Saya sering menemui pembesar negeri ini duduk di warung kopi. Mereka lebih mudah ditemui di warung kopi ketimbang di kantor atau rumah. Di warung kopi ini, mereka tak hanya sekedar menyeruput kopi, melainkan juga membicarakan sesuatu: kondisi politik, masalah tender, gosip terbaru, atau juga soal mutasi.
Untuk Aceh, warung kopi sudah menjadi media alternatif. Informasi lebih ‘utuh’ bisa didapatkan di warung kopi, ketimbang dari media. Semua masalah dikupas tuntas di warung kopi, dari info yang masih sebatas isu hingga info yang benar-benar valid. Makanya, ada yang menyebutkan warung kopi sebagai tempat untuk mengupdate fitnah (memperbaharui fitnah).
Sebut saja soal mutasi, biasanya, lebih cepat tersebar di warung kopi, sebelum masuk koran. Pembicaraan di warung kopi, akhirnya, menjadi berita menarik yang dikemas media. Setelah menjadi berita, Koran-koran yang memuatnya juga beredar di warung kopi. Ada mutualisme simbiosis. Dari warung kopi ke warung kopi.
“Aceh bisa dikelola dari warung kopi,” simpul kawan saya yang juga doyan minum kopi. Katanya, jika semua olah pikir, kebijakan, program, serta siapa yang layak menduduki sebuah jabatan hanya hasil poh cakra di warung kopi, tak perlu ada kantor pemerintahan yang bagus-bagus. Apalagi jika kantor itu kesannya seperti rumah hantu yang tak pernah bisa didatangi masyarakat. Mau masuk saja harus melewati sejumlah pemeriksaan, itu pun belum tentu bisa menemui orang-orang yang ingin ditemui.
Kita pun beruntung masih ada warung kopi. Untuk menemui pembesar, tak perlu membuat janji bertemu. Karena di warung kopi tak berlaku sistem antri, kecuali semua kursi sudah penuh terisi. Si pembesar tak mungkin menghalangi kita untuk tidak menjumpainya di warung kopi, karena minum kopi bukan lagi hak paten pecandu kopi. Kita bebas keluar masuk warung kopi, termasuk menjumpai siapa saja di warung kopi. Sebab, interaksi di warung kopi tak pernah terbatas. Ia mirip dengan pembicaraan, tak berhenti pada satu topik. Demikian halnya dengan interaksi, tak terbatas hanya teman yang kita kenali. Teman-teman yang tak kita kenali, kebetulan teman dari teman kita, juga bisa menjadi teman kita. Dunia warung kopi, dapat disebut sebagai jejaring sosial-nya dunia nyata.
Makanya, tak ada teman minum kopi yang abadi di warung kopi. Sering kita temui, si A minum kopi dengan si B hari ini, tapi tak perlu heran jika si A bisa saja besoknya terlihat minum kopi dengan si C atau si E. Intinya, topik pembicaraan terus berubah, begitu juga soal teman, terus berganti.
Saya tak heran, ketika ada yang bercerita soal tabiat seorang petinggi di sebuah kantor pemerintahan, dalam sehari yang bersangkutan dua kali duduk di warung kopi: siang dan sore hari. Dia sering terlihat berpindah dari satu meja ke meja yang lain. Kadang-kadang semua orang yang nongkrong di warung kopi disalaminya, termasuk orang yang belum kenal sekalipun.
Ada juga kawan, entah hobi atau ingin terlihat hebat, suka pindah dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Pagi hari bisa jadi dia minum kopi di Solong, tentunya dengan beberapa kali ganti posisi: di meja paling depan hingga di meja paling belakang. Siangnya mungkin dia bisa ditemui di Cut Nun atau di SMEA, sementara malamnya mungkin di Dhapu Kupi, atau di sejumlah warung kopi yang sudah menjamur di Kota Banda Aceh ini. Pokoknya ada banyak nama warung kopi yang mungkin tidak semuanya kita hafal, kecuali orang-orang yang candu kopi.
Entah karena sedang ngetrend atau ingin ikut trend, kawan-kawan saya juga sudah mulai berpikir bergerak di bisnis warung kopi. Saya takutkan, karena sudah terlalu banyak nama warung kopi, kawan saya menjadi bingung memberi nama untuk warung kopinya. Semoga saja warungnya tidak bernama “Pungo Kupi”.
Tags:
pojok