Juara dunia lima kali, Brazil, sudah dikalahkan. Uruguay, wakil Amerika latin yang juga juara dunia dua kali pun dibuat takluk. Kiprah Belanda di ajang Piala Dunia 2010 tengah diuji. Sejak terakhir kalinya menjadi finalis tahun 1978, Belanda tak pernah lagi mencapai final. Dan, 2010 ini menjadi titik balik bangkitnya kekuatan Belanda. Banyak pihak meyakini selangkah lagi Belanda bakal mengukir sejarah. Namun, tak sedikit pula yang ragu-ragu. Hanya keajaiban yang bakal menuntun negeri kincir angin itu menjadi kampiun dunia.
Banyak orang pantas ragu, karena lawan yang akan dihadapi Belanda di final bukan tim yang kemarin sore bermain bola. Spanyol, tim yang dikenal sangat rapi dalam pergerakan bola-bola pendek dari kaki ke kaki, serta selalu unggul dalam ball possession, terlalu sulit untuk ditaklukkan. Tim se-impresif Jerman pun dibuat tak berkutik.
Spanyol juga mewarisi gaya permainan Barcelona, tim yang dikenal menerapkan sepakbola indah. Malah, beberapa motor penggerak tim Spanyol adalah punggawa Barcelona seperti Andes Iniesta, Xavi Hernandez, Puyol, Pedro dan Pique. Mereka dikenal sebagai pemain yang sangat disiplin di posisi masing-masing.
Laga Belanda Vs Spanyol, tak pelak menjadi laga yang cukup menarik, dengan dua kultur sepakbola yang menawan. Jika sepakbola Belanda identik dengan total football (sepakbola indah), maka Spanyol juga setali tiga uang. Mereka akan memainkan bola dengan sistem Tiki Taka, yang mengandalkan bola dari kaki-ke-kaki dan operan-operan pendek. Tiki Taka mengharamkan bola menganggur lama di kaki pemain. Melalui sistem ini, bola mengalir dengan sangat lincah, dan seperti tak pernah menganggur. Masing-masing pemain dalam posisi siaga, karena mereka harus cepat-cepat bergerak saat operan bola mengarah padanya.
Inti permainan Tiki Taka memang terletak pada penguasaan bola, tetapi sama sekali bukan di kaki satu pemain. Menguasai bola berarti memberi harapan bahwa bola itu akan segera mengalir dan sulit dihentikan. Peluang menciptakan gol juga lebih besar. “Segera setelah kami menguasai bola, kami merasa nyaman,” kata Pelatih Spanyol, Vicente del Bosque, seusai menundukkan Jerman 1-0.
Nah, sistem permainan yang rada serupa itu akan mengadu nasib. Apakah Spanyol dengan Tiki Taka-nya mampu keluar sebagai juara, ataukah sistem itu akan dibuat tak berkutik di tengah keampuhan Total Football. Tapi, persoalannya, banyak orang menilai gaya permainan Belanda di Piala Dunia kali ini sama sekali tak identik dengan sistem total football. Belanda sepertinya sudah meninggalkan sistem tersebut.
Total Football
Sejak 1974 silam, Belanda sudah menyihir dunia melalui sepakbola indah: total football. Total football tak juga menjadikan De Oranje juara. Setiap gelaran piala dunia maupun Eropa, tim Belanda digadang-gadang sebagai kandidat juara. Nyatanya, meski menampilkan permainan yang memukau penonton, sihir
Orang-orang mulai bertanya-tanya: apa artinya sepakbola indah jika tak berbuah juara? Penggila bola terpecah. Di satu sisi memandang sepakbola indah penting, namun di sisi lain menjadi juara jauh lebih penting. Apapun harus dilakukan demi kemenangan. Ingatan mutakhir kita terbawa dalam laga Inter Milan Vs Barcelona di pentas Liga Champions. Permainan Lionel Messi cs yang menampilkan sepakbola indah dan mengandalkan kerjasama tim yang solid melalui bola dari kaki ke kaki tak mampu membongkar pertahanan Inter Milan. Total football tak berdaya saat harus berhadapan dengan Catenaccio, sistem sepakbola yang mementingkan pertahanan. Dalam sistem ini dikenal falsafah, bertahan adalah format serangan bagi serangan!
Total football atau sepakbola indah mulai diperkenalkan Rinus Michels bersama anak kesayangannya Johann Cruyff, yang saat itu berkostum Ajax. Ajaran Michels saat itu cukup singkat: larilah ke tempat di mana kamu akan kesakitan. Oleh Cyruff, ajaran itu dimodifikasi sehingga melahirkan sebuah dogma yang demikian ampuh: jika pemain depan menyerang, pemain tengah dan belakang segera ke depan pula. Sementara saat diserang, pemain depan harus turun ke belakang untuk mempersempit ruang gerak lawan.
Berkat Cyruff, sepakbola kemudian berbuah menjadi permainan yang menghibur. Orang-orang yang merasa tak bisa lagi menikmati bola indah sejak mundurnya Pele dari tim nasional Brazil segera menemukan kembali seni dalam sepakbola. Seni itu mewujud dalam diri Cruyff bersama De Oranje. Namun ironisnya, pesona total football kerap tak berbuah kemenangan. Ia lebih banyak berakhir petaka dan nestapa.
Pada Piala Dunia 1974, Belanda yang memesona dunia dan di tengah puja-puji orang melalui sistem total footballnya, tapi di final ditundukkan Der Panzer Jerman yang kemudian jadi juara. Keampuhan total football kembali memukau pada Piala Dunia 1978, tapi juaranya Argentina. Nasib lebih tragis terjadi lagi pada Piala Dunia 1998 di Perancis. Meski sempat digadang-gadang sebagai juara, Belanda sama sekali tak berkutik di bawah tarian Samba Brazil (sudah dikalahkan di perempat final Piala Dunia 2010 dengan skor tipis 2-1) dan Kroasia. Sepakbola indah Belanda harus puas finish di urutan keempat.
Kecewakah Belanda dengan hasil buruk tersebut? Ternyata sama sekali tidak. Meski sering berakhir dengan petaka, mereka tak juga meninggalkan gaya total football yang menjadi ciri khasnya. Anak-anak Belanda seperti menjunjung tinggi falsafah sepakbola-nya Johann Cruyff: bola harus menghibur, bola harus indah, bola harus memukau (Sindhunata dalam Trilogi Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola dan Bola-bola Nasib).
Menurut Cruyff, hanya bermain seperti itu yang akan menghasilkan kemenangan. Pun demikian, jika hasil akhirnya adalah kekalahan, maka kekalahan itu juga merupakan kemenangan. Karena bermain bola indah sudah memuaskan hasrat penonton. Cruyff, dalam sejumlah pernyataannya sangat menentang gaya sepakbola pragmatis yang semata-mata mengejar kemenangan. Cruyff tak suka dengan pendapat bahwa akhirnya yang penting adalah hasil!
Kini Cruyff, arsitek total football, menjadi presiden kehormatan Barcelona dan mewarisi semangat sepakbola indah itu pada klub El Barca. Belanda boleh saja bangga sebagai Negara yang menerapkan total football, tetapi titisan Cruyff kini banyak bermain di Barcelona dan sebagian besar pemainnya masuk dalam skuad Spanyol. Kita tidak tahu, apakah keampuhan total football akan unggul di tengah kelincahan Tiki Taka yang dipadu dengan total football?
“Kami hidup dan mati dengan cara ini. Kami tidak tahu cara bermain yang lain. Jadi, kami akan melakukan hal sama pada final dan semoga kami punya keberuntungan untuk menang,” kata gelandang elegan Spanyol, Andes Iniesta optimis, meski menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Karena sepakbola indah kerap tak menghasilkan apa-apa, kecuali sekedar menghibur.
Pelajaran
Cruyff seperti mengajarkan kepada kita semua, bahwa kemenangan memang menjadi tujuan sepakbola. Tapi, bagaimana pun, rasanya, yang lebih penting bukanlah kemenangan semata, melainkan bagaimana kemenangan itu diraih. Hasil akhir kadang-kadang tak begitu penting, melainkan bagaimana proses hingga mencapai hasil akhir tersebut dilakukan.
Sebagai bekas Jajahan Belanda, Indonesia sama sekali tak mewarisi semangat yang ditelurkan Belanda. Sepakbola Indonesia dari tahun ke tahun tak pernah menunjukkan prestasi yang membanggakan. Jangankan untuk tampil di Piala Dunia, di Piala Asia ataupun Piala ASEAN saja, Indonesia sering kelabakan.
Potret persepakbolaan kita sama sekali tak bisa dibanggakan. Lihat saja dalam pelaksanaan Liga, selalu berakhir dengan kerusuhan. Wasit bisa dibeli. Pelaksanaan Liga masih sangat amatir. Selain itu, permainan sepakbola di lapangan kerap diakhiri dengan sepak-sepakan di luar lapangan. Kita bisa saja menyalahkan sistem, tapi sebenarnya mental kita yang belum siap. Belum lagi ditambah pengelola sepakbola (PSSI) yang sudah divonis pengadilan. Apakah dengan kondisi seperti ini kita bisa berharap banyak pada sepakbola dalam negeri? Sepertinya jauh panggang dari api.
Kita patut kecewa, karena Indonesia hanya mengambil Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) produk Belanda, bukan sistem sepakbolanya yang menawan. Kita tahu, sejumlah pasal dalam KUHP isinya sudah tak lagi sesuai dengan semangat demokrasi. Malah, beberapa di antaranya sangat bertentangan dengan kebebasan berekspresi, melanggar HAM, dan antikemanusiaan. Padahal, sebagai Negara yang sudah 65 tahun merdeka, sudah sepatutnya Indonesia memiliki KUHP sendiri yang sesuai dengan semangat perubahan zaman.
Dalam hal berpolitik, kita sama sekali tak mewarisi semangat total football yang mementingkan pada proses, bukan hasil. Praktik politik di sini kerap tak mengindahkan asas kepatutan, serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pengabaian terhadap etika, sopan santun dan nilai-nilai keadilan.
Kita begitu mudah menemui elit politik mengorbankan rakyat banyak, hanya demi ambisi sendiri. Nasib bangsa yang lebih besar dikorbankan. Uang Negara digerogoti demi memuaskan sekelompok orang. Jabatan politik sama sekali bukan bertujuan menciptakan kemakmuran, melainkan menghidupkan sistem kroni yang demikian kronis. Tak heran, jika setiap tahun, prestasi Indonesia dalam hal korupsi tak pernah bergeser dari posisi sebagai Negara terkorup. Itulah buah dari sistem yang disemainya.
Wajar jika kita berkesimpulan, Indonesia salah jeb ubat. Alih-alih mengambil hal-hal positif dari Belanda, eh nyatanya Indonesia mengambil sesuatu yang keliru, KUHP, sehingga berbuntut protes dari sejumlah pendekar demokrasi. Indonesia akhirnya sering menjelma sebagai negeri yang sedang sakit, karena terlanjur salah jeb ubat. Entahlah!
Tags:
Artikel