Soal kehadiran pemantau asing untuk memantau pelaksanaan Pemilu di Aceh, kembali mengundang perdebatan. Ada pihak yang memandang kehadiran pemantau asing sangat dibutuhkan, ada juga yang beranggapan tidak. Pihak yang memandang pemantau asing penting, seperti Gubernur Aceh Irwandi Yusuf berpendapat, bahwa pelaksanaan pemilu di Aceh bagian dari resolusi konflik, dank arena itu perlu hadirnya pemantau asing untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas.
Menurut Irwandi seperti dikutip Harian Aceh, Jumat (13/2), kehadiran pemantau asing untuk mendukung Bawaslu dan Panwaslu dalam melakukan pengawasan. Pemilu di Aceh, kata Irwandi, sangat berbeda dengan pemilu secara nasional. Hal itu tak hanya karena pemilu 2009 merupakan pemilu pascakonflik, melainkan juga diramaikan oleh kehadiran partai politik lokal.
Argumentasi Irwandi sangat beralasan karena menjadi pemilu, eskalasi criminal politik di Aceh terus meningkat dan terjadi setiap hari. Irwandi mencontohkan, aksi criminal yang terjadi menjelang pemilu cukup membuat kita panas dingin. Bayangkan, 14 kantor partai lokal ludes dibakar, 4 granat dilempari terhadap kantor dan rumah pengurus partai, serta lima unit mobil milik Partai Aceh dibakar, belum lagi kasus-kasu pembakaran dan pencurian bendera partai. Dari kasus-kasus tersebut, kata Irwandi, cukup beralasan untuk mengundang pemantau asing.
Sementara pihak yang tidak setuju kehadiran pemantau asing juga memiliki alasan, meski alasan tersebut dalam kacamata kita cukup tendensius. Pernyataan Sekretaris Menko Politik Hukum dan Keamanan (Sesmenko Polhukam) Letjen TNI Rumolo R Tampubolon, misalnya, memandang tidak perlu kehadiran pemantau asing secara khusus di Aceh pada Pemilu Legislatif. Berkebalikan dengan Irwandi yang melihat pemilu di Aceh bagian dari resolusi konflik, Rumolo berpendapat, pemantau asing tidak bisa memberi solusi terhadap kecurangan Pemilu.
“Kalaupun ada pemantau asing, itu masih dalam konteks nasional, tidak khusus Aceh, karena provinsi Aceh tidak beda dengan propinsi lain di Indonesia,” kata Romulo R. Simbolon, Kamis (12/2), di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh.
Menurut dia, kehadiran pemantau asing juga tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi kecurangan pada Pemilu, karena mereka tidak punya wewenang. Mereka hanya bisa memberi penilaian dan pendapat secara umum, tanpa bisa memberi sanksi.
“Jadi untuk memantau Pemilu di seluruh Indonesia cukup dengan mengandalkan serta memberi dukungan kepada Panwaslu dan Bawaslu yang di-back-up polisi dan kejaksaan. Mereka bisa menindak kalau ada kecurangan dan ada payung hukumnya,” tegasnya.
Terlepas dari perdebatan di Aceh, kita tetap memandang, kehadiran pemantau asing di Aceh sangat penting. Bukan hanya semata-mata karena kondisi Aceh yang memburuk, melainkan untuk menghadirkan pesta demokrasi yang berkualitas, dan hasilnya memuaskan semua orang. Karena kita sangat yakin, tanpa kehadiran pemantau asing, berbagai kecurangan dan intimidasi untuk memilih partai tertentu atau menolak partai tertentu pasti akan terjadi. Masyarakat pasti hidup dalam kondisi ketidakpastian karena ‘dipaksa’ untuk melawan hati nuraninya.
Kita percaya, banyak pihak berharap, pesta demokrasi berupa pemilu dengan kehadiran partai lokal tidak begitu disenangi. Kesuksesan pemilu dengan hadirnya partai lokal akan mendorong propinsi lain di Indonesia untuk meminta hal yang sama dengan Aceh. Dapat disebut, pemilu dengan kehadiran partai politik sebuah pertaruhan politik tentang masa depan system politik di Aceh. Kita bisa berkaca pada kesuksesan pelaksanaan Pilkada 2006 dengan hadirnya calon independen, di mana kemudian membuat system politik harus diubah. Karena propinsi-propinsi lain juga meminta hal yang sama.
Nah, bisa jadi hal itu tidak diinginkan oleh pihak tertentu. Karena itu, dengan sekuat tenaga ingin menggagalkan pesta demokrasi, dengan harapan muncul image bahwa kehadiran partai lokal bukan pertanda baik. Kehadiran partai lokal bukan solusi untuk menghargai kekhasan suatu daerah.
Kita percaya, keberadaan Bawaslu atau Panwaslu tidaklah cukup ‘kuat’ untuk memantau agar pemilu benar-benar berlangsung demokratis. Karena kita tahu, keberadaan Bawaslu dan Panwaslu tidak cukup kuat untuk memaksa masing-masing pihak agar taat pada aturan-aturan yang telah disepakati. Sudah lumrah berlaku dalam masyarakat kita, aturan dibuat bukan untuk ditaati, melainkan untuk dilanggar.
Karena itu, melihat fenomena yang terjadi belakangan ini berupa massifnya aksi kekerasan, pembunuhan, penculikan dan aksi kekerasan lainnya terhadap pengurus dan kantor partai, mau tidak mau, kehadiran pemantau asing merupakan sebuah kemutlakan.
Itu pun jika kita berharap pemilu berlangsung dalam suasana demokratis, dan benar-benar pesta rakyat, bukan pesta para tuan. Apalagi, semua mata sedang melirik Aceh, dan berharap pesta demokrasi dengan kehadiran lokal benar-benar menjadi resolusi konflik, bukan memancing hadirnya konflik baru yang lebih parah dan lucu.
Menurut Irwandi seperti dikutip Harian Aceh, Jumat (13/2), kehadiran pemantau asing untuk mendukung Bawaslu dan Panwaslu dalam melakukan pengawasan. Pemilu di Aceh, kata Irwandi, sangat berbeda dengan pemilu secara nasional. Hal itu tak hanya karena pemilu 2009 merupakan pemilu pascakonflik, melainkan juga diramaikan oleh kehadiran partai politik lokal.
Argumentasi Irwandi sangat beralasan karena menjadi pemilu, eskalasi criminal politik di Aceh terus meningkat dan terjadi setiap hari. Irwandi mencontohkan, aksi criminal yang terjadi menjelang pemilu cukup membuat kita panas dingin. Bayangkan, 14 kantor partai lokal ludes dibakar, 4 granat dilempari terhadap kantor dan rumah pengurus partai, serta lima unit mobil milik Partai Aceh dibakar, belum lagi kasus-kasu pembakaran dan pencurian bendera partai. Dari kasus-kasus tersebut, kata Irwandi, cukup beralasan untuk mengundang pemantau asing.
Sementara pihak yang tidak setuju kehadiran pemantau asing juga memiliki alasan, meski alasan tersebut dalam kacamata kita cukup tendensius. Pernyataan Sekretaris Menko Politik Hukum dan Keamanan (Sesmenko Polhukam) Letjen TNI Rumolo R Tampubolon, misalnya, memandang tidak perlu kehadiran pemantau asing secara khusus di Aceh pada Pemilu Legislatif. Berkebalikan dengan Irwandi yang melihat pemilu di Aceh bagian dari resolusi konflik, Rumolo berpendapat, pemantau asing tidak bisa memberi solusi terhadap kecurangan Pemilu.
“Kalaupun ada pemantau asing, itu masih dalam konteks nasional, tidak khusus Aceh, karena provinsi Aceh tidak beda dengan propinsi lain di Indonesia,” kata Romulo R. Simbolon, Kamis (12/2), di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh.
Menurut dia, kehadiran pemantau asing juga tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi kecurangan pada Pemilu, karena mereka tidak punya wewenang. Mereka hanya bisa memberi penilaian dan pendapat secara umum, tanpa bisa memberi sanksi.
“Jadi untuk memantau Pemilu di seluruh Indonesia cukup dengan mengandalkan serta memberi dukungan kepada Panwaslu dan Bawaslu yang di-back-up polisi dan kejaksaan. Mereka bisa menindak kalau ada kecurangan dan ada payung hukumnya,” tegasnya.
Terlepas dari perdebatan di Aceh, kita tetap memandang, kehadiran pemantau asing di Aceh sangat penting. Bukan hanya semata-mata karena kondisi Aceh yang memburuk, melainkan untuk menghadirkan pesta demokrasi yang berkualitas, dan hasilnya memuaskan semua orang. Karena kita sangat yakin, tanpa kehadiran pemantau asing, berbagai kecurangan dan intimidasi untuk memilih partai tertentu atau menolak partai tertentu pasti akan terjadi. Masyarakat pasti hidup dalam kondisi ketidakpastian karena ‘dipaksa’ untuk melawan hati nuraninya.
Kita percaya, banyak pihak berharap, pesta demokrasi berupa pemilu dengan kehadiran partai lokal tidak begitu disenangi. Kesuksesan pemilu dengan hadirnya partai lokal akan mendorong propinsi lain di Indonesia untuk meminta hal yang sama dengan Aceh. Dapat disebut, pemilu dengan kehadiran partai politik sebuah pertaruhan politik tentang masa depan system politik di Aceh. Kita bisa berkaca pada kesuksesan pelaksanaan Pilkada 2006 dengan hadirnya calon independen, di mana kemudian membuat system politik harus diubah. Karena propinsi-propinsi lain juga meminta hal yang sama.
Nah, bisa jadi hal itu tidak diinginkan oleh pihak tertentu. Karena itu, dengan sekuat tenaga ingin menggagalkan pesta demokrasi, dengan harapan muncul image bahwa kehadiran partai lokal bukan pertanda baik. Kehadiran partai lokal bukan solusi untuk menghargai kekhasan suatu daerah.
Kita percaya, keberadaan Bawaslu atau Panwaslu tidaklah cukup ‘kuat’ untuk memantau agar pemilu benar-benar berlangsung demokratis. Karena kita tahu, keberadaan Bawaslu dan Panwaslu tidak cukup kuat untuk memaksa masing-masing pihak agar taat pada aturan-aturan yang telah disepakati. Sudah lumrah berlaku dalam masyarakat kita, aturan dibuat bukan untuk ditaati, melainkan untuk dilanggar.
Karena itu, melihat fenomena yang terjadi belakangan ini berupa massifnya aksi kekerasan, pembunuhan, penculikan dan aksi kekerasan lainnya terhadap pengurus dan kantor partai, mau tidak mau, kehadiran pemantau asing merupakan sebuah kemutlakan.
Itu pun jika kita berharap pemilu berlangsung dalam suasana demokratis, dan benar-benar pesta rakyat, bukan pesta para tuan. Apalagi, semua mata sedang melirik Aceh, dan berharap pesta demokrasi dengan kehadiran lokal benar-benar menjadi resolusi konflik, bukan memancing hadirnya konflik baru yang lebih parah dan lucu.
Tags:
editorial