Mulai Sabtu (22/8), umat Islam kembali menunaikan salah satu rukun Islam yaitu ibadah puasa Ramadhan 1430 H. Umat Islam di mana-mana bersuka ria menyambut bulan yang penuh rahmah dan maghfirah ini. Hal tersebut terlihat dari persiapan-persiapan yang dilakukan semenjak memasuki hari Meugang, yang sudah jadi tradisi di Aceh.
Umat Islam selalu ingin agar puasa dan ibadahnya lebih meningkat dari puasa dan ibadah sebelumnya. Di bulan Ramadhan, Umat Islam ingin disucikan dari segala dosa yang sudah diperbuat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.” Selain itu, dalam Hadist yang lain, Rasulullah juga mengingatkan, “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharapkan ridha dari Allah SWT, maka Allah akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lewat.”
Penetapan jadwal Ramadhan secara serentak pada Sabtu (22/8) ini hendaknya menghapuskan sejumlah perdebatan tentang jadwal berpuasa yang selalu berbeda, dari tahun ke tahun, terutama antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Dengan adanya penetapan ini, umat Islam tidak terpecah-pecah dan bertengkar menyangkut perbedaan jadwal tersebut.
Dalam bulan puasa, soal perbedaan menjadi perdebatan sepanjang sejarah, terutama menyangkut jumlah rakaat Shalat Tarawih. Soal khilafiyah ini, sudah terjadi sejak dulu, di mana masing-masing pihak beranggapan, bahwa keyakinannyalah yang paling benar, dengan dukungan dalil-dalil yang ada. Seperti misalnya, ada yang berkeyakinan shalat tarawih 20 rakaat, ada juga yang berpegang pada 8 rakaat. Namun, kita berharap soal perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih ini tidak menggiring umat Islam untuk bercerai-berai.
Kita berharap momen bulan Ramadhan ini, menjadi media menyatukan kembali Umat Islam yang belakangan begitu mudah diadu-domba, terutama munculnya terorisme. Hendaknya, Ramadhan mampu menjadikan Umat Islam kembali kepada landasan Al Quran, bahwa sebenarnya umat Islam adalah umat yang satu. Semua pihak hendaknya memfokuskan diri pada ibadah dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang justru memancing perpecahan umat.
Kita di Aceh juga harus menjadikan momen Ramadhan untuk terus memperkuat perdamaian yang sudah empat tahun berjalan di Aceh. Kita tidak berharap, jika kesucian Ramadhan ternoda dengan aksi-aksi yang akan mencederai perdamaian, terutama aksi kriminalitas yang belakangan semakin meningkat.
Momentum ramadhan ini juga hendaknya dapat menjadi media perenungan bagi kita, tentang hal-hal yang telah kita lakukan. Kita perlu mengintrospeksi diri, seraya membuka peluang bagi kita untuk menciptakan perubahan. Inilah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang salah sebelumnya. Untuk pihak PLN, kita ingatkan juga agar tidak ‘suka’ memadamkan listrik selama bulan Ramadhan. Meskipun pimpinan PLN sudah menjanjikan tak ada pemadaman selama puasa Ramadhan, tetapi tetap berharap agar janji tersebut benar-benar dilaksanakan.
Bulan ramadhan juga merupakan bulan yang mengajari kita tentang kedisiplinan. Hal itu terlihat dari jadwal berbuka puasa. Sebelum jadwal berbuka, umat Islam dengan sabar menunggu, tanpa sedikit pun tergoda untuk mendahulukan menikmati hidangan makanan. Kita berharap, pesan disiplin dipraktekkan oleh para pegawai pemerintahan, untuk masuk kantor tepat waktu. Sebab, sudah jadi kebiasaan, selama Ramadhan, soal kedisiplinan sering diabaikan, dengan alasan yang dibuat-buat.
Dalam bulan Ramadhan, umat Islam tak hanya diajak untuk memperbanyak amal yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang, melainkan juga mendidik kita menahan diri. Menahan diri adalah substansi dari ibadah puasa yang sebenarnya. Kita harus sepakat bahwa bulan ramadhan adalah momen bagi kita mensucikan hati, seraya memperbanyak amal. Semoga Umat Islam mendapatkan ganjaran seperti dalam firman Allah, menjadi umat yang bertaqwa (muttaqien). (HA 210809)
Penetapan jadwal Ramadhan secara serentak pada Sabtu (22/8) ini hendaknya menghapuskan sejumlah perdebatan tentang jadwal berpuasa yang selalu berbeda, dari tahun ke tahun, terutama antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Dengan adanya penetapan ini, umat Islam tidak terpecah-pecah dan bertengkar menyangkut perbedaan jadwal tersebut.
Dalam bulan puasa, soal perbedaan menjadi perdebatan sepanjang sejarah, terutama menyangkut jumlah rakaat Shalat Tarawih. Soal khilafiyah ini, sudah terjadi sejak dulu, di mana masing-masing pihak beranggapan, bahwa keyakinannyalah yang paling benar, dengan dukungan dalil-dalil yang ada. Seperti misalnya, ada yang berkeyakinan shalat tarawih 20 rakaat, ada juga yang berpegang pada 8 rakaat. Namun, kita berharap soal perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih ini tidak menggiring umat Islam untuk bercerai-berai.
Kita berharap momen bulan Ramadhan ini, menjadi media menyatukan kembali Umat Islam yang belakangan begitu mudah diadu-domba, terutama munculnya terorisme. Hendaknya, Ramadhan mampu menjadikan Umat Islam kembali kepada landasan Al Quran, bahwa sebenarnya umat Islam adalah umat yang satu. Semua pihak hendaknya memfokuskan diri pada ibadah dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang justru memancing perpecahan umat.
Kita di Aceh juga harus menjadikan momen Ramadhan untuk terus memperkuat perdamaian yang sudah empat tahun berjalan di Aceh. Kita tidak berharap, jika kesucian Ramadhan ternoda dengan aksi-aksi yang akan mencederai perdamaian, terutama aksi kriminalitas yang belakangan semakin meningkat.
Momentum ramadhan ini juga hendaknya dapat menjadi media perenungan bagi kita, tentang hal-hal yang telah kita lakukan. Kita perlu mengintrospeksi diri, seraya membuka peluang bagi kita untuk menciptakan perubahan. Inilah kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang salah sebelumnya. Untuk pihak PLN, kita ingatkan juga agar tidak ‘suka’ memadamkan listrik selama bulan Ramadhan. Meskipun pimpinan PLN sudah menjanjikan tak ada pemadaman selama puasa Ramadhan, tetapi tetap berharap agar janji tersebut benar-benar dilaksanakan.
Bulan ramadhan juga merupakan bulan yang mengajari kita tentang kedisiplinan. Hal itu terlihat dari jadwal berbuka puasa. Sebelum jadwal berbuka, umat Islam dengan sabar menunggu, tanpa sedikit pun tergoda untuk mendahulukan menikmati hidangan makanan. Kita berharap, pesan disiplin dipraktekkan oleh para pegawai pemerintahan, untuk masuk kantor tepat waktu. Sebab, sudah jadi kebiasaan, selama Ramadhan, soal kedisiplinan sering diabaikan, dengan alasan yang dibuat-buat.
Dalam bulan Ramadhan, umat Islam tak hanya diajak untuk memperbanyak amal yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang, melainkan juga mendidik kita menahan diri. Menahan diri adalah substansi dari ibadah puasa yang sebenarnya. Kita harus sepakat bahwa bulan ramadhan adalah momen bagi kita mensucikan hati, seraya memperbanyak amal. Semoga Umat Islam mendapatkan ganjaran seperti dalam firman Allah, menjadi umat yang bertaqwa (muttaqien). (HA 210809)
Tags:
editorial