http://amirullahrivai.files.wordpress.com |
Iya…kini sepakbola menjadi bahasa global. Bola tak lagi hanya sekedar soal pemain termahal, negara hebat, atau juga soal uang. Melainkan kini juga soal kemanusiaan. Solidaritas terhadap kaum marjinal, terjajah, atau juga ras yang direndahkan sering dikampanyekan melalui sepakbola. Meski kemudian, tidak sendirinya kampanye itu berjalan efektif. Itu soal lain.
Coba sejenak kembali ke Piala Dunia 2006 di Jerman. Sebagai penyelenggara, FIFA mencanangkan konsep melalui motto yang sangat luar biasa; A Time to Make a Friends (saat yang tepat untuk persahabatan) dan Say no to racism (Katakan tidak untuk rasisme).
Melalui motto yang cukup humanis ini sudah memberi kepada kita gambaran tentang apa yang hendak dicapai oleh FIFA. Motto ini mengandung keinginan penyatuan dunia di bawah nilai-nilai universal, tanpa memandang ras, agama dan budaya. Tidak ada perbedaan antara ras Afrika, Asia dengan Eropa. Semua sepertinya hendak disatukan dalam paham egaliter (kesetaraan), bahwa semua sepakat trofi Piala Dunia milik siapa saja, termasuk dari ras Afrika dan Asia yang belum pernah merasakan indahnya menjadi kampium dunia, asalkan saja mampu memenangi pertandingan demi pertandingan.
Kita yakin sekali motto seperti ini tak muncul secara kebetulan belaka, melainkan dilandasi oleh kenyataan-kenyataan di lapangan hijau, bahwa rasisme menjadi masalah terberat bagi dunia sepak bola. Meski FIFA berungkali menyampaikan sangat anti terhadap rasisme, tetapi persoalan rasisme selalu muncul di lapangan. Kita bisa sebutkan kasus yang selalu menimpa Samuel Eto’o, Liliam Thuram, Thierry Henry dan lain-lain yang selalu diteriakin seperti monyet oleh penonton (yang biasanya mewakili ras unggul, kulit putih), dengan cara meniru suara monyet, setiap kali mereka membawa bola.
Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang kemudian memaksa FIFA menetapkan motto seperti disebutkan di atas. Namun, persoalannya kemudian, tak serta merta dengan motto tersebut FIFA bisa membendung persoalan rasisme. Karena, persoalan pelecehan atas nama ras tetap muncul meski dalam bentuk yang lain. Sebutlah kasus pelecehan terhadap Zidane yang dilakukan Matterrazi.
Kini, empat tahun kemudian, melalui Piala Dunia di Afrika Selatan, FIFA kembali mengampanyekan motto yang maknanya cukup dalam: Ke Nako Celebrate Africa’s Humanity (Inilah saatnya Rayakan Kemanusiaan Afrika Seutuhnya). Motto ini kita yakin dilandasi oleh kenyataan, bahwa meski Apartheid sudah lama berakhir di Afrika Selatan bukan berarti paham itu sudah tidak ada lagi.
Selain itu, motto itu berangkat dari sebuah keyakinan, meski inilah pertama kalinya Afrika menggelar Piala Dunia, tetapi mereka bisa menggelar sepakbola secara menakjubkan dan spektakuler seperti halnya jika perhelatan itu digelar di benua Eropa atau Amerika.
Kita hanya berharap, semoga tuah Afrika Selatan yang mewakili Afrika, suatu saat bisa dimiliki Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia suatu saat bisa menggelar perhelatan akbar sepakbola berupa Piala Dunia. Tentu saja, hal itu bisa dicapai setelah persoalan dalam negeri bisa diselesaikan satu persatu serta segala bentuk penyelewengan diakhiri.
Sebab, sepakbola kemudian, tidak sekedar permaianan. Di dalamnya termasuk totalitas dan juga tanggung jawab. Seperti pernah disampaikan Filsuf eksistensialis dari Perancis, Albert Camus, yang dikutip Sindhunata dalam pengantar untuk trilogi bukunya: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola dan Bola-bola Nasib: Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab, saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola.
“Sepak bola akhirnya menyisakan sebuah misteri, yang tidak mungkin dipahami. Mungkin itulah sebabnya, sepak bola mendekati sebentuk religiusitas, yang oleh sebagian orang dikritik sebagai menggantikan dan mengkhianati keagamaan,” tulis Sindhunata.
Jadi, meski selama sebulan penuh kita berdiri secara terpisah untuk mendukung tim yang berbeda-beda, tetapi hendaknya persatuan harus tetap dijaga. Selamat menikmati!
Tags:
editorial