Jika ingin bukunya dicari-cari, ditarik dari pasaran, dibakar atau jadi polemik berkepanjangan, maka tulislah buku yang isinya kontroversi. Jika ingin bukunya go public maka tulislah sesuai momen. Nasihat itu mutlak dicoba jika ingin cepat terkenal dan popular. Setidaknya, buku Sintong menjelang Pemilu dan buku Membongkar Gurita Cikeas, layak diletakkan pada posisi tersebut.
Karena, buku yang isinya biasa-biasa saja, di samping tak laku juga sepi dari pembicaraan. Selain itu, sudah tentu buku tersebut tidak akan dibaca, kecuali oleh segelintir orang yang hobby mengoleksi buku.
Harian berbahasa Indonesia terbesar di dunia, KOMPAS, sudah beberapa hari memuat berita tentang kontroversi Gurita Cikeas, dan beberapa berita tersebut diletakkan di halaman depan. Edisi Selasa (29/12), KOMPAS malah meletakkannya di posisi headlines, Kontroversi Buku Cikeas, yang menunjukkan betapa berpengaruhnya buku tersebut secara politik, terutama soal masa depan pemerintahan SBY yang terus digoyang sejumlah isu dan skandal.
Kini, karena benar-benar kontroversi, tak heran jika buku tersebut dicari-cari. Orang-orang ini mengetahui apa isinya. Sementara di beberapa toko buku sudah tak lagi dijual, dan ditarik dari pasaran. Setidaknya kita seperti kembali ke zaman Orde Baru, jika ada buku yang sedikit berbau ‘kekuasaan’ dan ‘menyangkut bos besar Orde Baru’ pasti menghilang dari pasaran, kecuali buku yang berisi pujian.
Padahal, di alam demokratis seperti ini, jika ada pihak yang tidak sepakat dengan isi sebuah buku, seharusnya menulis buku dan membantah buku tersebut, sehingga publik memiliki peluang untuk memberi penilaian, mana yang berisi fitnah dan mana yang tidak. Kita sepakat dengan pernyataan Koordinator Indonesian Corruption Watch, seperti dikuti KOMPAS (29/12) seputar polemik Gurita Cikeas:
Sikap serupa juga diperlihatkan Amir Syamsuddin, Sekjen Partai Demokrat, partainya orang yang sedang berkuasa:
Semua orang boleh menilai isi sebuah buku: baik dan buruk. Karena soal isi, baru diketahui jika sudah membaca isi buku. Jadi, daripada terus berpolemik dan menduga yang bukan-bukan terhadap penulis, ada baiknya kita membaca buku tersebut, kemudian baru mengeluarkan penilaian. Soalnya, si penulis buku George Junus Aditjondro, merasa yakin apa yang ditulisnya sesuatu dengan apa yang terjadi, dan sebuah fakta. Dia bahkan berani berdebat secara terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik:
Kini sudah jelas bukan? Terserah anda, bagaimana menilainya. Jika ingin membaca buku tersebut, silahkan didownload buku tersebut dalam format pdf, yang dikirim oleh kawan saya via email. Saya ingin membaginya untuk anda, pembaca blog ini.
Download buku Gurita Cikeas
Note: Sumber Foto: Didi Syafirdi | Detikfoto
Harian berbahasa Indonesia terbesar di dunia, KOMPAS, sudah beberapa hari memuat berita tentang kontroversi Gurita Cikeas, dan beberapa berita tersebut diletakkan di halaman depan. Edisi Selasa (29/12), KOMPAS malah meletakkannya di posisi headlines, Kontroversi Buku Cikeas, yang menunjukkan betapa berpengaruhnya buku tersebut secara politik, terutama soal masa depan pemerintahan SBY yang terus digoyang sejumlah isu dan skandal.
Kini, karena benar-benar kontroversi, tak heran jika buku tersebut dicari-cari. Orang-orang ini mengetahui apa isinya. Sementara di beberapa toko buku sudah tak lagi dijual, dan ditarik dari pasaran. Setidaknya kita seperti kembali ke zaman Orde Baru, jika ada buku yang sedikit berbau ‘kekuasaan’ dan ‘menyangkut bos besar Orde Baru’ pasti menghilang dari pasaran, kecuali buku yang berisi pujian.
Padahal, di alam demokratis seperti ini, jika ada pihak yang tidak sepakat dengan isi sebuah buku, seharusnya menulis buku dan membantah buku tersebut, sehingga publik memiliki peluang untuk memberi penilaian, mana yang berisi fitnah dan mana yang tidak. Kita sepakat dengan pernyataan Koordinator Indonesian Corruption Watch, seperti dikuti KOMPAS (29/12) seputar polemik Gurita Cikeas:
Penarikan buku ini mirip dengan perilaku Orde Baru. “Ya kalau enggak setuju, dibantah dong dengan buku. Jangan ditarik-tarik. Ini kan seperti Orba. Aparat hukum dipakai sebagai aparatur refresi oleh pemerintah yang berkuasa.”
Sikap serupa juga diperlihatkan Amir Syamsuddin, Sekjen Partai Demokrat, partainya orang yang sedang berkuasa:
“Saya cenderung mengharapkan buku itu jangan ditarik. Kenapa? Ternyata buku itu sampah, tidak sesuai judul dengan isi.”
Semua orang boleh menilai isi sebuah buku: baik dan buruk. Karena soal isi, baru diketahui jika sudah membaca isi buku. Jadi, daripada terus berpolemik dan menduga yang bukan-bukan terhadap penulis, ada baiknya kita membaca buku tersebut, kemudian baru mengeluarkan penilaian. Soalnya, si penulis buku George Junus Aditjondro, merasa yakin apa yang ditulisnya sesuatu dengan apa yang terjadi, dan sebuah fakta. Dia bahkan berani berdebat secara terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik:
“Kalau itu nanti terjadi, saya akan meminta bagian-bagian mana tulisan di buku saya yang dianggap tidak benar dan dianggap fitnah.”
Kini sudah jelas bukan? Terserah anda, bagaimana menilainya. Jika ingin membaca buku tersebut, silahkan didownload buku tersebut dalam format pdf, yang dikirim oleh kawan saya via email. Saya ingin membaginya untuk anda, pembaca blog ini.
Download buku Gurita Cikeas
Note: Sumber Foto: Didi Syafirdi | Detikfoto