kemarin, bahwa Pilkada Pidie Jaya putaran kedua, berlangsung tanpa diwarnai insiden kekerasan. Isu bakal terjadi kekerasan yang berkembang sebelum prosesi pemilihan digelar, juga terbantahkan karena polisi tak menemukan insiden apapun, kecuali pelanggaran ringan. Polisi yang bertindak mengamankan Pilkada juga tak perlu bekerja ekstra mengawasi dan mencurigai masing-masing kandidat. Kedua simpatisan seperti maklum, bahwa pada hari pencoblosan, yang menentukan bukan lagi tim kampanye, melainkan suara rakyat. Untuk ini kita perlu memberi apresiasi kepada polisi, KIP dan juga kepada kedua simpatisan kandidat.
Untuk itu, kepada M. Gade Salam yang sudah memenangi pertarungan ini hendaknya tak langsung menepuk dada. Kemenangan tersebut bukanlah segala-galanya, karena di depan banyak hal yang harus dibenahi di Kabupaten hasil pemekaran dari Pidie tersebut. Janji-janji pada masa kampanye hendaknya bukan menjadi sekedar produk yang Cuma ditawarkan pada masa kampanye untuk menarik simpati. Kemenangan tak berarti apapun ketika berbagai program kerja yang ditawarkan kepada rakyat pada saat kampanye tak ditunaikan.
Selain itu, seorang pemimpin itu haruslah menjadi panutan bagi rakyat banyak. Sebab, perilaku pemimpin setiap saat dipantau oleh rakyat. Jika perilaku pemimpin rusak, jangan berharap rakyat akan menghormati pemimpinnya. Rakyat juga sulit untuk dibenarkan jika sang pemimpin sendiri banyak cela. Kita berharap kesan santun, ramah, dan penuh pesona pemimpin tak hanya menjadi citra yang dijual selama kampanye saja. Karena setiap saat rakyat memantau pemimpinnya. Keteladanan harus dimulai dari atas (pemimpin), bukan dipaksakan dari bawah (rakyat).
Perilaku-perilaku yang sebelumnya tercela dan tidak pantas disandang seorang pemimpin, hendaknya segera ditanggalkan begitu dilantik sebagai Bupati. Jika tidak, kita percaya, rakyat akan mempertanyakan mandat yang sudah diberikan. Karena itu, kita ingin mengingatkan bahwa memenangkan pertarungan menjadi orang nomor satu di Kabupaten pemekaran tersebut bukanlah kemenangan dalam arti yang sesungguhnya. Kemenangan itu adalah sebuah tragedi ketika aspirasi dan keinginan rakyat tak mampu ditunaikan. Untuk beberapa saat mungkin rakyat bisa ditenangkan dengan berbagai janji, tetapi pada akhirnya mereka juga akan tahu, bahwa mereka ternyata salah menjatuhkan pilihan.
Jadi, tak ada salahnya jika sang pemenang merenungi sebait pidato terkenal Abraham Lincoln saat berpidato di Clinton pada 8 September 1858 yang mendapatkan sambutan luar biasa dari warga Amerika: “You can fool all the people some of the time, and some people all of the time, but you cannot fool all the peole all of the time (Anda dapat membodohi seluruh rakyat selama beberapa waktu, dan beberapa orang rakyat buat selama-lamanya, namun Anda tak dapat membodohi seluruh rakyat buat selama-lamanya)”.(HA 191208)
Tak ada protes atau aksi anarkis. Baik kandidat yang menang maupun yang kalah, menerima hasil pilihan rakyat tersebut dengan lapang dada. Begitulah hendaknya sikap ksatria yang musti ditunjukkan oleh kandidat, bahwa menang dan kalah itu adalah hal biasa dalam sebuah demokrasi.
Yusri “Melon” Yusuf yang pada putaran pertama memperoleh suara terbanyak, menunjukkan sikap bijak dan mengakui kemenangan pihak lawan. Inilah bentuk kedewasaan politik yang hendaknya terus tumbuh subur di Aceh, apalagi ke depan kita akan dihadapkan lagi pada pemilu 2009. Tanpa kedewasaan sikap seperti itu, sulit rasanya kita berharap hadirnya pemimpin yang berkualitas dan menghargai pihak lain. Pengakuan Yusri juga menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama dari sebuah persaingan, melainkan pembelajaran kepada kita untuk lebih bijak dan matang dalam menghadapi suatu persoalan.
Kita begitu senang ketika membaca berita seperti diberitakan Harian ini, kemarin, bahwa Pilkada Pidie Jaya putaran kedua, berlangsung tanpa diwarnai insiden kekerasan. Isu bakal terjadi kekerasan yang berkembang sebelum prosesi pemilihan digelar, juga terbantahkan karena polisi tak menemukan insiden apapun, kecuali pelanggaran ringan. Polisi yang bertindak mengamankan Pilkada juga tak perlu bekerja ekstra mengawasi dan mencurigai masing-masing kandidat. Kedua simpatisan seperti maklum, bahwa pada hari pencoblosan, yang menentukan bukan lagi tim kampanye, melainkan suara rakyat. Untuk ini kita perlu memberi apresiasi kepada polisi, KIP dan juga kepada kedua simpatisan kandidat.
Untuk itu, kepada M. Gade Salam yang sudah memenangi pertarungan ini hendaknya tak langsung menepuk dada. Kemenangan tersebut bukanlah segala-galanya, karena di depan banyak hal yang harus dibenahi di Kabupaten hasil pemekaran dari Pidie tersebut. Janji-janji pada masa kampanye hendaknya bukan menjadi sekedar produk yang Cuma ditawarkan pada masa kampanye untuk menarik simpati. Kemenangan tak berarti apapun ketika berbagai program kerja yang ditawarkan kepada rakyat pada saat kampanye tak ditunaikan.
Selain itu, seorang pemimpin itu haruslah menjadi panutan bagi rakyat banyak. Sebab, perilaku pemimpin setiap saat dipantau oleh rakyat. Jika perilaku pemimpin rusak, jangan berharap rakyat akan menghormati pemimpinnya. Rakyat juga sulit untuk dibenarkan jika sang pemimpin sendiri banyak cela. Kita berharap kesan santun, ramah, dan penuh pesona pemimpin tak hanya menjadi citra yang dijual selama kampanye saja. Karena setiap saat rakyat memantau pemimpinnya. Keteladanan harus dimulai dari atas (pemimpin), bukan dipaksakan dari bawah (rakyat).
Perilaku-perilaku yang sebelumnya tercela dan tidak pantas disandang seorang pemimpin, hendaknya segera ditanggalkan begitu dilantik sebagai Bupati. Jika tidak, kita percaya, rakyat akan mempertanyakan mandat yang sudah diberikan. Karena itu, kita ingin mengingatkan bahwa memenangkan pertarungan menjadi orang nomor satu di Kabupaten pemekaran tersebut bukanlah kemenangan dalam arti yang sesungguhnya. Kemenangan itu adalah sebuah tragedi ketika aspirasi dan keinginan rakyat tak mampu ditunaikan. Untuk beberapa saat mungkin rakyat bisa ditenangkan dengan berbagai janji, tetapi pada akhirnya mereka juga akan tahu, bahwa mereka ternyata salah menjatuhkan pilihan.
Jadi, tak ada salahnya jika sang pemenang merenungi sebait pidato terkenal Abraham Lincoln saat berpidato di Clinton pada 8 September 1858 yang mendapatkan sambutan luar biasa dari warga Amerika: “You can fool all the people some of the time, and some people all of the time, but you cannot fool all the peole all of the time (Anda dapat membodohi seluruh rakyat selama beberapa waktu, dan beberapa orang rakyat buat selama-lamanya, namun Anda tak dapat membodohi seluruh rakyat buat selama-lamanya)”.(HA 191208)
Tags:
editorial