Politik Aceh sering (untuk mengatakan tidak selalu) berakhir ‘tragis’. Aceh tak pernah memenangkan perang, dan juga tak pernah kalah perang. Aceh lebih sering mendapatkan hasil seri. Setidaknya, demikian kesimpulan yang dibuat teman saya. Katanya, Aceh adalah keturunan raja-raja talo (kalah). Saya yang mendengarnya tak kuasa mendebat tesisnya yang terasa ganjil dan mungkin tak bisa diverifikasi itu. Saya cenderung mengiyakan saja. Sebab, Saya bukan seorang sejarawan yang mempertanyakan setiap babak dari perjalanan sejarah, sumber, dan juga pelaku.
Seperti sering kita dengar, sejarah selalu ditulis oleh pihak yang menang perang.
Membincangkan soal ini, Saya ingin mengajak pembaca merenungi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim. Dalam film tersebut, perjuangan Cut Nyak berakhir tragis. Cut Nyak ‘dikhianati’ oleh temannya sendiri, Pang Laot, yang sebenarnya merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak. Pengkhianatan Pang Laot, jika boleh disebut pengkhianatan, merupakan murni untuk kemanusiaan. Pengkhianatan dia bukan berangkat dari keyakinan yang keluar dari lubuk hati terdalam, melainkan untuk alasan kemanusiaan. Dia tak tahan melihat penderitaan Cut Nyak Dhien.
Pang Laot, seperti tahu, bahwa melanjutkan perjuangan dengan sisa kekuatan yang sedikit serta kondisi pimpinan yang labil serta sakit, sama saja bunuh diri. Sementara kekuatan musuh semakin bertambah, sangat tidak mungkin melanjutkan perjuangan. Namun, yang namanya pengkhianatan tetaplah pengkhianatan meskipun dilakukan dengan halus dan santun. Setidaknya begitulah pendapat Cut Nyak ketika tahu orang terdekatnya bersekongkol dengan Belanda untuk menangkap dirinya di hutan, meski atas alasan kemanusiaan.
Saya dulu pernah membayangkan, bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah pengkhianatan, meski dilakukan secara halus atas alasan kemanusiaan. Kesimpulan Saya semakin kental setelah menyimak Aceh hari ini, di mana skenarionya jauh meleset dari cita-cita semula. Bukan hanya tuntutan ‘agung’ yang dulu menghipnotis rakyat Aceh harus ditanggalkan, melainkan juga kondisi Aceh tidak menentu. Orang Aceh bertengkar antar sesama, kadangkala untuk alasan yang tidak jelas.
Kondisi Aceh dewasa ini dengan aktor-aktor kunci lebih banyak berperan menjadi si buntong. Mereka seperti dihipnotis untuk larut dalam alam hayal yang sepertinya tak pernah dialami sebelumnya. Orang-orang berlomba-lomba memperkaya diri, tanpa pernah bertanya, apakah itu haknya atau bukan. Cita-cita kaya akhirnya menghilangkan idealisme yang dulu begitu dipuja dan disanjung.
Orang Aceh kemudian menjelma menjadi si buntong ban meurumpok jaroe. Senang bukan main, termasuk mencoba hal-hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Di mana kadangkala memberi efek negatif dirinya. Bukan hanya mantan kombatan, para pejabat juga sama. Mereka seperti hidup dengan selera aneh, dengan keinginan macam-macam yang di luar kewajaran. Sementara rakyat lebih banyak dibiarkan untuk menyaksikan parade ‘pesta’ meurumpok jaroe tanpa mampu melakukan apa. Mereka seperti disindir, “Ini pesta tuan-tuan, bukan pesta kalian”. Para tuan menjadi lupa, bahwa tanpa rakyat, mereka sama sekali tak layak menyebutkan diri tuan.(HA 250109)
Membincangkan soal ini, Saya ingin mengajak pembaca merenungi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim. Dalam film tersebut, perjuangan Cut Nyak berakhir tragis. Cut Nyak ‘dikhianati’ oleh temannya sendiri, Pang Laot, yang sebenarnya merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak. Pengkhianatan Pang Laot, jika boleh disebut pengkhianatan, merupakan murni untuk kemanusiaan. Pengkhianatan dia bukan berangkat dari keyakinan yang keluar dari lubuk hati terdalam, melainkan untuk alasan kemanusiaan. Dia tak tahan melihat penderitaan Cut Nyak Dhien.
Pang Laot, seperti tahu, bahwa melanjutkan perjuangan dengan sisa kekuatan yang sedikit serta kondisi pimpinan yang labil serta sakit, sama saja bunuh diri. Sementara kekuatan musuh semakin bertambah, sangat tidak mungkin melanjutkan perjuangan. Namun, yang namanya pengkhianatan tetaplah pengkhianatan meskipun dilakukan dengan halus dan santun. Setidaknya begitulah pendapat Cut Nyak ketika tahu orang terdekatnya bersekongkol dengan Belanda untuk menangkap dirinya di hutan, meski atas alasan kemanusiaan.
Saya dulu pernah membayangkan, bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah pengkhianatan, meski dilakukan secara halus atas alasan kemanusiaan. Kesimpulan Saya semakin kental setelah menyimak Aceh hari ini, di mana skenarionya jauh meleset dari cita-cita semula. Bukan hanya tuntutan ‘agung’ yang dulu menghipnotis rakyat Aceh harus ditanggalkan, melainkan juga kondisi Aceh tidak menentu. Orang Aceh bertengkar antar sesama, kadangkala untuk alasan yang tidak jelas.
Kondisi Aceh dewasa ini dengan aktor-aktor kunci lebih banyak berperan menjadi si buntong. Mereka seperti dihipnotis untuk larut dalam alam hayal yang sepertinya tak pernah dialami sebelumnya. Orang-orang berlomba-lomba memperkaya diri, tanpa pernah bertanya, apakah itu haknya atau bukan. Cita-cita kaya akhirnya menghilangkan idealisme yang dulu begitu dipuja dan disanjung.
Orang Aceh kemudian menjelma menjadi si buntong ban meurumpok jaroe. Senang bukan main, termasuk mencoba hal-hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan. Di mana kadangkala memberi efek negatif dirinya. Bukan hanya mantan kombatan, para pejabat juga sama. Mereka seperti hidup dengan selera aneh, dengan keinginan macam-macam yang di luar kewajaran. Sementara rakyat lebih banyak dibiarkan untuk menyaksikan parade ‘pesta’ meurumpok jaroe tanpa mampu melakukan apa. Mereka seperti disindir, “Ini pesta tuan-tuan, bukan pesta kalian”. Para tuan menjadi lupa, bahwa tanpa rakyat, mereka sama sekali tak layak menyebutkan diri tuan.(HA 250109)
Tags:
pojok