Tak Berani Jadi Penulis


Akhir Maret lalu (tepatnya tanggal 31 Maret), seorang teman mengirim email. Isinya, sungguh menantang dan tentu saja di luar perkiraan. Nama saya, masuk dalam list yang akan dipaksa olehnya untuk menulis buku dengan tema yang sudah dipersiapkan. Saya kaget bukan main. Apalagi si teman yang mengirim email ini, menulis sedikit pengantar, “…setelah saya observasi dari semua teman-teman, sahabat yang saya list di sini saya yakini mampu untuk menggarap buku tersebut…”

Dalam list yang dilampirkan dalam email tersebut, nama saya tertera di urutan ketiga. Tak tanggung-tanggung, saya disodori judul yang cukup menantang: Berani Menjadi Penulis. Meski sudah lama menggeluti dunia tulis menulis, tema tersebut tergolong ‘berat’ untuk saya kerjakan. Bukan hanya mood menulis saya belakangan ini yang angin-anginan: kadang-kadang semangat, kadang-kadang malas. Saya sendiri tak yakin mampu mengerjakan tema yang diberikan tersebut.

Email yang dikirim sebulan lalu itu teringat lagi, saat baca-baca tulisan zaman yang sudah pernah saya posting di Blog. Ada satu tulisan yang dulu saya tulis setelah terlibat pembicaraan (chatting) panjang lebar dengan seorang teman. Tulisan tersebut berisi soal beberapa rangsangan bagaimana menumbuhkan semangat menjadi penulis. Hal yang membuat saya membuat tulisan itu, bermula soal kebiasaan teman chatting saya itu yang mengaku dirinya hanya menulis untuk diri sendiri, untuk kepuasan batin sendiri.

Pengakuan tersebut muncul, saat saya tanyakan, “Sering menulis di media mana?”. Di luar dugaan, dia dengan tegas menjawab, Saya tak suka menulis di media.” Padahal, menurut saya banyak tulisan-tulisan dia cukup bagus dan mencerahkan. Setidaknya, begitulah kesan saat saya berkunjung ke Blog www.sasty.multiply.com. Namun, saya lupa apa nama Blognya sekarang, apakah masih tetap seperti yang dulu. Hasil membaca tulisan-tulisan dia, saya yakin jika tulisannya dipublikasikan pasti banyak peminatnya.

“Kenapa tak mau menulis di media umum dan mempublikasikan tulisan yang sangat bagus ini?” tanya saya lagi saat itu. Jawaban dia selanjutnya, membuat dada saya sesak. Menurut dia, mempublikasikan tulisan di media umum sama dengan mempersilakan orang membaca tulisan kita dan membagi pengetahuan untuk orang lain. “Enak aja kita bagi ilmu ke orang lain, ilmu itu mahal,” jawabnya. 

Saya kemudian hanya bisa mengatakan, bahwa pengetahuan yang dibagi tersebut bukan lantas membuat pengetahuan kita berkurang. “Menulis berarti membagi pengetahuan atau pengalaman kita kepada orang lain sembari meminta tanggapan dan masukan. Menulis menjadi diskusi yang baik bagaimana menyampaikan gagasan secara tertulis,” kata saya, tapi saya yakin dia tak mendengarnya.

Bagi saya sendiri, menulis itu berarti membagi pengetahuan dan pengalaman kita untuk orang lain, siapa tahu pengalaman kita bermanfaat, atau pengetahuan yang kita punyai masih kurang, sehingga perlu masukan dari orang lain. Jadi, meski membagi pengetahuan, sebenarnya kita juga belajar memperbaiki kekurangan. Saat tulisan kita dikomentari orang lain, tentu menambah pemahaman baru untuk kita. Selain itu, menulis bagi saya sebagai media belajar mengembangkan kemampuan dan potensi diri.

Masing-masing kita tentu saja memiliki motivasi berbeda-beda dalam menulis. Namun, jika pun kita tidak punya alasan kenapa kita menjadi menulis, setidaknya kita harus meyakinkan diri bahwa menulis sebagai bukti sejarah bagi anak cucu kita bahwa kita pernah hidup di dunia. Bukti untuk menjelaskan bahwa kita pernah hidup di dunia adalah dengan adanya tulisan atas nama kita. Simpel bukan?
 
Diakui atau tidak, banyak manfaat yang akan didapatkan dari menulis, misalnya popularitas. Tetapi jangan sekali-kali kita menulis untuk tujuan ini. Sebab, bisa melemahkan kemampuan. Jadinya, kita hanya menulis asal-asal saja yang penting dimuat, sementara kualitas tulisan tak menjadi bahan pertimbangan. Yakinlah, popularitas akan kita dapatkan jika orang sudah menghargai dan mengakui kemampuan kita.
 
Selain popularitas, banyak juga motivasi menulis karena faktor duit. Dan ini cukup berbahaya. Nantinya, menulis tak lagi dianggap sebagai ibadah, melainkan semata-mata mengejar materi. Salah-salah kita bisa kena stempel penulis bayaran. Apalagi belakangan ini, beberapa lembaga giat menerbitkan buku, dan kita kerap diminta menjadi seorang penulis. Idealisme kadangkala dipertaruhkan juga, apalagi jika tema dan isi buku tak sesuai dengan keyakinan yang kita anut. Kita sudah mengorbankan keyakinan kita sendiri karena menulis sesuai pesanan donor. Jadilah menulis jadi semacam proyek.

Tak sedikit juga yang menulis sebagai media propaganda untuk mempengaruhi orang lain. Beberapa tokoh-tokoh besar yang bisa kita baca dalam buku-buku sejarah seperti Hitler, Lenin, Stalin, Sayid Qutb, Mao Tse Tung, dan lain-lain khusus menulis untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti alur pikirannya. Mein Kamf, misalnya, berisi dakwaan dan kecaman terhadap kaum Yahudi. Buku-buku Sayid Qutb mampu membangkitkan semangat generasi muda muslim untuk berjihad dan berdakwah. Buku menjadi obor pembakar semangat. Tak jarang, karena begitu besar pengaruh dari sebuah buku, ada penguasa yang rela membakar buku-buku yang dianggap berbahaya.
 
Cukup banyak motivasi kenapa kita menulis. Saya sendiri lupa, apa semangat yang mendasari saya menulis. Saya juga lupa kapan persisnya pertama kali saya menulis. Yang sempat saya ingat, saat duduk di bangku MTs, buku-buku catatan saya penuh dengan coretan-coretan. Buku double folio sempat saya sulap menjadi buku kumpulan cerpen bertema remaja. Jika buku itu masih ada, tentu saya akan tersenyum sendiri saat membacanya.

Nah, saat kini ada teman yang menyodorkan judul “Berani Menjadi Penulis” saya sendiri justru merasa tak punya keberanian. Bagaimana seseorang bisa melahirkan buku “Berani Menjadi Penulis” jika dia sendiri tak berani? Entahlah, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih atas kepercayaan. Meski kepercayaan itu sepertinya belum bisa saya laksanakan. Saya tak punya nyali, meski sudah cukup sering mendengar ungkapan, “Menulislah....karena dengan begitu orang akan tahu siapa anda dan apa yang anda pikirkan!”

Biarlah hanya saya saja yang tahu siapa saya. Maaf kawan, saya belum bisa melakukannya!

Post a Comment

Previous Post Next Post