Suatu kali, seusai mengikuti pelatihan kode etik jurnalistik yang digelar LPDS Jakarta bekerjasama dengan Kedutaan Norway, 13-16 Desember 2009, saya memutuskan menginap semalam di perwakilan Aceh di kawasan Menteng sebelum pulang ke Aceh. Sesuai jadwal, besok pagi-pagi saya sudah harus berangkat ke bandara untuk terbang ke Aceh. Dan, malamnya saya mengalami kejadian langka, yang menunjukkan bahwa di dunia ini ternyata masih banyak orang jujur dan baik hati.
Kisah ini kembali terbayang saat menyaksikan pemberitaan soal pembobolan rekening atau ATM. Apalagi disebut-sebut melibatkan orang dalam. Duh, negeri ini makin tak jelas saja. Masalah muncul bertubi-tubi, tapi jarang yang punya titik terang.
Ceritanya, malam itu, jarum jam baru menunjukkan pada pukul 23.30 malam. Karena lapar saya bergegas keluar dari untuk mencari makan, setelah sebelumnya menanyakan pukul berapa kantor Perwakilan Aceh tutup kepada security. Setelah diberitahu bahwa pintu pagar masih dibuka hingga pukul 24.00, saya langsung bilang mau cari makan tak jauh di dekat hotel Formula One. Setelah kira-kira hanya 20 menit saya berada di tempat makan tersebut, saya mencari mesin ATM. Beruntung, di sekitar lokasi saya makan ada mesin ATM. Tapi, sialnya, begitu saya masuk ke dalam, ada kertas yang bertuliskan bahwa mesin ATM sedang rusak alias tidak bisa dipergunakan.
Karena sisa uang di kantong tidak cukup untuk ongkos ke bandara esok paginya, saya bergegas mencari mesin ATM di tempat lain. Setelah bertanya pada seorang Satpam di pintu masuk hotel F1, dia memberi tahu bahwa di dalam hotel ada mesin ATM, saya langsung masuk ke dalam. Tapi betapa kecewanya saya, karena berkali-kali ATM saya ditolak meski saya lihat ada logo ATM Bersama di mesin tersebut. Malah, setelah saya masukkan nomor PIN, muncul pesan agar saya menghubungi kantor Bank yang mengeluarkan ATM saya. Dengan kesal saya keluar dari hotel tersebut sambil dalam hati berharap di seberang jalan masih ada mesin ATM. Saat itu saya bahkan sudah siap jika besok harus menarik uang di mesin ATM yang ada di bandara.
Saya keluar dari hotel itu, dan langsung menyeberang jalan di depan hotel menuju kantor perwakilan. Baru beberapa langkah saya berjalan, HP saya berdering. Dalam hati berpikir siapa juga malam-malam menelpon, apakah security kantor perwakilan? Tapi tak mungkin karena saya tidak meninggalkan nomor HP sama dia. Saya rogoh kantong celana mengambil HP, setelah saya lihat ternyata yang menelepon adalah Nasruddin, Wakil Bupati Aceh Timur. "Pue haba, fik? Pat posisi nyoe (Apa kabar, fik? Di mana posisinya sekarang)?". Saya menjawab sambil jalan, bahwa saya di Jakarta (Karena dalam hati saya berpikir dia mau ke Banda Aceh). Tapi kemudia dia meminta saya balik badan dan kembali masuk ke dalam hote. Katanya dia duduk tak jauh dari meja security hotel. Setengah tak percaya tapi saya tetap kembali masuk dalam hotel, setelah lihat kiri-kanan, ternyata sang Wakil Bupati itu duduk di pojok cafe hotel bersama temannya. Saya pun bergabung dengan mereka, dan memesan teh Irak.
Sekitar satu jam lebih di sana, sambil cerita kabar dan keperluan masing-masing ke Jakarta, saya meminta izin balik ke perwakilan. (Dia dan temannya menginap di hotel itu). Saya kembali menyeberang jalan, dan melihat di sebelah kiri ada mesin ATM. Saya pun bergegas ke sana, ternyata punya BCA, namun ada logo ATM Bersama. Saya masih bisa mengambil uang menggunakan ATM Permatabank di mesin itu.
Mesin ATM itu berbeda dengan mesin yang biasa saya gunakan untuk menarik uang, karena mesin ini menggunakan layar sentuh. Seingat saya, pada tahun 2009, jarang ada mesin ATM layar sentuh di Aceh.
Kisah ini kembali terbayang saat menyaksikan pemberitaan soal pembobolan rekening atau ATM. Apalagi disebut-sebut melibatkan orang dalam. Duh, negeri ini makin tak jelas saja. Masalah muncul bertubi-tubi, tapi jarang yang punya titik terang.
Ceritanya, malam itu, jarum jam baru menunjukkan pada pukul 23.30 malam. Karena lapar saya bergegas keluar dari untuk mencari makan, setelah sebelumnya menanyakan pukul berapa kantor Perwakilan Aceh tutup kepada security. Setelah diberitahu bahwa pintu pagar masih dibuka hingga pukul 24.00, saya langsung bilang mau cari makan tak jauh di dekat hotel Formula One. Setelah kira-kira hanya 20 menit saya berada di tempat makan tersebut, saya mencari mesin ATM. Beruntung, di sekitar lokasi saya makan ada mesin ATM. Tapi, sialnya, begitu saya masuk ke dalam, ada kertas yang bertuliskan bahwa mesin ATM sedang rusak alias tidak bisa dipergunakan.
Karena sisa uang di kantong tidak cukup untuk ongkos ke bandara esok paginya, saya bergegas mencari mesin ATM di tempat lain. Setelah bertanya pada seorang Satpam di pintu masuk hotel F1, dia memberi tahu bahwa di dalam hotel ada mesin ATM, saya langsung masuk ke dalam. Tapi betapa kecewanya saya, karena berkali-kali ATM saya ditolak meski saya lihat ada logo ATM Bersama di mesin tersebut. Malah, setelah saya masukkan nomor PIN, muncul pesan agar saya menghubungi kantor Bank yang mengeluarkan ATM saya. Dengan kesal saya keluar dari hotel tersebut sambil dalam hati berharap di seberang jalan masih ada mesin ATM. Saat itu saya bahkan sudah siap jika besok harus menarik uang di mesin ATM yang ada di bandara.
Saya keluar dari hotel itu, dan langsung menyeberang jalan di depan hotel menuju kantor perwakilan. Baru beberapa langkah saya berjalan, HP saya berdering. Dalam hati berpikir siapa juga malam-malam menelpon, apakah security kantor perwakilan? Tapi tak mungkin karena saya tidak meninggalkan nomor HP sama dia. Saya rogoh kantong celana mengambil HP, setelah saya lihat ternyata yang menelepon adalah Nasruddin, Wakil Bupati Aceh Timur. "Pue haba, fik? Pat posisi nyoe (Apa kabar, fik? Di mana posisinya sekarang)?". Saya menjawab sambil jalan, bahwa saya di Jakarta (Karena dalam hati saya berpikir dia mau ke Banda Aceh). Tapi kemudia dia meminta saya balik badan dan kembali masuk ke dalam hote. Katanya dia duduk tak jauh dari meja security hotel. Setengah tak percaya tapi saya tetap kembali masuk dalam hotel, setelah lihat kiri-kanan, ternyata sang Wakil Bupati itu duduk di pojok cafe hotel bersama temannya. Saya pun bergabung dengan mereka, dan memesan teh Irak.
Sekitar satu jam lebih di sana, sambil cerita kabar dan keperluan masing-masing ke Jakarta, saya meminta izin balik ke perwakilan. (Dia dan temannya menginap di hotel itu). Saya kembali menyeberang jalan, dan melihat di sebelah kiri ada mesin ATM. Saya pun bergegas ke sana, ternyata punya BCA, namun ada logo ATM Bersama. Saya masih bisa mengambil uang menggunakan ATM Permatabank di mesin itu.
Mesin ATM itu berbeda dengan mesin yang biasa saya gunakan untuk menarik uang, karena mesin ini menggunakan layar sentuh. Seingat saya, pada tahun 2009, jarang ada mesin ATM layar sentuh di Aceh.
Setelah memasukkan kartu, kita diminta mengisi nomor PIN, langsung muncul menu. Sementara kartu ATM kita langsung keluar, seperti layaknya setelah selesai bertransaksi. Saya menggunakan jari sambil memilih transaksi yang saya inginkan. Selesai mengambil uang yang saya yakin cukup untuk biaya perjalanan besok, saya bergegas mau keluar. Namun, satpam yang berjaga di pintu menegur bahwa saya belum melakukan sign out. Katanya, jika ada orang lain masuk bisa mengambil isi di rekening kita, karena yang terbaca di layar masih account kita.
Saya balik dan mencari menu sign out, sambil tak lupa berterima kasih sama Satpam itu. Duh, di tengah malam sekitar hampir pukul setengah dua malam masih ada orang baik yang tidak tergiur memanfaatkan kesempatan kelengahan kita untuk menguras isi rekening kita. Saya sempat tertegun dan malah sambil jalan kembali ke kantor perwakilan masih heran dan tak yakin.
Saya balik dan mencari menu sign out, sambil tak lupa berterima kasih sama Satpam itu. Duh, di tengah malam sekitar hampir pukul setengah dua malam masih ada orang baik yang tidak tergiur memanfaatkan kesempatan kelengahan kita untuk menguras isi rekening kita. Saya sempat tertegun dan malah sambil jalan kembali ke kantor perwakilan masih heran dan tak yakin.