Kemunafikan tak hanya 'tersimpan' dalam hati. Di Aceh--di tempat lain juga sama--, kemunafikan dipertontonkan di muka umum. Seolah-olah hendak dipersaksikan pada publik, bahwa kemunafikan merupakan sikap yang juga patut mendapat apresiasi. Parade kemunafikan yang sangat kontras terlihat di spanduk-spanduk kampanye yang dipajang di sembarang tempat. Dalam spanduk tersebut, para caleg tanpa malu-malu mengumbar janji kesejahteraan dan tekad membela kepentingan rakyat jika mereka 'dihadiahi' sebuah kursi.
Kita jarang melihat kata-kata jujur para caleg itu. Seperti, misalnya, jika mereka terpilih, mereka akan mempersetankan masyarakat pemilihnya. Kalimat “pilih saya, karena saya akan membuat anda kembali sengsara,” sangat jarang kita lihat. Yang banyak justru kata-kata yang sangat indah, menyejukkan, dan terkesan akrab dengan rakyat. Setiap membaca bunyi spanduk itu, dalam hati saya bertanya, kenapa mereka mencitrakan diri sangat bersahaja?
Karena tak menemukan jawaban yang tepat, saya memberanikan diri bertanya pada penikmat politik dari negeri cilet-cilet, tetangga negeri antah berantah. "Saya lihat belakangan ini banyak sekali spanduk tebar pesona, gejala apakah ini?" tanya saya heran. Pasalnya, di spanduk-spanduk itu, mereka tak lupa menebarkan senyum, sangat manis, disertai foto wajah yang dibuat sewibawa mungkin, sekaligus 'dipercantik' berkat bantuan Photoshop. Mereka seperti ingin mencitrakan diri, bahwa mereka punya tampang duduk di parlemen, dan berbakat menipu rakyat jika terpilih.
Saya tak harus menunggu lama untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan saya tadi, minimal tidak seperti ketika kita ingin menjumpai pejabat. Si penikmat politik langsung menjawab. Tegas dan lugas. "Itukan calon penipu semua! Mereka tak hanya pura-pura dan pandai menampilkan citra baik, sebab caranya menipu juga sama bagusnya seperti yang mereka lakukan seperti pada spanduk itu." Jawaban luar biasa itu tak saya sangka-sangka. Dan membuat saya merenung, bahwa kesan ramah itu hanyalah strategi, seperti halnya ketika mereka menipu saat terpilih.
Politikus, sebutnya, bukanlah orang bodoh. Mereka tahu kapan berpura-pura dan bersandiwara, dan kapan pula ingin terlihat seperti aulia. Argumentasinya membuat saya semakin bingung mencernanya. Soalnya, pemikiran si penikmat politik itu tak boleh dibilang ide biasa-biasa saja. "Ada resep jitu nggak agar kita terhindar dari tipuan mereka?" saya memotong pembicaraannya. "Kamu jangan pura-pura bodoh, dan bertanya sesuatu jika sudah memiliki jawabannya." sindirnya. Saya kembali diam. Saya selalu tak kuat berdebat dengannya.
Tapi, dia tetap merespon pertanyaan saya. “Caranya, jangan tergoda dengan kata-kata manis di spanduk, sebab kata-kata itu hanya iklan semata. Mereka tidak akan dituntut jika mengingkarinya,” pintanya. Dalam hati saya mengiyakan dan berharap rakyat tidak tergoda dengan janji manis. Kita, rakyat, jangan selamanya tertipu dengan kata-kata manis tapi menipu. Sebab, banyak dari mereka adalah orang-orang yang 'cakap tak serupa bikin.' (HA 050109)
Kita jarang melihat kata-kata jujur para caleg itu. Seperti, misalnya, jika mereka terpilih, mereka akan mempersetankan masyarakat pemilihnya. Kalimat “pilih saya, karena saya akan membuat anda kembali sengsara,” sangat jarang kita lihat. Yang banyak justru kata-kata yang sangat indah, menyejukkan, dan terkesan akrab dengan rakyat. Setiap membaca bunyi spanduk itu, dalam hati saya bertanya, kenapa mereka mencitrakan diri sangat bersahaja?
Karena tak menemukan jawaban yang tepat, saya memberanikan diri bertanya pada penikmat politik dari negeri cilet-cilet, tetangga negeri antah berantah. "Saya lihat belakangan ini banyak sekali spanduk tebar pesona, gejala apakah ini?" tanya saya heran. Pasalnya, di spanduk-spanduk itu, mereka tak lupa menebarkan senyum, sangat manis, disertai foto wajah yang dibuat sewibawa mungkin, sekaligus 'dipercantik' berkat bantuan Photoshop. Mereka seperti ingin mencitrakan diri, bahwa mereka punya tampang duduk di parlemen, dan berbakat menipu rakyat jika terpilih.
Saya tak harus menunggu lama untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan saya tadi, minimal tidak seperti ketika kita ingin menjumpai pejabat. Si penikmat politik langsung menjawab. Tegas dan lugas. "Itukan calon penipu semua! Mereka tak hanya pura-pura dan pandai menampilkan citra baik, sebab caranya menipu juga sama bagusnya seperti yang mereka lakukan seperti pada spanduk itu." Jawaban luar biasa itu tak saya sangka-sangka. Dan membuat saya merenung, bahwa kesan ramah itu hanyalah strategi, seperti halnya ketika mereka menipu saat terpilih.
Politikus, sebutnya, bukanlah orang bodoh. Mereka tahu kapan berpura-pura dan bersandiwara, dan kapan pula ingin terlihat seperti aulia. Argumentasinya membuat saya semakin bingung mencernanya. Soalnya, pemikiran si penikmat politik itu tak boleh dibilang ide biasa-biasa saja. "Ada resep jitu nggak agar kita terhindar dari tipuan mereka?" saya memotong pembicaraannya. "Kamu jangan pura-pura bodoh, dan bertanya sesuatu jika sudah memiliki jawabannya." sindirnya. Saya kembali diam. Saya selalu tak kuat berdebat dengannya.
Tapi, dia tetap merespon pertanyaan saya. “Caranya, jangan tergoda dengan kata-kata manis di spanduk, sebab kata-kata itu hanya iklan semata. Mereka tidak akan dituntut jika mengingkarinya,” pintanya. Dalam hati saya mengiyakan dan berharap rakyat tidak tergoda dengan janji manis. Kita, rakyat, jangan selamanya tertipu dengan kata-kata manis tapi menipu. Sebab, banyak dari mereka adalah orang-orang yang 'cakap tak serupa bikin.' (HA 050109)
Tags:
pojok