Selamat datang konflik. Ungkapan itu layak kita ucapkan kembali setelah fenomena yang kita saksikan membuat kita cemas. Apakah orang-orang mulai menulis ulang cerita usang tentang konflik yang sudah menghancurkan kita, negeri kita, dan juga peradaban kita? Pasalnya, dimana-mana kita mendengar ada kematian. Orang-orang menjadi takut keluar malam, dan takut untuk sekedar bercerita tentang kisah-kisah heroik di masa silam.
Oya, dari beberapa teman yang juga pengurus partai, saya mendengar bahwa pertemuan mereka sudah beberapa kali dibubarkan oleh petugas. Media kemudian memuatnya menjadi berita yang layak dibaca di tengah kondisi ‘demam’ menjelang digelarnya perhelatan akbar Pemilu 2009.
Ya…Pemilu jadi kata kunci untuk menyebutkan berbagai kekacauan yang terjadi. Apakah orang-orang saling membunuh, mencelakai, menghina, dan mengekang, hanya karena Pemilu di depan mata? Kenapa pertemuan sebuah partai, yang katanya dibuat untuk membuat rakyat sejahtera dibubarkan? Siapa yang salah, dan lalu harus kita salahkan? Aparatkah yang sudah kembali bertindak arogan atau pengurus partai yang tidak tahu aturan. “Ah, itu sudah masalah politik, saya sudah sebulan lalu menutup diri membahas politik,” jawab kawan saya ketika mengajaknya mendiskusikan masalah ini di sebuah warung kopi.
Kita sedih dengan kenyataan yang terjadi. Damai yang dulu susah payah diperjuangkan, kini seperti menjadi cerita lama. Aceh damai jadi tertawaan dan hanya jadi topik bahasan para elite dan aktivis. Sementara rakyat, hidup dalam kondisi apoh-apah. Bukan hanya karena harga-harga kebutuhan pokok masih mahal,melainkan karena setiap hari ‘disuapi’ janji kosong. Janji itu pula membuat mereka tak bisa tidur malam. Dengan sebab ada poster yang ditempel di rumahnya, alamat bisa celaka.
Belum lagi, karena orang-orang bertanding janji, mereka kembali harus jaga malam. “Ah, itu kan cerita ketika Aceh masih konflik,” kata teman saya, ketika saya ceritakan di beberapa tempat sudah diberlakukan kembali jaga malam. “Kita harus melawannya,” sambungnya singkat. Saya diam saja mendengar ajakannya. Pasalnya, apakah masih aktual melawan kebijakan Negara dalam kondisi negeri yang carut-marut seperti ini. “Apa masih ada orang-orang militan yang berani melawan kebijakan Negara?” tanya saya. Karena sekarang ini, orang-orang sedang berlomba-lomba berteman dengan Negara. Bukan hanya karena masa depannya terjamin, melainkan juga mereka tidak perlu lagi memakan akar pohon, seperti kisah heroik tempo hari.
“Anda jangan salah, Aceh itu dibangun dengan pemberontakan demi pemberontakan. Kita adalah anak-anak yang lahir dalam perang. Kita tak perlu belajar cara berperang, karena perang mengajari kita cara berperang dan bertahan,” ujarnya. Saya yang bodoh ini semakin tak mampu membaca pikiran dia.
Pun begitu, saya menangkap kebenaran dari pernyataan dia yang untuk kondisi hari ini bisa disebut sangat provokatif. Saya kemudian membolak-balik Koran lama, dan menemukan berita tentang seorang mantan kombatan ditangkap gara-gara tidak mau jaga malam, dan mengajak warga lainnya memboikot jaga malam. Alasan si kombatan sangat masuk akal. Dihidupkan kembali jaga malam sama dengan merekonstruksi Aceh menjadi wilayah perang. Padahal, damai untuk Aceh sudah diteken, jadi kebijakan jaga malam sama dengan menyepakati Aceh sudah kembali ke zaman perang: perang tanpa deklarasi. Orang-orang terus mati, dengan alasan-alasan tersendiri, dan kita orang Gampong ini tak kuasa mencari jawab.
Kawan saya wajar mengatakan itu, karena saat mau menonton Liga Champions, persisnya di jalan Tgk Diblang, Darussalam, dia distop oleh ‘penjaga malam’ bergaya militer, dengan suara tinggi. Kawan saya sempat kaget, karena tak mengira akan menjadi korban sweeping para penjaga malam.
“Saya aneh melihat perilaku orang-orang di Gampong yang cepat sekali latah,” kata kawan saya kemudian. Saya tak tahu harus berkata apalagi. Pasalnya, simpul kawan saya, buat apa orang bersusah payah menjaga malam, karena besok, pagi pasti menjelang. “Beutoi syit, adak tajaga, singoh kon bungoh syit,” guman saya dalam hati. Eh malam! (HA 020309)
Oya, dari beberapa teman yang juga pengurus partai, saya mendengar bahwa pertemuan mereka sudah beberapa kali dibubarkan oleh petugas. Media kemudian memuatnya menjadi berita yang layak dibaca di tengah kondisi ‘demam’ menjelang digelarnya perhelatan akbar Pemilu 2009.
Ya…Pemilu jadi kata kunci untuk menyebutkan berbagai kekacauan yang terjadi. Apakah orang-orang saling membunuh, mencelakai, menghina, dan mengekang, hanya karena Pemilu di depan mata? Kenapa pertemuan sebuah partai, yang katanya dibuat untuk membuat rakyat sejahtera dibubarkan? Siapa yang salah, dan lalu harus kita salahkan? Aparatkah yang sudah kembali bertindak arogan atau pengurus partai yang tidak tahu aturan. “Ah, itu sudah masalah politik, saya sudah sebulan lalu menutup diri membahas politik,” jawab kawan saya ketika mengajaknya mendiskusikan masalah ini di sebuah warung kopi.
Kita sedih dengan kenyataan yang terjadi. Damai yang dulu susah payah diperjuangkan, kini seperti menjadi cerita lama. Aceh damai jadi tertawaan dan hanya jadi topik bahasan para elite dan aktivis. Sementara rakyat, hidup dalam kondisi apoh-apah. Bukan hanya karena harga-harga kebutuhan pokok masih mahal,melainkan karena setiap hari ‘disuapi’ janji kosong. Janji itu pula membuat mereka tak bisa tidur malam. Dengan sebab ada poster yang ditempel di rumahnya, alamat bisa celaka.
Belum lagi, karena orang-orang bertanding janji, mereka kembali harus jaga malam. “Ah, itu kan cerita ketika Aceh masih konflik,” kata teman saya, ketika saya ceritakan di beberapa tempat sudah diberlakukan kembali jaga malam. “Kita harus melawannya,” sambungnya singkat. Saya diam saja mendengar ajakannya. Pasalnya, apakah masih aktual melawan kebijakan Negara dalam kondisi negeri yang carut-marut seperti ini. “Apa masih ada orang-orang militan yang berani melawan kebijakan Negara?” tanya saya. Karena sekarang ini, orang-orang sedang berlomba-lomba berteman dengan Negara. Bukan hanya karena masa depannya terjamin, melainkan juga mereka tidak perlu lagi memakan akar pohon, seperti kisah heroik tempo hari.
“Anda jangan salah, Aceh itu dibangun dengan pemberontakan demi pemberontakan. Kita adalah anak-anak yang lahir dalam perang. Kita tak perlu belajar cara berperang, karena perang mengajari kita cara berperang dan bertahan,” ujarnya. Saya yang bodoh ini semakin tak mampu membaca pikiran dia.
Pun begitu, saya menangkap kebenaran dari pernyataan dia yang untuk kondisi hari ini bisa disebut sangat provokatif. Saya kemudian membolak-balik Koran lama, dan menemukan berita tentang seorang mantan kombatan ditangkap gara-gara tidak mau jaga malam, dan mengajak warga lainnya memboikot jaga malam. Alasan si kombatan sangat masuk akal. Dihidupkan kembali jaga malam sama dengan merekonstruksi Aceh menjadi wilayah perang. Padahal, damai untuk Aceh sudah diteken, jadi kebijakan jaga malam sama dengan menyepakati Aceh sudah kembali ke zaman perang: perang tanpa deklarasi. Orang-orang terus mati, dengan alasan-alasan tersendiri, dan kita orang Gampong ini tak kuasa mencari jawab.
Kawan saya wajar mengatakan itu, karena saat mau menonton Liga Champions, persisnya di jalan Tgk Diblang, Darussalam, dia distop oleh ‘penjaga malam’ bergaya militer, dengan suara tinggi. Kawan saya sempat kaget, karena tak mengira akan menjadi korban sweeping para penjaga malam.
“Saya aneh melihat perilaku orang-orang di Gampong yang cepat sekali latah,” kata kawan saya kemudian. Saya tak tahu harus berkata apalagi. Pasalnya, simpul kawan saya, buat apa orang bersusah payah menjaga malam, karena besok, pagi pasti menjelang. “Beutoi syit, adak tajaga, singoh kon bungoh syit,” guman saya dalam hati. Eh malam! (HA 020309)
Tags:
pojok