Apa guna sebuah kritik, jika yang dikritik tak mendengar? Mereka yang kena kritik bukannya sadar dan lalu berubah, melainkan tambah tak peduli. Bukankah sia-sia saja kita mengkritik, menghujat atau mengajak mereka merenung? Akhirnya, kritik kita layaknya seorang seniman yang mendendangkan syair di (maaf) pantat kerbau, sama sekali tak punya makna.
Saban hari kita mendakwahkan, bahwa kita sudah berdamai, punya pemerintah yang legitimit, dan pemimpin dari golongan kita sendiri. Apa guna? Apakah masih ada yang mendengarnya? Siapa yang tunduk setelah dakwah sangat manusiawi itu? Hampir tak ada. Coba buka halaman surat kabar sekarang, hampir tak pernah absen menulis tentang kekerasan demi kekerasan, perilaku pejabat yang korup, kebijakan yang salah, entah kesalahan apalagi? Kecewakah kita dengan ke-ada-an yang ada?
Kita menulis tentang keburukan, tentang damai, tentang yang seharusnya dan sepatutnya, masihkah bermakna? Bukankah, seperti pernah disampaikan Soe Hok Gie, bahwa kita hanya memperbanyak musuh?
“Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya?” kata Gie seperti dikutip Arief Budiman, dalam kata pengantar untuk buku (alm) Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Arief bercerita, bahwa ketika adiknya (Soe Hok Gie) menghadapi dilema dan pergolatan batin itu, seorang teman Amerikanya mengirim surat. "Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan". Begitu sang teman menulis.
Dalam suasana yang seperti inilah, sambung Arief, adiknya meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Tapi, sebelum berangkat, Gie mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Tindakan itu, bukannya membuat kawan-kawannya yang sama-sama turun ke jalan tahun 1966 menumbangkan kekuasaan orde lama, menjadi sadar. Malah, yang terjadi justru sebaliknya, mereka semakin membenci Gie.
Yang kita alami hari-hari ini, sepertinya mirip dengan yang pernah dialami Gie. Setiap hari kita menulis kisah-kisah indahnya perdamaian, mengkritik setiap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, kita menawarkan solusi bagaimana seharusnya Pemerintah membuat kebijakan. Semakin lama, kita juga menjadi bosan, karena ternyata berita yang kita tulis tak pernah mengubah apapun. Kita seperti berbicara pada kerbau-kerbau liar. Jangankan kita sempat membisikkan sesuatu ke telinganya, melihat kita saja, si kerbau sudah lari terbirit-birit. Beberapa kerbau malah berbalik menyerang kita.
Sekeras apapun yang kita tulis, tetap tak bermakna. Sasaran yang kita kritik juga kadang-kadang mencoba bersikap lunak pada kita, dan lalu menawari kita dengan iming-iming materi. Pertama kita mungkin tidak terlena, tetapi selanjutnya bagaimana? Kita pasti akan berguman, “untuk apa kita menulis tentang kejelekan mereka, bukankah mereka sudah membantu kita?”
Di sisi lain, kita semakin gundah dengan kondisi Nanggroe kita yang semakin tak karuan ini. Membaca Koran membuat kita jadi ragu pada damai yang sudah disemai hampir empat tahun itu. Damai sepertinya sudah hampir layu. Kita pun menjadi percaya, damai yang sempat ditorehkan beberapa waktu lalu hanyalah kepura-puraan semata, sebab Aceh saat itu sedang berkabung. Jika tak berdamai, orang-orang asing itu tak akan mau memberikan bantuannya. Kepura-puraan itu terlihat sekarang, dimana anggota TNI/Polri dan KPA sudah tak malu-malu lagi saling menyerang. Lalu, apa guna kita menulis tentang damai? Karena banyak orang ternyata ‘klo prip’. (HA 010109)
Kita menulis tentang keburukan, tentang damai, tentang yang seharusnya dan sepatutnya, masihkah bermakna? Bukankah, seperti pernah disampaikan Soe Hok Gie, bahwa kita hanya memperbanyak musuh?
“Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya?” kata Gie seperti dikutip Arief Budiman, dalam kata pengantar untuk buku (alm) Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Arief bercerita, bahwa ketika adiknya (Soe Hok Gie) menghadapi dilema dan pergolatan batin itu, seorang teman Amerikanya mengirim surat. "Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan". Begitu sang teman menulis.
Dalam suasana yang seperti inilah, sambung Arief, adiknya meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Tapi, sebelum berangkat, Gie mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Tindakan itu, bukannya membuat kawan-kawannya yang sama-sama turun ke jalan tahun 1966 menumbangkan kekuasaan orde lama, menjadi sadar. Malah, yang terjadi justru sebaliknya, mereka semakin membenci Gie.
Yang kita alami hari-hari ini, sepertinya mirip dengan yang pernah dialami Gie. Setiap hari kita menulis kisah-kisah indahnya perdamaian, mengkritik setiap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, kita menawarkan solusi bagaimana seharusnya Pemerintah membuat kebijakan. Semakin lama, kita juga menjadi bosan, karena ternyata berita yang kita tulis tak pernah mengubah apapun. Kita seperti berbicara pada kerbau-kerbau liar. Jangankan kita sempat membisikkan sesuatu ke telinganya, melihat kita saja, si kerbau sudah lari terbirit-birit. Beberapa kerbau malah berbalik menyerang kita.
Sekeras apapun yang kita tulis, tetap tak bermakna. Sasaran yang kita kritik juga kadang-kadang mencoba bersikap lunak pada kita, dan lalu menawari kita dengan iming-iming materi. Pertama kita mungkin tidak terlena, tetapi selanjutnya bagaimana? Kita pasti akan berguman, “untuk apa kita menulis tentang kejelekan mereka, bukankah mereka sudah membantu kita?”
Di sisi lain, kita semakin gundah dengan kondisi Nanggroe kita yang semakin tak karuan ini. Membaca Koran membuat kita jadi ragu pada damai yang sudah disemai hampir empat tahun itu. Damai sepertinya sudah hampir layu. Kita pun menjadi percaya, damai yang sempat ditorehkan beberapa waktu lalu hanyalah kepura-puraan semata, sebab Aceh saat itu sedang berkabung. Jika tak berdamai, orang-orang asing itu tak akan mau memberikan bantuannya. Kepura-puraan itu terlihat sekarang, dimana anggota TNI/Polri dan KPA sudah tak malu-malu lagi saling menyerang. Lalu, apa guna kita menulis tentang damai? Karena banyak orang ternyata ‘klo prip’. (HA 010109)
Tags:
pojok