Perhatian kita kini tersita kasus perburuan teroris. Sejak sebulan lalu, polisi dari Densus 88 gencar memburu kelompok yang diduga teroris: mulai dari pengepungan Desa Jalin, Jantho; Lamkabue Seulimuem, hingga penyergapan dalam razia di Polsek Leupung.
Pun demikian, kita perlu menyikapi operasi perburuan tersebut secara bijak. Apalagi perburuan itu dilakukan saat usia perdamaian Aceh masih muda. Tentu saja memiliki risiko. Masyarakat Aceh masih belum siap kembali hidup seperti saat konflik: razia dimana-mana, penggeledahan, penangkapan paksa dan ada saja yang tewas setiap hari.
Pihak keamanan sudah sepatutnya membuka ke publik apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kelompok yang diburu tersebut benar-benar kelompok teroris atau hanyalah scenario untuk memuaskan Negara adikuasa. Kecuali itu, kita juga menginginkan keterbukaan, jangan sampai perburuan teroris itu hanyalah alasan untuk kembali menggelar operasi di Aceh.
Kita juga menangkap kesan, ada konspirasi menutup Aceh dari dunia luar, seperti terbaca dari pengesahan Qanun Jinayah yang memasukkan hukum rajam, dan kini melalui kelompok teroris. Kesan ini semakin kuat setelah sebelumnya sempat muncul teror terhadap warga asing, seperti penembakan Kepala Palang Merah Jerman, Enhard Bauer, penggranatan kantor Perwakilan Uni Eropa, dan penembakan rumah warga Amerika. Kita takutkan semua konspirasi itu (isu terorisme) dimaksudkan untuk mengucilkan Aceh sehingga pembangunan terhambat.
Setidaknya, ada dua hal kenapa isu terorisme jadi aktual dimunculkan di Aceh. Pertama, kita tahu, pascaperistiwa World Trade Center (WTC) di New York pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, memakan 3000 korban, Amerika cukup kencang mengampanyekan perang melawan terorisme. Amerika juga membantu negara-negara lain yang menabuh perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Afghanistan, Filipina, dan lain-lain.
Pemerintah berharap, kedatangan Presiden Obama pada akhir Maret nanti bukan sekedar kunjungan melepas rindu. Obama diharapkan datang dengan sejumlah paket kerja sama bantuan, ekonomi dan militer. Harapan itu menjadi cepat tercapai jika ‘dirangsang’ dengan isu terorisme.
Kedua, terorisme Aceh dimunculkan untuk mengalihkan isu Skandal Bank Century. Century dipercaya bisa memicu munculnya perpecahan di tingkat elite, sehingga perlu diciptakan musuh bersama. Sebagai daerah yang baru lepas dari konflik, Aceh masih tetap 'layak' dijual untuk mempersatukan tokoh-tokoh nasional. Sementara bagi Aceh, isu terorisme menjadikannya terkucil. Perhatian yang cukup besar seperti pascatsunami, menjadi barang mahal. Label terorisme bisa menjadikan Aceh masuk perangkap: musuh bersama!
Dugaan ini semakin beralasan. Mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid yang juga anggota Komisi I DPR ini mempertanyakan sikap pemerintah yang terkesan memperbesar kasus perburuan teroris ini, tepat saat Indonesia dirundung persoalan Century.
“Timingnya adalah kalau sudah diketahui setahun yang lalu dan diketahui titik-titiknya semakin lama semakin membesar kenapa tidak diambil (diberantas) sejak enam bulan lalu sebelum adanya kasus Bank Century dan sebelum SBY ke Australia serta rencana Obama ke Indonesia,” kata Hidayat dalam diskusi Aceh Ladang baru terorisme di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (17/3) seperti dikutip Okezone.com.
Dari pernyataan tersebut terbaca, Hidayat seperti menduga adanya settingan khusus kenapa kasus terorisme di Aceh tiba-tiba dimunculkan saat kasus Bank Century sudah diserahkan DPR ke lembaga hukum. Kita hanya berharap, kelompok yang diduga teroris itu bukan proyek untuk memuluskan langkah pemerintah mendapatkan kucuran dana segar dari asing. Kita tidak ingin Aceh sengaja dikorbankan citranya di mata internasional dengan isu teroris. (HA 180310)
Pun demikian, kita perlu menyikapi operasi perburuan tersebut secara bijak. Apalagi perburuan itu dilakukan saat usia perdamaian Aceh masih muda. Tentu saja memiliki risiko. Masyarakat Aceh masih belum siap kembali hidup seperti saat konflik: razia dimana-mana, penggeledahan, penangkapan paksa dan ada saja yang tewas setiap hari.
Pihak keamanan sudah sepatutnya membuka ke publik apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kelompok yang diburu tersebut benar-benar kelompok teroris atau hanyalah scenario untuk memuaskan Negara adikuasa. Kecuali itu, kita juga menginginkan keterbukaan, jangan sampai perburuan teroris itu hanyalah alasan untuk kembali menggelar operasi di Aceh.
Kita juga menangkap kesan, ada konspirasi menutup Aceh dari dunia luar, seperti terbaca dari pengesahan Qanun Jinayah yang memasukkan hukum rajam, dan kini melalui kelompok teroris. Kesan ini semakin kuat setelah sebelumnya sempat muncul teror terhadap warga asing, seperti penembakan Kepala Palang Merah Jerman, Enhard Bauer, penggranatan kantor Perwakilan Uni Eropa, dan penembakan rumah warga Amerika. Kita takutkan semua konspirasi itu (isu terorisme) dimaksudkan untuk mengucilkan Aceh sehingga pembangunan terhambat.
Setidaknya, ada dua hal kenapa isu terorisme jadi aktual dimunculkan di Aceh. Pertama, kita tahu, pascaperistiwa World Trade Center (WTC) di New York pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, memakan 3000 korban, Amerika cukup kencang mengampanyekan perang melawan terorisme. Amerika juga membantu negara-negara lain yang menabuh perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Afghanistan, Filipina, dan lain-lain.
Pemerintah berharap, kedatangan Presiden Obama pada akhir Maret nanti bukan sekedar kunjungan melepas rindu. Obama diharapkan datang dengan sejumlah paket kerja sama bantuan, ekonomi dan militer. Harapan itu menjadi cepat tercapai jika ‘dirangsang’ dengan isu terorisme.
Kedua, terorisme Aceh dimunculkan untuk mengalihkan isu Skandal Bank Century. Century dipercaya bisa memicu munculnya perpecahan di tingkat elite, sehingga perlu diciptakan musuh bersama. Sebagai daerah yang baru lepas dari konflik, Aceh masih tetap 'layak' dijual untuk mempersatukan tokoh-tokoh nasional. Sementara bagi Aceh, isu terorisme menjadikannya terkucil. Perhatian yang cukup besar seperti pascatsunami, menjadi barang mahal. Label terorisme bisa menjadikan Aceh masuk perangkap: musuh bersama!
Dugaan ini semakin beralasan. Mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid yang juga anggota Komisi I DPR ini mempertanyakan sikap pemerintah yang terkesan memperbesar kasus perburuan teroris ini, tepat saat Indonesia dirundung persoalan Century.
“Timingnya adalah kalau sudah diketahui setahun yang lalu dan diketahui titik-titiknya semakin lama semakin membesar kenapa tidak diambil (diberantas) sejak enam bulan lalu sebelum adanya kasus Bank Century dan sebelum SBY ke Australia serta rencana Obama ke Indonesia,” kata Hidayat dalam diskusi Aceh Ladang baru terorisme di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (17/3) seperti dikutip Okezone.com.
Dari pernyataan tersebut terbaca, Hidayat seperti menduga adanya settingan khusus kenapa kasus terorisme di Aceh tiba-tiba dimunculkan saat kasus Bank Century sudah diserahkan DPR ke lembaga hukum. Kita hanya berharap, kelompok yang diduga teroris itu bukan proyek untuk memuluskan langkah pemerintah mendapatkan kucuran dana segar dari asing. Kita tidak ingin Aceh sengaja dikorbankan citranya di mata internasional dengan isu teroris. (HA 180310)
Tags:
editorial